BLANTERVIO103

Surat dari Ghaza - Ghassan Kanafani

Surat dari Ghaza - Ghassan Kanafani
12/07/2019
Surat dari Ghaza
oleh Ghassan Kanafani





Sahabatku.

Suratmu sekarang ini telah kuterima, yang di dalamnya diberitakan bahwa engkau telah menyelesaikan segala sesuatu yang kuperlukan berkenaan dengan tinggalku bersamamu di Sacramento. Juga yang kurasa bahwa aku telah diterima di jurusan teknik sipil pada Universitas California. Tak ayal lagi aku harus berterimakasih kepadamu atas segala itu. Namun akan kedengaran aneh, bahwa aku akan menyampaikan kabar ini. Yakinlah Mustofa bahwa aku tidak bisa melihat masalah itu begitu lebih jernih dari sekarang ini. Tidak, sahabatku. Aku telah mengubah pendirianku. Aku tak akan mengikutimu ke dunia di mana selalu "ada kehijauan, air dan wajah-wajah ceria,” seperti yang kautulis dalam suratmu. Tapi aku akan tetap di sini, dan samasekali tak akan meninggalkannya.

Memang sungguh menyentakkanku Mustofa, bahwa kita tidak bisa melanjutkan jalan hidup kita dalam satu garis yang sama. Sepertinya masih terngiang saat kau mengingatkanku akan janji kita untuk terus bersama. .Bagaimana kita berseru: "Kita akan jadi orang-orang kaya!” Namun, sahabatku, apa boleh buat. Ya aku masih ingat jelas tatkala aku berdiri di pelabuhan udara Cairo menjabat erat tanganmu, sambil membelakkan mata ke mesin. pesawat yang menggila itu. Segalanya saat itu seperti berputar bising bersama putaran mesin itu. Dan engkau berdiri di depanku dengan wajahmu yang penuh dan diam. Wajahmu tidak berubah dari sejak kau dibesarkan di bilangan Syaj'iyah di Ghaza, kecuali kerutan-kerutan kecil itu. Kita besar bersama, saling memahami satu sama lain dan berjanji akan bersama terus sampai akhir. Tapi

(“Tinggal seperempat jam sebelum pesawat berangkat. Kau jangan menerawang begitu. Dengar, tahun depan engkau akan ke Kuwait, dan dari gajimu yang kau hemat engkau. mencerabut dirimu dari Ghaza ke California. Kita telah mulai bersama, dan harus terus begitu.”)

Kuperhatikan waktu itu kedua bibirmu yang bergerak-gerak cepat sekali. Begitulah gayamu berbicara tanpa spasi dan tanpa titik. Tapi ada kurasakan waktu itu, bahwa sebenarnya kau tidak begitu rela atas kepergianmu. Engkau tidak bisa menyodorkan tiga sebab wajar dari pelarianmu itu. Ya aku juga mengalami rasa terkoyak-koyak itu. Dan rasa paling jelas waktu itu adalah kenapa tidak kita tinggalkan saja Ghaza ini dan kita lari? Kenapa? Dan keadaanmu berangsur-angsur membaik. Engkau teken kontrak dengan Departemen Pendidikan Kuwait, dan aku tidak. Dan dalam gelutan kemeralatanku, kadang kaukirimkan padaku sejumlah uang cukupan yang menurutmu boleh kuanggap sebagai pinjaman, agar aku tidak merasa kecil diri. Engkau tahu betul keadaan keluargaku. Juga bahwa gajiku yang kecil di Sekolah Bantuan Internasional bagi para pengungsi tidaklah cukup untuk membiayai ibuku, janda kakakku dan empat orang anaknya.

("Dengar baik-baik. Tulislah surat padaku tiap hari, tiap jam dan tiap detik. Hm, pesawat akan segeya berangkat, selamat berpisah. Ooh ya sampai jumpa lagi, sampai jumpa lagi.”)

Dan bibirmu yang dingin itu menyentuh keningku. Engkau berbalik menuju pesawat, dan tatkala sekali lagi engkau menoleh, kulihat matamu berkaca-kaca.

Sesudah itu aku juga teken kontrak dengan Departemen Pendidikan Kuwait. Tak perlu kuulangi lagi bagaimana tetek bengek hidupku di situ. Segalanya sudah kuberitakan selalu padamu. Hidupku seperti getah, melompong kayak kerang kecil, lontang lantung dalam kesepian yang mencekam dan terombang-ambing antara kini dan masa depan yang suram bagai awal senja. Rutin yang membusuk dan perjuangan yang terpental dari waktu ke waktu. Semuanya seperti getah panas, hidup yang tergelincir dan kedambaan selalu pada akhir bulan.

Dan pada pertengahan tahun, ya tahun itu, yahudi-yahudi itu menggempur daerah Sobha dan menembaki Ghaza, Ghaza kita, dengan mortir dan napalm. Kejadian itu mungkin bisa sedikit merobah hal-hal rutinku. Tapi waktu itu aku tak banyak peduli. Aku akan meninggalkan Ghaza menuju California, hidup untuk diriku yang telah cukup lama menderita. Aku benci Ghaza dan penduduknya. Semuanya di tanah terbantai itu mengingatkanku akan lukisan-lukisan yang gagal dari seorang pelukis yang sakit, dengan warna keabu-abuan. Memang ada kukirimkan sedikit uang untuk ibuku, janda kakakku dan anak-anaknya untuk penambah hidup. Namun aku pun akan merantaskan tali terakhir ini di sana, di California yang hijau, jauh dari bau kenistaan yang menyesakkan hidungku selama tujuh tahun. Rasa kasihan yang mengikatku dengan keponakan-keponakanku, ibu mereka dan ibuku, tidak cukup untuk menebus nasib tragisku yang selalu menindih. Perasaan itu tidak bisa menenggelamkanku lebih dari itu. Aku harus pergi!

Engkau tahu perasaan-perasaan itu, Mustofa, karena engkau juga telah pernah menghayatinya. Perasaan samar-samar yang mempertalikan kita dengan Ghaza, dan yang membatasi semangat kita untuk lari! Kenapa tidak kita jelaskan hal itu dalam makna yang segamblang-gamblangnya? Kenapa tidak kita tinggalkan saja kenistaan ini dengan segala lukanya, dan pergi menuju kehidupan yang lebih penuh warna dan harapan? Kenapa? Kita tak tahu secara pasti!

Dan tatkala bulan Juni itu aku pakansi, kukumpulkan semua apa yang kumiliki dengan harapan kelepasan yang manis pada hal-hal kecil yang memberi hidup makna yang lembut dan warna-warni. Kudapati Ghaza persis sebagaimana adanya pengap bagai selaput dalam yang membungkus diri sebuah kerang karatan yang dilemparkan ombak ke pantai pasir penuh getah dan hampir terkelupas. Ghaza, yang lebih tertekan dari seorang yang diterkam mimpi yang menakutkan! Lorong-lorongnya yang sempit dengan baunya yang khas, bau kenistaan dan kemelaratan, dan rumah-rumahnya yang berbalkon menjorok ke luar. Itulah Ghaza. Tapi apa itu perasaan misterius dan samar-samar yang membuat seseorang jadi terimbau misterius dan samar-samar yang membuat seseorang jadi terimbau kepada keluarganya, rumahnya dan kenangan-kenangannya? Sebagaimana sekawanan kambing sesat yang terpanggil oleh sebuah mata air! Aku tidak tahu. Yang kutahu, pagi itu kutemui ibuku di rumah kami. Saat tibaku di situ kujumpai istri almarhum kakakku. Sambil mengisak ia memintaku untuk memenuhi keinginan Nadia, anak perempuannya yang luka dirawat di rumah sakit Ghaza, agar aku menengoknya sore itu. Kau tahu kan Nadia keponakanku yang manis itu, yang baru berumur tigabelas tahun?

Sore itu kubeli sekilo apel dan aku melangkah ke rumah sakit untuk menjenguk Nadia. Kutahu, ada sesuatu yang disembunyikan oleh ibuku dan iparku itu. Sesuatu yang tak dapat mereka sampaikan dengan kata-kata, suatu hal aneh yang tak bisa kupastikan dengan jelas. Selalu kucintai Nadia, selalu kucintai generasi yang telah menetek dari kenistaan dan keterbuangan itu, sampai batas seolah-olah kehidupan bahagia tak lebih merupakan keabnormalan sosial.

Apa yang terjadi saat itu? Entahlah. Kumasuki kamar yang serba putih itu dengan tenang. Seorang anak yang sakit memperoleh semacam kekudusan. Apalagi kalau anak yang sakit itu akibat luka yang ganas dan menyerikan! Nadia terbaring di tempat tidur itu, punggungnya telekan pada bantal putih di mana rambutnya yang bagai bulu-bulu niahal itu tergerai. Kedua matanya yang besar itu diam kelam, dan sebutir airmata selalu nampak di lubuk kehitaman matanya yang dalam. Wajahnya diam tenang, tapi kayak terhuyung seperti wajah seorang nabi yang. menderita. Nadia masih seorang anak kecil, namun nampak lebih dari itu. Lebih matang dari sekedar anak kecil, jauh lebih matang. Nadia.” Entah aku yang mengucapkannya, atau orang lain di belakangku. Tapi ia mengangkat kedua matanya ke arahku. Dan kurasakan, kedua mata itu begitu melarutkan diriku seperti sepotong gula yang jatuh dalam segelas teh panas. Bersama senyumnya yang tipis, kudengar suaranya: ''Paman. .. kau datang dari Kuwait?” Suaranya seperti patah di kerongkongan. Ia mencoba mengangkat dirinya dengan bertelekan pada kedua lengannya, menjulurkan lehernya ke arahku dan duduk sambil bersandar. Aku pun duduk didekatnya. "Nadia. Kubawa untukmu oleh-oleh dari Kuwait. Oleh-oleh banyak sekali. Kutunggu kau sampai bisa bangun dan sehat sembuh. Nanti kau datang ke rumahku dan akan kuberikan oleh-oleh itu. Kubelikan pula kau pantalon merah yang pernah kaupesankan dalam suratmu. Ya, telah kubelikan itu.”

Suatu apusan yang seketika menyembul dalam keadaan yang mendebarkan itu, dan kurasakan tatkala aku mengucapkannya, seolah-olah untuk pertama kalinya aku telah mengatakan sesuatu yang sebenarnya. Adapun Nadia, ia nampak gemetar seperti kena sengatan listrik, menundukkan kepalanya diam dan bungkam, dan kurasakan air matanya membasahi punggung tanganku. Katakan Nadia. Engkau tidak suka pantalon merah?” Diangkatnya matanya ke arahku. Ia ingin bicara, tapi seperti tertahan. Giginya terkatup, dan kudengar sekali lagi suaranya seperti jauh: ”Pamanda...!” Dijulurkannya lengannya, dan dengan jemarinya disingkapkannya seperei putih itu. Ia menunjukkan pada kakinya yang terpotong sampai di atas paha!

Sahabatku.

Samasekali tak akan pernah kulupakan kaki Nadia yang terpotong sampai atas paha itu. Tidak, tak akan pernah bisa kulupakan kepedihan yang terlumur pada wajahnya, bercampur dengan garis-garisnya yang manis itu. Selamanya tak akan pernah kulupakan. Dan hari itu aku keluar dari rumah sakit itu ke lorong-lorong Ghaza dengan penuh jijik pada uang dua Pound yang kubawa untuk kuberikan pada Nadia. Matahari cerlang menyirami jalanan dengan warna darah. Dan Ghaza, ooh Mustofa, jadi nampak baru samasekali. Tak pernah kita lihat begitu, aku dan kau. Tumpukan batu-batu di pinggiran Syaj'iyah di mana kita tinggal itu ada punya makna, seolah-olah diletakkan di situ hanya untuk menampilkannya. Ghaza yang tujuh tahun kita huni dalam kemalangan bersama penghuni-penghuninya yang baikbaik itu nampak jadi baru. Bagiku ia nampak bagai sebuah permulaan. Entah, kenapa kurasakan itu hanya sebagai permulaan saja. Kubayangkan, jalan besar itu di mana aku melangkah kembali ke rumahku tak lain hanyalah permulaan di Ghaza pada berduka atas terpotongnya kaki Nadia sampai atas paha. Kedukaan yang tak terhenti pada batas tangis dan airmata. Ia adalah tantangan, bahkan lebih dari itu. Ia mirip dengan pengembalian lagi kaki yang terpotong! Aku keluar menyusuri jalanan-jalanan Ghaza yang diguyur oleh cerlang matahari. Orang-orang mengatakan padaku, bahwa Nadia telah kehilangan kakinya tatkala melemparkan dirinya di atas tubuh adik-adiknya untuk melindungi mereka dari ledakan mortir dan napalm yang lagi mengamuk di rumah. Bisa saja bagi Nadia menyelamatkan diri, lari dari situ menyelamatkan kakinya. Tapi ia tidak melakukannya. Kenapa? Tidak, sahabatku. Aku tak akan datang ke Sacramento, dan aku samasekali tidak menyesal. Tidak akan kulanjutkan apa yang telah pernah kita mulai bersama sejak masa kecil dulu. Perasaan misterius yang kaurasakan dulu tatkala kautinggalkan Ghaza, perasaan yang samar-samar kecil itu, harus bangkit membesar dan menggunung dalam dirimu. Harus kaucari itu agar kau bisa menemukan dirimu! Di sini di antara puing-puing kenistaan yang begini keji.

Kuwait, 1956

Penerjemah: Muhammad Fudoli Zaini

MARI BERBAGI:
Editor

TAMBAHKAN KOMENTAR

5700840368070671462