BLANTERVIO103

Kesusastraan Jepang yang telah Diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia - Toshiki Kasuya

Kesusastraan Jepang yang telah Diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia - Toshiki Kasuya
1/20/2020
Kesusastraan Jepang yang telah Diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia
Oleh Toshiki Kasuya

Kesusastraan Jepang yang telah Diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia - Toshiki Kasuya

1, Pendahuluan 

SASTRADUNIA.COM | Apakah karya sastra Jepang pernah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia? 

Ada sebuah buku yang berjudul Modem Japanese Literature in Translation — A Bibliography” yang diterbitkan oleh Kodansha International Ltd. pada tahun 1978. Isinya meliputi semua terjemahan sastra modern Jepang yang pernah dikerjakan di seluruh dunia, dan jumlah buku terjemahan yang termuat di dalamnya mencapai hampir delapan ribu judul. Namun demikian, terjemahan dalam bahasa Indonesia, tercatat hanya satu judul saja, yaitu ”Negeri Salju” yang diterjemahkan oleh Anas Ma'ruf pada tahun 1972. Kenyataan ini membuktikan betapa tipis perhubungan dalam bidang kebudayaan di antara Indonesia dengan Jepang pada masa lampau. Akan tetapi, kalau ditanyakan, "Tidak pernahkah selama ini dilakukan penerjemahan karya sastra Jepang kecuali yang satu itu”, jawabnya sebetulnya "pernah”. Kalau dicari dengan teliti bahan-bahan pada masa silam dengan saksama, tentu dapat ditemukan beberapa buah terjemahan karya sastra Jepang yang lain. Kalau dimasukkan cerita pendek dan sajak-sajak yang termuat dalam surat kabar atau majalah di samping terjemahan berbentuk buku, jumlahnya dapat dikatakan sudah cukup banyak juga. Kebanyakan telah sirna tanpa mendapat reaksi apapun dari pembaca, tetapi usaha setiap penerjemah untuk memperkenalkan sastra Jepang kepada orang Indonesia memang haruslah dicatat dan dihargai sebagaimana mestinya. 

Dalam karangan ini penulis mencatat semua terjemahan yang pernah diterbitkan dalam bentuk buku, memberi uraian yang dianggap perlu menilai mutunya. Memang ada bermacam-macam pendapat tentang menilai terjemahan, tetapi penilaian penulis di sini terbatas hanya pada ketelitiannya saja, yaitu Seberapa jauh isi karya aslinya disampaikan dalam terjemahan, sesudah membandingkan dengan teks bahasa Jepang. Dengan kata lain, karangan ini merupakan semacam bibliografi terjemahan karya sastra Jepang dalam bahasa Indonesia. 

2. Sebelum Kemerdekaan Indonesia 

Pada tahun 1942 Tentara Jepang menyerbu pulau Jawa dan memulai penjajahannya selama tiga setengah tahun. Sebelumnya di bawah penjajahan Belanda hampir tidak terdapat terjemahan karya sastra Jepang. Memang kesusastraan Jepang sendiri belum begitu terkenal ketika itu. Jepang, selain dari di bidang politik, dipandang sangat jauh dari Indonesia di bidang kebudayaan. Kesusastraan Jepang asing bagi kaum terpelajar Indonesia yang menempuh pendidikan Barat yang pandangannya, mau tidak mau, mengarah ke Barat. 

Dalam pemerintahan militer Jepang, ”Keimin Bunka Shidosho” yang mengatur urusan kebudayaan. Organisasi yang dibentuk pada bulan April 1942 ini memikul tugas sebagai semacam Culture Center. Tujuan yang tercantum dalam pedoman umumnya berbunyi: "Organisasi ini dibentuk sebagai lembaga pendidikan pusat dengan tujuan supaya menyadarkan orang Jawa sebanyak lima puluh juta, terutama dari segi kebudayaan rakyat, mengingat bahwa syarat dasar Lingkungan Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya adalah untuk menimbulkan dan menyerapkan suasana jiwa dan budaya yang tepat pada mereka yang terinjak di bawah penjajahan Belanda selama tiga ratus tahun ... ” 

Pendek kata maksudnya sekadar untuk mengerahkan segala tenaga di bidang kebudayaan dan membuatnya ikut membantu penyelenggaraan perang. Organisasi tersebut dibagi menjadi enam bagian seperti musik, seni lukis, sandiwara dan lain-lain. Di dalam bagian sastra, terdapat kegiatan penerjemahan. Dalam bagian sastra 1ni diminta atau dipaksa oleh pemerintah militer Jepang agar para sastrawan Indonesia terkemuka pada zaman itu seperti Takdir Alisjahbana, Armijn Pane, Sanusi Pane dan lain-lain ikut membantu: demi propaganda tentara Jepang. Di antara mereka tidak sedikit yang mau bekerja sama dengan positif, dengan menaruh harapan terhadap peranan tentara Jepang sebagai tentara pembebas. Akan tetapi, ternyata kemudian bahwa pemerintah militer Jepang itu tidak memenuhi harapannya, tetapi juga mengkhianatinya dengan tindakan-tindakan seperti larangan mengadakan pertemuan dari perkumpulan, pembatasan kebebasan bergerak, dan lain-lain. Terhadap pengontrolan ideologi oleh pihak Jepang, yang menjadi semakin keras, para sastrawan Indonesia terpaksa mengambil sikap pura-pura takluk saja. Dan "salah satu cara untuk melepaskan diri dari sensor Jepang ialah dengan jalan simbolik” (H.B. Jassin: Kesusastraan Indonesia di masa Jepang) dan mengeritik pemerintah militer Jepang dengan tidak langsung. Akan tetapi, "dalam hal ini pun sensor Jepang kadang-kadang lebih cerdik dari pengarang-pengarang Indonesia, sukar lolos hasil-hasil demikian.” (sama).

Dari segi susunan, bagian sastra pun merupakan satu bagian yang tersendiri dan dalam rangka kegiatan ”Keimin Bunka Shidosho” “memperkenalkan keadaan negeri Jepang dan menyebarluaskan kebudayaan”, diharapkan akan mengadakan berturut-turut penerjemahan karya sastra Jepang. Akan tetapi, hanya dua jilid saja yang tinggal sampai sekarang. Mengenai kenyataan ini, Anas Ma'ruf mengatakan, ”Sungguh mengherankan bahwa 'Keimin Bunka Shidosho (bagian sastra)” dan majalahnya ”Toho-bunka (Kebudayaan Timur)' hampir tidak dapat menerbitkan karya terjemahan yang baik, padahal semenjak zaman Meiji dihasilkan banyak karya sastra yang bermutu tinggi di Jepang.” (1). 

Akan tetapi, sudah sewajarnya bahwa karya sastra yang dapat dijadikan objek penerjemahan untuk kepentingan propaganda bagi rakyat di daerah pendudukan hanya terbatas pada yang dapat menimbulkan rasa hormat kepada penjajah (begitu dianggap oleh pihak Jepang), berlainan dengan tujuan untuk mengembangkan pertukaran kebudayaan pada masa damai. Memang dari semula tidak ada maksud untuk memperkenalkan "karya sastra yang bermutu tinggi”. Maksud Jepang yang sebenarnya adalah untuk membangkitkan ”Yamatodamashii” (jiwa Jepang asl1) atau ”Bushido” (semangat samurai) pada rakyat Indonesia. Hal ini jelas kelihatan dari dua judul buku terjemahan yang akan disebut. Di samping itu kalau diingat persentasi melek huruf dari rakyat Indonesia pada zaman itu, fungsi kesusastraan sebagai propaganda tidak dapat dikatakan efektif. Maka wajarlah bahwa kegiatan bagian kesusastraan dipusatkan terutama pada usaha untuk meningkatkan pemberantasan buta huruf dan pelajaran bahasa Jepang. 

Sementara itu, kalau dilihat dari segi waktu, tiga setengah tahun pemerintahan militer Jepang, terlalu pendek untuk membuat organisasi yang baru dibentuk itu berjalan sebagaimana mestinya, yaitu mendidik tenaga penerjemah, dan menghasilkan terjemahan yang cukup berarti. Apalagi, sebenarnya waktu itu lebih pendek, karena dikurangi masa kacau pada permulaan pendudukan dan menjelang kalah perang. 

Setiap terjemahan yang pernah dikerjakan, diuraikan sebagai berikut: 

1. Judul terjemahan dalam bahasa Indonesia atau buku yang memuatnya, 
2. Judul buku asli dalam bahasa Jepang, 
3. Buku terjemahan pengantar, 
4.Catatan. 

No.1 (1) "Setanggi Timur” (diterjemahkan oleh Amir “— Hamzah) Penerbit: Pustaka Rakyat, Jakarta, 1939, 5 halaman (H. 24—28). (2) Haiku (sejenis sajak yang terdiri dari 17 bunyi, yaitu 5—7—5) dan Waka (sejenis sajak juga terdiri dari 31 bunyi, yaitu masing-masing 5—7—7—5) jumlahnya 24 buah. (3) "An Anthology Of Haiku Ancient And Modern” (penerjemah, penerbit dan waktu diterbitkan tidak dikenal). (4) Kalau dicari antara karya yang dikerjakan di zaman penjajahan Belanda, baru buku terjemahan ini, yang diperkenalkan sajak-sajak negeri Asia seperti India, Tiongkok, Jepang, Turki dan lain-lain. Dalam bagian sajak Jepang termuat sepuluh buah Haiku seperti karya Issa Kobayashi (1763— 1827), Buson Yosa (1716—1783), Basho Matsuo (1644—1694), dan lain-lain. Dan 14 buah Waka seperti karya dari Akahito Yamabe (?—?), Kanemori Taira (990—?) dan lain-lain. Mengenai beberapa orang pengarang Waka, catatannya tidak benar atau ada yang namanya sama sekali tidak disebut. Pendeknya keterangannya tidak teliti. Namun ada harganya karena baru pertama kali memperkenalkan sajak Jepang kepada Indonesia. 

No.2 (1) "Nikudan—Korban Manusia” (S. Takdir Alisyahbana/Subadio Sastrosatomo), Balai Pustaka, Jakarta, 1944, 154 h. (2) Nikudan (Tadayoshi Sakurai). (3) ”Nikudan, Manschenopfer” (Ubers von A.Schinzinger), Seibundo, 1911. (4) Karya asli ”Nikudan” dikarang oleh Tadayoshi Sakurai berdasar pada pengalamannya ketika ikut bertempur dalam perang Jepang dan Rusia (1904—1905) sebagai seorang perwira Angkatan Darat. Karangan ini menggambarkan peperangan dan hidup manusia yang terbayang pada mata seorang pemuda, sehingga dianggap karya unggul dalam kesusastraan zaman “Meiji. Sesudah diterbitkan, karya ini mendapatkan sambutan hangat dan kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa-bahasa Inggris, Jerman, Perancis dan lain-lain. Terjemahannya dalam bahasa Indonesia ini melalui edisi bahasa Jerman. Sebagaimana tersebut di atas ”Nikudan” ini dihargai tinggi di Jepang sebagai karya sastra dokumentasi perang. Akan tetapi, penerjemahan ini dianjurkan bukan karena mutunya tinggi, tetapi karena dianggap berguna untuk mempertinggi gengsi tentara Jepang. Pada bulan Juli 1944, Nur Sutan Iskandar memberikan uraian buku ini demikian:

Nippon adalah mempunyai sesuatu sifat yang tak dapat dikalahkan, yaitu 'Yamatodamashii', jiwa Nippon yang dibentuk oleh aturan latihan militer yang keras. Oleh karena itu panggilan perang untuk membela tanah air dan berbakti kepada TENNO HEIKA melupakan rakyat Nippon akan diri dan kepentingan sendiri, Karena itu mereka tak takut gentar akan mati, malah mati suci . . . Meskipun sekarang kita sehari-hari dapat melihat dan memperhatikan sifat-sifat Bushido dan Yamatodamazhii Nippon dalam pergaulan, tetapi buku ini pun nyata berguna benar bagi kita, lebih-lebih bagi pemuda Indonedia yang akan menyerbukan dirinya ke medan perang bagi prajurit Indonesia, yang akan menyerahkan jiwa raganya dengan sukarela kepada tanah air yang indah mulia ini.” (2). Lebih tiga puluh tahun kemudian, S. Takdir Alisyahbana membiarkan seorang tokoh dalam ceritanya ” Kalah dan menang” (1978) mengatakan: "Adakah buku ini (”Nikudan”) ditulis dengan jujur oleh seseorang yang menyertai peperangan Jepang—Rusia yang berakhir dengan kemenangan Jepang itu? Ataukah ini hanya propaganda dari pihak militer Jepang untuk membuat orang Jepang berjuang dengan tidak mengindahkan mati, malahan menganggapnya sebagai suatu rahmat? Mungkinkah orang dengan mata terbuka menghendaki mati, bahkan berebut-rebut mau mati untuk tanah air dan Tenno Heika? Sikap dari orang Jepang ini bukanlah sikap manusia lagi.” (3). Terjemahannya boleh dikatakan baik. 

No, 3 

(1) "Chushingura” (H.B. Jassin/Karim Halim), Balai Pustaka, Jakarta, 1945, 219 h. (2) "Chusingura” (Sakae Shioya). (3) ”Chusingura” (Shioya Sakae), Hokuseido Press, Tokyo, 1940. (4) Terjemahan dari buku uraian dalam bahasa Inggris mengenai ”Chusingura” yang dikarang oleh Sakae Shioya. ”"Chusingura” adalah sandiwara yang berdasar pada kenyataan dalam sejarah Jepang tentang para samurai di daerah Ako yang bersatu untuk membalas dendam demi kehormatan tuannya yang terpaksa bunuh diri. Buku Shioya ini menerangkan proses peristiwa tersebut, terjadinya drama yang berjudul ”Kanadeohon—Chusingura”, dan lagi isi setiap babaknya. Selanjutnya dia menguraikan panjang lebar pola tindakan orang Jepang yang terlibat di dalamnya. Maksud penerbitan buku terjemahan ini memang sama dengan "Nikudan”, tetapi karena baru terbit pada bulan Maret 1945, menjelang kalahnya tentara Jepang, maka tentu tidak dapat dipergunakan sepenuhnya untuk menyebarluaskan jiwa Bushido Jepang. "Buku ini kami terjemahkan dari bahasa Inggris atas perintah pimpinan Balai Pustaka. Sebagai pegawai kami tidak mendapat honorarium untuk itu.” kata penerjemahnya, H.B, Jassin menoleh ke masa lampau. , 

3. Sesudah Kemerdekaan Indonesia 

Kemerdekaan membawa suasana baru bagi kesusastraan Indonesia. Melalui pengalaman pahit dalam revolusi, tampillah berturut-turut pengarang muda yang lahir pada tahun 1920-an dan karya-karya yang bagus dihasilkan oleh angkatan ini, yang biasanya di panggil ” Angkatan '45”. Dalam keadaan yang begitu giat, dilahirkan di antaranya majalah sastra baru. Di dalam salah satu di antaranya, ”Zenith” yang dipimpin oleh H.B Jassin, termuat terjemahan cerpen Ryunosuke Akutagawa (1892-1927) yang berjudul "Dalam Semak” (1952). Penerjemahnya H.W. Bachtiar yang pernah menjadi dekan Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Sebelumnya pada tahun 1950, sandiwara Kikuchikan (1888-1948), ”Chichi—kaeru”, diterjemahkan oleh Usmar Ismail dengan judul ”Ayahku pulang” yang dimainkan oleh Maya dan kemudian dibuat film berjudul : "Dosa tak berampun”. Sekarang terbuka zaman baru untuk memperkenalkan karya sastra Jepang, yang berlainan dengan yang pernah dikerjakan dengan tujuan propaganda untuk kepentingan perang seperti sebelumnya. Sesudah itu, mnyusul terjemahan-terjemahan dari esai Hitoshi Ito (1905—1969), ”Okujono—-kyoojin (orang gila di atas atap) oleh Kan Kinkuchi, ”Viyonno--tsuma”' (Istri Viyon) oleh Osamu Dazai (1909— 1948) dalam majalah Konfrontasi”, dan karya Hidlo-Oguma (19011940) dalam majalah "Zaman Baru”. Di samping itu, terdapat juga karya-karya pengarang Jepang yang terkemuka seperti Yukio Mishima (1925—1970), Kafu Nagai (1879-1959), Junichiro Tanizaki (1886--1965), Naoya Shiga (1883— 1971), Soseki Natsume (1867—1916) dan lain-lain. Akan tetapi, semuanya berupa cerpen atau penggaIan dari roman saja dan orang yang berminat pada kesusastraan Jepang sangat terbatas jumlahnya.

Pada tahun 1957 ketika kongres International Pen—Club yang diadakan untuk pertama kali di Asia di Tokyo, Anas Ma'ruf hadir sebagai wakil Indonesia. Dia menulis, mengenang keadaan zaman itu, D1 Indonesia ketika itu belum ada perhatian pada Sastra Jepang. Bagi kebanyakan orang Indonesia negeri Jepang merupakan negeri yang belum dikenal. Bahan dan dokumen mengenai sastra Jepang pun sukar diperoleh (4) 

Tentu dalam Perang dunia yang lalu tentara Jepang menduduki Indonesia selama tiga setengah tahun. Namun demikian, Jepang tidak memberi pengaruh apa-apa dalam bidang kebudayaan dan dengan pulangnya tentara Jepang, negeri Jepang pun hilang dari ingatan orang Indonesia, sehingga Jepang terasa sangat jauh.

Pada masa perhatian terhadap Jepang yang sangat tipis itu, diterbitkanlah dua jilid buku yang menarik, yaitu ”Sastra Jepang Sekilas Mata” (Gunung Agung, 1961) dan "Antologi Sastra Jepang” (Gunung Agung, 1964) oleh Nio Joe Lan. Yang disebut lebih dahulu adalah uraian umum mengenai sejarah sastra Jepang, dan yang belakangan memuat terjemahan duabelas buah karya sastra Jepang (masingmasing tidak seluruhnya, hanya sebagian saja) mulai dari roman ”Genjimonogatari” (kisah Genji) oleh Murasaki Shikibu (? — 1916) sampai ”Nijuyonno hitomi” (dua puluh empat biji mata), untuk menganalisa kehidupan atau pandangan -hidup orang Jepang. Memang keduanya hanya berupa uraian yang sangat terbatas saja, tetapi tidak boleh dilupakan sebagai buku dalam bahasa Indonesia yang pertama menunjukkan perhatian pada sastra Jepang. 

Pada tahun 1968, Yasunari Kawabata (1899— 1972), sebagai orang Asia kedua, menggondol hadiah Nobel untuk kesusastraan sesudah Rabindranath Tagore (1861—1941) dari India. Hal ini membangkitkan perhatian orang Indonesia terhadap sastra Jepang. Pada tahun 1972 "”Yukiguni” (Negeri Salju) (yang akan disebut) diterbitkan oleh Pustaka Jaya yang dipimpin oleh Ajip Rosidi. Pada tahun 1970 dalam Konferensi Pengarang Asia yang diadakan di Taipei, dia bertemu dengan Yasunari Kawabata dan singgah di Tokyo dalam perjalanan ke Seoul untuk menghadiri Kongres International Pen Club ke 37, sehingga dia pun mulai menaruh minat pada kebudayaan Jepang. Sebetulnya sebagai direktur Pustaka Jaya dan ketua Dewan Kesenian Jakarta, dia sudah lama mempunyai rancangan untuk memajukan penerjemahan bermacam-macam karya sastra dunia, yang dianggapnya akan memberi dorongan pada perkembangan sastra Indonesia di masa depan. Kebetulan ketika itu pihak Jepang sedang bersiap-siap untuk membentuk sebuah badan yang bertugas menyebarkan kebudayaan Jepang di dunia internasional, yaitu kemudian disebut ''The Japan Fundation”. Lembaga ini memberikan bantuan pada penerbitan terjemahan karya sastra Jepang dalam bahasa asing, termasuk bahasa Indonesia, Terjemahan karya sastra Jepang dikeluarkan berturut-turut, terutama dari Pustaka Jaya sebagaimana akan disebut. Semenjak tahun 1981, Ayip Rosidi diundang sebagai visiting professor di Universitas Bahasa-bahasa Asing Osaka dan memberi kuliah mengenai sastra Indonesia di situ. 

Di bawah ini saya akan mencatat setiap karya terjemahan yang pernah dikerjakan sesudah kemerdekaan. No. 4 (1) "Jigokuhen—Api Neraka” (Winarta Adi Subrata), Mekar Jaya, Jakarta, 1966, 51 h. (2) "Jigokuhen” (Ryunosuke Akutagawa). (3) "Tales Grotesgue and Curious” (Glenn W. Shaw). (4) Terjemahan ini berbentuk buku, yang merupakan terjemahan karya sastra Jepang yang pertama diterbitkan sesudah kemerdekaan. Winarta Adisubrata mempunyai sebuah buku terjemahan sastra Jepang lagi, yaitu ''Kappa”yang nanti akan disebut. Sebagai alasan mengapa hatinya tertarik pada sastra Jepang, dia mengatakan "sangat subtil, penuh imajinasi, bernilai tinggi dan modern” dan "memprihatinkan diri sendiri sebab cuma mampu menerjemahkan dari bahasa Inggris.” Mutu terjemahannya cukup baik juga. 

No. 5 

(1) "Rumahku di Sorga” (Sunaryono Basuki Ks), Balai Pustaka, Jakarta, 1971, 15 h. (2) "Hookyooninno shi” (Ryunosuke Akutagawa). (3) "The Martyr” (Takashi Kojima), Bantam Books, New York, 1952. (4) Sebuah dalam seri terjemahan Balai Pustaka yang berbentuk buku kecil yang hanya belasan halaman saja. Penerjemahannya tidak secara harfiah tetapi cukup baik. 

No.6 

(1) "Negeri Salju” (Anas Ma'ruf), Pustaka Jaya, Jakarta, 1972, 147 h. (2) "Yukigoni” (Yasunari Kawabata). (3) "Snow Coantry” (Edward G. Seidensticker), — Charles E. Tuttle Co., Tokyo, 1957. (4) Penerjemahnya Anas Ma'ruf diundang ke Universitas Bahasa Asing Tokyo dan mengajarkan bahasa dan sastra Indonesia di situ selama tujuh tahun pada tahun 1966—1971 dan tahun 1979— 1980. Buku ini adalah terjemahan roman Jepang yang pertama sesudah kemerdekaan Indonesia, maka ia menarik banyak perhatian dan mendapat sambutan ramai sesudah diterbitkan. Dalam menerjemahkannya, Anas Ma'ruf berusaha untuk menyampaikan nuansa bahasa Jepang yang halus, misalnya membedakan kata ganti orang ketiga untuk laki-laki dengan untuk perempuan. Namun demikian, sukar sekali menangkap nuansa bahasa Jepang Kawabata melalui terjemahan bahasa Inggris. Tidak sedikit terdapat bagian yang disangka salah atau kurang tepat di dalamnya. Memang tidak dapat dikatakan karya yang berhasil sebagai terjemahan. Dia sendiri menerima kritik-kritik itu sesudah diterbitkan, dan menaruh keinginan untuk memperbaikinya. Sangat disayangkan bahwa dia meninggal sebelum sempat mewujudkan keinginannya itu. Meskipun ada masalah di dalam terjemahannya, haruslah di hargai usaha Anas Ma'ruf dalam meningkatkan perhatian terhadap sastra Jepang. 

No. 7 

(1) "Nyanyian Laut” (Max Arifin), cerita bersambung di ”"Kompas”, 1915. (2) "Shiosai” (Yukio Mishima). (3) "The Sound of Waves” (Meredith Weatherby). (4) Pada prinsipnya karangan ini meliputi terjemahan yang berbentuk buku saja, tetapi karya ini menarik banyak pembaca sebagai cerita bersambung dalam surat kabar, maka saya menyentuhnya sedikit. Ketika karya ini sedang dimuat dalam "”Kompas”, kebetulan salah seorang redaksi ”Kompas” datang ke Jepang dan menjawab dengan bangga tatkala diwawancarai oleh seorang wartawan Jepang, "Surat kabar kami berusaha untuk memperkenalkan kebudayaan Jepang dan sekarang terjemahan 'Shiosai' kami muat sebagai cerita bersambung ...” Namun demikian, sayang sekali tidak sedikit salah terjemahan yang terdapat di dalamnya. Sungguh mengagetkan bahwa bab ketigabelas dan keempat belas terbalik urutannya. Di samping itu juga ada kesalahan yang mendasar sifatnya. Di dalam ”Kompas”, tanggal 18 Nopember 1975, Harjanto menulis, ” . . . Namun semuanya itu (kekurangan-kekurangan) tidak mengurangi penghargaan saya atas kerja keras (penerjemah), yang secara keseluruhan dapat mengangkat novel itu bisa dibaca secara lancar dalam bahasa Indonesia tanpa mengganggu keanggunannya. Harapan saya mudah-mudahan terjemahan itu bisa disempurnakan, bila ada kemungkinan untuk menerbitkannya kembali dalam bentuk buku.” Penulis pun se tuju. Kalau dilihat dari segi mutunya, karya ini jauh dari memuaskan. Tentu perlu dikoreksi lagi untuk dibukukan sebagaimana disebut oleh Harjanto. 

No. 8 

(1) "Puisi Modern Jepang” (Sugiarta Sriwibawa), Budaya Jaya, Jakarta, 1975, 66 h. (2) "Nihon — kindaishishu”. (3) Tidak dikenal (4) Buku ini memperkenalkan puisi modern Jepang. Di dalam kata pengantarnya ada uraian mengenai puisi modern Jepang. Sebelumnya juga pernah dimuat terjemahan sajak-sajak puisi modern Jepang di dalam majalah sastra, tetapi baru inilah yang berbentuk buku. Di dalamnya dimuat sebanyak empat puluh dua buah sajak dari dua puluh lima orang penyair, mulai dari Toson Shimazaki (1872—1943), Hakusyu Kitahara (1885 —1943), Rofu Miki (1889—1964) sampal Shuntaro Tanigawa (1931— ? ). Dari setiap penyalr, hanya satu atau dua buah sajak saja yang dimuat, maka memang tidak dikatakan cukup mendalam. Namun ada harganya karena garis besar pulsi modern Jepang dapat ditangkap daripadanya. 

No. 9 

(1) "KAPPA” (Winarta Adisubrata), Pustaka Jaya, Jakarta, 1975. 98 h. 3 sk appa” (Sy unosuke Akutagawa). appa” (Seiichi Shiojiri), Hokusei kyarbaag J1), Hokuseido Press, To (4) Penerjemahnya sama dengan ”JIGOKUHEN”, Di dalamnya terdapat beberapa kesalahan yang mungkin di sebabkan oleh salah pengertian terhadap bahasa Inggris. Tentu akan menjadi lebih baik kalau dicek sekali lagi. 

No. 10 

(1) "Senandung Ombak” (Ayatrohaedi), Pustaka Jaya, Jakarta, 1976, 182 h. (2) "Shiosai” (Ryunosuke Akutagawa). (3) "The Sound of Waves” (Meredith Weatherby ), Charles E Tuttle Co., Tokyo, 1956, (4) Sesudah terjemahan Max Arifin dalam ”Kompas” yang sudah disebut, diterbitkanlah terjemahan baru oleh Ayatrohaedi. Kalau dibandingkan dengan yang lama, terjemahan baru ini masih baik juga. Akan tetapi, tidak sedikit salah terjemahan, yang tentu akan dapat dicegah kalau diperiksa dengan teliti. Namun ''Terjemahan Ayatrohaedi cukup memikat dan tidak mengganggu kenikmatan kita untuk menyerap suatu karya yang sebenarnya ditulis dalam bahasa asing.” (5). 

No. 11

(1) "JEMBATAN IMPIAN” (Sugiarto Sriwibawa), Pustaka Jaya, Jakarta, 1976, 128 h. (2) "Yumeno Ukihasi” dan ”Shunkin-sho” (Junichiro Tanizaki). (3) "Seven Japanese Tales” (Howard Hibbett). (4) Terjemahan ini juga ada cacatnya. Di samping terjemahan yang kurang tepat karena salah pengertian terhadap bahasa Inggris, ada juga yang disebabkan karena kurang cukupnya pengetahuan mengenai kehidupan dan latar belakang kebudayaan bangsa Jepang. Kata-kata yang berhubungan dengan kebiasaan atau kehidupan kuno sukar diterjemahkan ke dalam bahasa asing. Dalam hal ini, kalau ada seorang penasehat yang dapat menerangkan arti kata-kata semacam itu, banyak kesalahan dapat dicegah dan dikoreksi. 

No. 12 

(1) "CERPELAI DAN ANEKA KISAH" (Hasan (0 Arain), Balai Pustaka, Jakarta, 1916, 28 h. (2) "Mujina” , ”Shirami”, ”Sakamushi” (Ryunosukutagawa). | (3) aalaa Gantesaue and Curious” (Glenn W. Shaw) Hokuseido Press, Tokyo, 1930. Tn | (4) Karya ini dan No. 13 & 14 adalah dari seri Balai Pustaka. Disebut saduran, tetapi sebetulnya boleh sianggap terjemahan. Terjemahannya cukup juga.

No.13 

(1) "PESTA DANSA DAN ANEKA KISAH” (Hasan Amin), Balai Pustaka, Jakarta, 1976, 51 h. (2) "Butookai”, ”Kiseru”, ”Mori—sensei” (Ryunosuke Akutagawa). (3) (4) sama. 

No. 14 

(1) "RASHOMON DAN -ANEKA KISAH” (Hasan Amin), Balai Pustaka, Jakarta, 1976, 39 h. (2) "Rashomon”, ”Hana”, ”Hankechi” (Ryunosuke Akutagawa). (38) (4) sama. 

No. 15 

(1) "RUMAH PERAWAN” (Asrul Sani), Pustaka Jaya, Jakarta, 1977, 93 h. (2) "Nemureru bijo”' (Yasunari Kawabata). (3) "House of the Sleeping Beauties” (Edward G. Seidensticker), Kodansha International Ltd 1969. (4) Ini terjemahan karya Yasunari Kawabata yang kedua setelah "Negeri salju” yang sudah disebut. Maka karya ini disambut dengan penuh perhatian, mendapat tempat dalam ruang tinjauan buku banyak majalah serta surat kabar, dan ternyata kebanyakan mengakui mutu terjemahannya cukup memuaskan. Konon jauh lebih baik dari "Negeri Salju”. Namun demikian, penerjemah yang terkenal sebagai "raja penerjemah” ini pun tidak luput dari pengaruh buruk yang disebabkan terjemahan "melalui bahasa Inggris”. Kalau diperiksa dengan teliti, akan terdapat bagian yang salah satu meleset dari arti kalimat aslinya. 

No. 16 

(1) "BANGAU—BANGAU BETERBANGAN” (Max Arifin), Nusa Indah, Flores, 1978, 118 h. (2) "Senbazuru” (Yasunari Kawabata). (3) "Thousand Cranes” (Edward G. Seidensticker), Charles E. Tuttle Co., Tokyo, 1967. (4) Sama dengan "Nyanyian Laut” dahulu, tidak sedikit cacatnya. Terdapat juga terjemahan yang kurang baik karena salah memahami bahasa Inggrisnya. 

No 17 

(1) "RAHASIA HATI” (Hartojo Andangdjaja), Pustaka Jaya, Jakarta, 1978, 288 h. (2) "Kokoro" (Soseki Natsume). (3) "Kokoro” (Edwin McClellan), Charles E. Tuttle Co. Tokyo, 1969. (4) Kalau terbatas pada ketelitian saja, karya ini dapat dikatakan terjemahan yang baik sekali. Sungguh seksama pemahaman teks Inggris dan penerjemahannya ke dalam bahasa Indonesia. 

No. 18. 

(1) "KUIL KENCANA” (Asrul Sani), Pustaka Jaya, Jakarta, 1978, 327 h. (2) "Kinkakuji” (Yukio Mishima). (3) "The Temple of The Golden Pavilion” (Ivan Morris). Charles E. Tuttle Co., Tokyo, 1959. (4) Rupanya karya ini terlalu cepat dikerjakan, maka tidak dapat dihindarkan kesalahan yang mungkin terjadi karena tiada pemeriksaan yang cukup teliti sesudah selesai diterjemahkan. 

No.19 

(1) "MALAM TERAKHIR” (Toto Sudarto Bachtiar), Pustaka Jaya, Jakarta, 1979, 34 h. (2) "Sotobakomachi” (Yukio Mishima). (3) "Sotoba Komachi” (Donald Keene), Charles E. Tuttle Co., Tokyo, 1967. (4) Dalam beberapa tahun ini objek penerjemah pun sudah menjadi luas, bukan hanya cerita saja tetapi drama juga mulai diambil untuk diterjemahkan. Contohnya adalah karya ini dan ”KANTAN” yang berikut. Untuk penerjemahan drama, tentu diperlukan ketelitian yang lebih tinggi dari pada penerjemahan cerita. Namun demikian, di dalam terjemahan ini tentu terdapat bagian yang ternyata meleset dari arti bahasa Jepang. Tak dapat dikatakan terjemahan yang memuaskan. 

No. 20 

(1) "KANTAN” (Masnendi Nataatmaja), Pustaka Jaya, Jakarta, 1979, 49 h. (2) "Kantan” (Yukio Mishima). (3) "Kantan” (Donald Keene), Charles E. Tuttle Co Tokyo, 1967. (4) Buku ini merupakan terjemahan yang pertama bagi penerjemah, Masnendi Mataatmaja, yang lahir di Cibatu, Jawa Barat pada tahun 1928. Namun demikian, terjemahannya cukup teliti, sehingga tidak terdapat masalah di dalamnya. 

No. 21 

(1) "KEINDAHAN DAN KEPILUAN” (Asrul Sanil, Pustaka Jaya, Jakarta, 1980, 232 h. (2) ”Utsukushisa to kanashimi to” (Yasunari Kawabata) (3)”Beauty and Sadness” (Howard Hibbett), Charles E. Tuttle Co., Tokyo, 1975. (4) Karya ini adalah terjemahan sastra Jepang yang ketiga oleh Asrul Sani. Kalau dibandingkan dengan kedua terjemahan yang lain, rupanya lebih banyak perhatian dicurahkan penerjemah. kepada yang baru ini. Ketelitiannya juga paling tinggi di antara ketiganya. 

4, Masalah-masalah Penerjemahan Ke Dalam Bahasa Indonesia.

Sungguh besar peranan buku terjemahan dalam memperdalam saling pengertian internasional, yang menembusi dinding bahasa. Misalnya, pada ”Japan— Indonesia Collogium” yang diadakan di Kobe, Jepang, pada bulan September 1982 ditekankan juga pentingnya usaha penerbitan terjemahan untuk mengembangkan perhubungan kedua negara dalam bidang kebudayaan. Ketika Sabam Siagian, seorang jurnalis yang ikut serta dalam pertemuan tersebut sebagai wakil dari pihak Indonesia, di tanyai bagaimanakah jalan untuk mempererat pertukaran informasi di antara Indonesia dengan Jepang, dia menjawab, ”Bagaimanakah kalau terus-menerus diusahakan menerjemahkan buku Jepang ke dalam bahasa Indonesia dan menerbitkannya? Misalnya menerjemahkan buku-buku Jepang mengenai sejarah, ekonomi, politik dan lain-lain, ya, lima judul setiap tahun dan mengirimkannya kepada perpustakaan umum di seluruh Indonesia yang berjumlah kira-kira dua ribu. Kalau terus dilakukan begitu, tentu nanti akan terjadi sesuatu.” 

Masalah penerjemahan dan penerbitan ini bukan hal baru. Dalam pertemuan yang sudah diadakan lebih dari sepuluh kali ini juga sering diambil sebagai pokok pembicaraan dan diperbincangkan. Akan tetapi, ternyata tidaklah mudah mencari jalan untuk melaksanakannya secara konkrit. Kalau terbatas pada terjemahan sastra saja, tentu diperlukan ”back-up” pihak Jepang dari segi keuangan. Kalau seratus persen berdasarkan sistem perdagangan swasta, tidak dapat diharapkan perkembangan besar. Mengenai hal-hal seperti ini, Ajip Rosidi mengatakan, ”Sangat susah menjual buku sastra di Indonesia. Di negeri kami, Pustaka Jaya yang saya pimpin adalah satu-satunya perusahaan penerbitan sastra saja. Di perusahaan kami juga, sebetulnya ketekoran yang disebabkan oleh penjualan buku sastra baru dapat ditutupi dengan keuntungan yang dapat diperoleh dari buku kanak-kanak. Lebih-lebih buku sastra terjemahan dapat dikatakan sangat lambat lakunya. Malahan sungguh tidak laku.” (6). 

Namun demikian, belakangan ini terlihat kemajuan dalam bidang ini. Sebagaimana sudah disebut di atas, bantuan keuangan dari” The Japan Foundation” memberi kesempatan untuk menghasilkan banyak karya terjemahan dan "The Toyota Foundation yang selama ini memberi sokongan terhadap penerjemahan buku-buku Asia Tenggara ke dalam bahasa Jepang dalam rangka proyek ”Mengenal Tetangga”, akan menangani usaha memperkenalkan buku-buku Jepang di negara-negara Asia Tenggara dalam bahasa setempat. Sudah mulai terbentuk iklim untuk menghasilkan karya terjemahan yang baik. Akan tetapi, yang lebih mendasar dan lebih penting adalah mutu terjemahan. Tidaklah dapat kita mengatakan sudah beres, meskipun bantuan keuangan tersedia dan jumlah buku yang diterjemahkan bertambah, kalau mutu terjemahannya tidak terjamin. Kalau dihasilkan karya terjemahan yang sungguh-sungguh bermutu, yang berguna untuk perkenalan kebudayaan Jepang, barulah senang hati kami. Kalau terjemahannya je» DuKan saja tidak berguna, tetapi juga ada kemungkinan akan menimbulkan salah paham terhadap Jepang. 

Namun demikian, pada hakikatnya hampir tidak ada kesempatan untuk memeriksa mutu terjemahannya. "The Japan Foundation” pun tidak menghiraukan isi terjemahan ketika mau memberi bantuan. Maka kalau terdapat kesalahan dalam terjemahan, dapat begitu saja tanpa diperbaiki. Untuk mengatasi hal demikian, penulis membandingkan isi terjemahan dengan naskah asli dalam bahasa Jepang, mengambil kalimat-kalimat yang dianggap kurang tepat atau salah, membuat daftar tentang itu, dan mengirimkannya kepada penerjemah kalau diperlukan. Komentar yang diberikan terhadap karya di atas adalah data-data yang penulis kerjakan. Memang maksud penulis bukanlah untuk menghina atau mencerca penerjemah, tetapi untuk menyediakan bahan yang akan berguna kalau terjemahan itu mau diperbaiki nanti. 

Sementara itu, sudah wajar bahwa mutu terjemahan tidak selalu sama menurut setiap karya atau setiap penerjemah. Tetapi betapapun besarnya bakat penerjemah, kalau ia menerjemahkan melalui bahasa lain, maka terjemahannya sudah ada batas. Tidak dapat diharapkan akan mencapai terjemahan yang memuaskan. Akibatnya para pembaca yang selalu terpaksa membaca terjemahan yang tidak langsung seperti itu, menaruh ketidakpuasan mengenai keadaan demikian, 

Di dalam ”Pikiran Rakyat”, Jakob Sumarjo menyatakan rasa kurang senang terhadap keadaan ”kebudayaan Timur masuk melalui dunia Barat”, yaitu sastra Jepang diperkenalkan melalui bahasa Inggris. Dengan kata lain, orang Indonesia tidak memilih karya sastra Jepang yang dianggap bagus dengan seleranya sendiri, tetapi harus melalui saringan selera orang Barat saja. Akhirnya perasaan kurang enak ini akan tertuju kepada orang Indonesia yang mempelajari bahasa dan sastra Jepang juga. Jakob juga mengatakan ”Buku-buku terjemahan Inggrislah yang masuk ke Indonesia. Meskipun banyak berdiri jurusan sastra Jepang di Indonesia, tetapi konsumsi kita tentang sastra Jepang tetap melalui bahasa Inggris . . (7). 

Kalau diingat bahwa semua terjemahan buku Indonesia yang pernah dikerjakan di Jepang, tidak peduli mutunya baik atau tidak, diterjermahkan langsung dari bahasa aslinya, maka tidak dapat disangkal bahwa masih kurang sekali tenaga untuk penerjemahan langsung dari bahasa Jepang di Indonesia. Pengajaran bahasa Jepang di Indonesia sesudah kemerdekaan, dimulai dengan dibangunnya Jurusan Bahasa Jepang di Universitas Pajajaran pada tahun 1963, yang disusul oleh Jurusan Kesusastraan di Universitas Indonesia. Di samping Itu, masih banyak lembaga-lembaga lain yang memberikan kuliah atau sastra Jepang, seperti perguruan tinggi, akademi, dan lain-lain. Apa lagi, orang Indonesia yang pernah belajar di Jepang terus bertambah dan jumlahnya ditaksir sudah sekitar tiga ribu orang. Memang tidak sedikit kalau dilihat dari segi jumlahnya. Namun sebenarnya sangat sedikit, meskipun ada, tenaga yang dapat menangani penerjemahan karya sastra langsung dari bahasa Jepang. Bagaimana caranya untuk mendidik tenaga penerjemah yang baik tetap merupakan masalah besar yang harus dipecahkan.

Sesudah tahun 1970-an, terjemahan sastra Jepang terus bertambah jumlahnya. Selanjutnya juga diharapkan akan berkembang terus dalam suasana mendorong peningkatan pertukaran kebudayaan. Akan tetapi, kalau menginginkan kemajuan bukan hanya dalam jumlah saja melainkan juga dalam mutunya, maka ada beberapa hal yang harus diperhatikan dan dipenuhi. Dua dari padanya penulis angkat sebagai ganti kesimpulan. 

(1) Ketika memberi bantuan, “The Japan Foundation” harus memeriksa mutu terjemahannya juga. Kalau ada kesalahan atau kekurangan di dalamnya, sebaiknya memberikan informasi atau nasihat yang perlu kepada penerjemah yang bersangkutan. Dan harus menjaga supaya mutunya dipertahankan. 

(2) Untuk menghasilkan terjemahan yang bermutu tinggi mutlaklah syarat untuk menerjemahkan langsung dari bahasa aslinya. Tetapi, sebagaimana dikemukakan di atas, sekarang masih sangat terbatas tenaga yang dapat memenuhi persyaratan itu. Mendidik penerjemah yang cakap sangat penting, tetapi akan memakan waktu lama. Persediaan tenaga ini tentu akan terwujud di masa depan, tetapi tidak dapat diharapkan terpenuhi pada masa sekarang. Maka untuk sementara waktu, terjemahan melalui bahasa Inggris pun terpaksa diakui dan diterima, tetapi harus diusahakan sedapat-dapatnya supaya jangan terjadi kesalahan-kesalahan terjemahan. Cara untuk menghindarkannya adalah, misalnya penerjemahan harus mempunyai kesanggupan yang cukup untuk memahami bahasa Inggris, mempelajari latar belakang kebudayaan Jepang dengan sungguh-sungguh, ada penasehat atau pemeriksa yang dapat meneliti terjemahan dengan membandingkannya dengan bahasa aslinya dan lain-lain. Untuk itu, tidak dapat tidak harus ada kerja sama antara orang Indonesia dengan Jepang. Baik dalam usaha penerjemahan dari bahasa Jepang ke dalam bahasa Indonesia, maupun sebaliknya, kerja sama antara kedua pihak itu yang merupakan syarat mutlak untuk mencapai karya terjemahan yang bermutu tinggi. Hal inilah yang ingin penulis tekankan!

Catatan

(1) Anas Ma'ruf:"Japanese Literature In Indonesia” (The Japan Foundation News Letter, Vol. V/No. 6. Feb. 1978 P. 6—9).
(2) Dalam ceramah siaran radio pemerintahan militer Jepang, tanggal 17 Juli 944.
(3) "Kalah dan Menang", (Dian Rakyat, 1978), P. 259.
(4) Sarna dengan nomor (1).
(5) Kompas, tanggal 18 Nopember 1975.
(6) Ucapan dalam simposium ''Tugas Sastrawan” yang dimuat "'Kukusai Koryu” No. 26. Jan. 1981) yang diterbitkan oleh Japan Foundation.
(7) Pikiran Rakyat, tanggal 10 Desember 1980.

Sumber: Makalah 'ACTA HUMANISTICA ET SCIENTIFICA UNIVERSITAS SANGIO KYOTIENSIS" jilid XII No. 4, Foreign Languages and Literature series No. 10, Maret 1983).

MARI BERBAGI:
Editor

TAMBAHKAN KOMENTAR

5700840368070671462