BLANTERVIO103

Sebuah Surat untuk Harry Aveling - Budi Darma

Sebuah Surat untuk Harry Aveling - Budi Darma
3/27/2020
Sebuah Surat untuk Harry Aveling
oleh Budi Darma



SASTRADUNIA.COM | Keadaan di Surabaya tidak begitu menyenangkan. Cuaca bagaikan wanita, tidak bisa dipercaya. Sebentar hujan sebentar terang, sebentar kelihatan akan hujan ternyata panas, sebentar kelihatan panas ternyata hujan. 

Beberapa waktu yang lalu Mr. Tan Chin Kwang, dosen Department of Malay Studies Universitas Singapura, berada di Indonesia. Dia akan menulis disertasi, dan menemui beberapa pengarang Indonesia. Ada pertanyaan Mr. Kwang yang diajukan kepada saya yang bagi saya tidak mengejutkan: mengapa sastra Indonesia selalu mengenai kota? Pertanyaan ini tidak buruk dan bukannya tidak bijaksana. Yang saya herankan mengenai pertanyaan yang sudah menjadi klise ini adalah: mengapakah persoalan yang sebetulnya tidak memusingkan ini dipikirkan benar-benar? Pertanyaan yang lebih bersifat sosial daripada sastra sebetulnya bukan merupakan masalah pokok sastra. Apakah karya sastra mengenai desa atau kota, mengenai kehidupan manusia atau binatang atau juga dewa-dewa, mengenai hidup masa kini atau hidup sesudah mati, mengenai dunia jasmaniah atau dunia metafisik, bukanlah persoalan yang pokok. Kekonyolan orang dalam menilai sastra antara lain terletak di sini: merisosialkan sastra, melihat sastra dari segi yang kurang tepat. 

Beberapa waktu yang lalu saya membaca novel Marcel Proust The Captive. Novel ini menarik bukan karena sebagian penceritaan terjadi di tempat tidur, di Paris, dan di Balbec, juga bukan karena perempuan dalam novel ini bernama Albertine dan sahabatnya bernama Andree, tapi karena novel ini memang novel yang baik. Misalnya Paris dan Balbec diubah menjadi tempat-tempat lain dan Albertine diganti menjadi Augustine dan Andree menjadi Jacques, novel ini akan tetap menarik karena baik. Tentu saja Proust sendiri tidak mempunyai kebebasan penuh untuk mengubah nama-nama tersebut. Paris, Balbec, Albertine, Andree, dan lain-lainnya memang sejiwa dengan apa yang diceritakannya. Bahkan dentang-denting genta sapi, bau tanah di jalan-jalan, dan gemersiknya daun-daun dalam seluruh novel sama sekali tidak bisa disulap menjadi lain. Proust mempunyai hubungan yang sangat pribadi dengan apa yang diceritakannya, sehingga apa yang diceritakannya tidak lain dan tidak bukan adalah apa yang diceritakannya. Suatu perubahan, betapa kecil pun perubahan tersebut, mungkin saja akan mengubah keseluruhan novel. Sebagai pengarang, Proust memang terikat oleh norma-norma kreativitas. Mungkin saja dia memilih nama Albertine karena nama ini mempunyai arti yang sangat khusus baginya, sehingga mau tidak mau dia tidak mungkin memilih manusia lain dengan nama lain, bahkan dengan kerut jidat yang lain, pakaian yang berbeda, dan warna rambut yang tidak sama. Akan tetapi semuanya ini bukan urusan pembaca: pembaca tidak terikat oleh norma-norma kreativitas pengarang yang sifatnya sangat pribadi, dan pengarang yang baik tidak terikat untuk melayani keinginan pembaca. 

Memang ada satu hal yang menentukan: pengarang tidak bisa. terlepas dari keadaan sekitarnya, sehingga pengarang berkecenderungan untuk menulis mengenai daerah tempat tinggalnya. Dan sebagian besar pengarang Indonesia tinggal di kota. Saya setuju dengan Anda bahwa pengarang-pengarang Indonesia sekarang adalah kaum intelektual. Keadaan di Indonesia belum memungkinkan kaum intelektual tinggal di desa. Secara gampangan dapat kita katakan, kota dan desa sekaligus identik dengan orang kota dan orang desa, intelektual dan bukan intelektual, meskipun yang tinggal di kota tidak seluruhnya intelektual. Apabila lalu-lintas buku, film, kesempatan berdiskusi dengan pemikir-pemikir yang baik, dan lain-lain semacam itu termasuk juga keperluan kesehatan dapat bertebaran ke mana-mana, kota dan desa tidak memisah-misahkan pengertian tersebut. Dan kalau memang benar bahwa kota dan desa sekaligus identik dengan intelektual dan bukan intelektual, maka pertanyaan Mr. Kwang yang sudah menjadi omongan umum bisa menjadi menarik: mengapa sastra Indonesia hanya ditulis dan dibaca oleh Kaum intelektual yang sanggup mengamati kehidupan melalui media sastra?

Namun pertanyaan yang menarik ini akan segera tidak menarik begitu kita menyadari untuk apa kita bersastra. Dalam sastra kita tidak bisa bercita-cita untuk menurunkan kapasitas intelektual kita. Sastra adalah intellectual exercise, dan kita bercita-cita untuk menaikkan kapasitas intelektual kita. Karena itulah sastra Indonesia yang sudah "terlanjur" ditulis dan dibaca oleh kaum intelektual yang mau memanfaatkan media sastra tidak perlu diturunkan. Maka pertanyaan di atas yang kelihatannya bersifat sastra ternyata hanya bersifat sosial: bagaimanakah kehidupan yang baik bisa merata di mana-mana di Indonesia sehingga kota dan desa bisa didiami oleh siapa pun? 

Mungkin Anda sudah memiliki buku terjemahan cerpen-cerpen Indonesia ke dalam bahasa Jerman yang dikerjakan oleh Prof. Irene Hilgers-Hesse. Di samping menaruh hormat pada beliau, saya juga menaruh hormat pada pengarang-pengarang Indonesia yang cerpencerpennya diterjemahkan oleh beliau. Meskipun demikian, pertimbangan di luar sastra yang dipergunakan oleh Prof. Hesse mengecewakan saya. Cerpen-cerpen tersebut dipilih karena unsurunsur eksotismenya yang tidak mungkin dijumpai oleh orang-orang Jerman di negerinya sendiri, yaitu bekas Deutschland ÃœUber Alles yang karena keserakahan Sang Führer pernah menjadi Alles Ãœber Deutschland. Mirip yang terjadi di Austria: karena tidak memiliki laut, maka orang-orang Austria senang membaca cerita-cerita mengenai laut, dan beramai-ramailah orang-orang menerjemahkan cerita-cerita mengenai laut. 

Kekecewaan saya tidak tertuju kepada Prof. Hesse, dan juga tidak kepada pengarang-pengarang yang cerpen-cerpennya diterjemahkan oleh beliau, akan tetapi kepada sastra Indonesia sendiri. Sastra Indonesia terlalu banyak diwarnai oleh riwayat hidup pengarang. Keadaan sekitar, kesulitan-kesulitan sosial, perjuangan pengarang, keinginan dan cita-cita pengarang terlalu nampak dalam sastra Indonesia. Tanpa memiliki pengamatan dan penghayatan yang berkekuatan sinar-X pun kita dapat mengetahui apa dan siapa pengarang-pengarang Indonesia melalui karya mereka. Kalau John Bunyan dalam jamannya dapat meminjam daerah sekitar tempat tinggalnya untuk menjadi latar perjalanan ziarah dalam novel The Pilgrim's Progress, dan kalau Kafka dapat meminjam kesengsaraannya sebagai Yahudi Austria untuk novel The Trial, maka kebanyakan pengarang Indonesia tidak mentransfer dunianya ke dunia lain. Apa yang kita lihat hanyalah pengarang semata-mata dengan keadaan dan masalah sekitarnya. Mengenai salah satu sajak seorang penyair yang tidak perlu disebut namanya, Sapardi Djoko Damono pernah berkata: "Dengan membaca sajak ini semua orang tahu, bahwa penyair ini kecewa karena dalam umurnya yang kesekian dia tidak mencapai apa-apa." Yang ditulis oleh kebanyakan pengarang Indonesia adalah barang mentah mengenai dirinya sendiri. Maka dengan membaca sastra Indonesia orang dapat mengetahui dengan mudah masalah sosial beberapa pengarang Indonesia. Inilah yang mengecewakan: sastra Indonesia lebih bersifat sosial daripada bersifat sastra sendiri. 

Bukan hanya itu. Petingkah sosial yang lebih menonjol daripada petingkah sastra juga nampak dalam ketidakmampuan sementara orang Indonesia untuk berterima kasih kepada bakat alam. Kita tentu mafhum bahwa sebagian besar bangsa Indonesia adalah penyair. Pinjam-meminjam buku di sekolah tidak jarang disertai dengan tukar-menukar puisi. Sekarang banyak pertemuan yang disertai dengan pembacaan puisi yang ditulis sendiri oleh yang hadir sendiri. Bangsa Indonesia beruntung besar mempunyai modal besar dalam sastra. Dengan tidak usah menganalogikan para penyair tersebut dengan Pramoedya Ananta Toer dan Iwan Simatupang yang mula-mula menulis puisi, juga dengan Thomas Hardy yang menulis puisi lalu menulis novel dan lalu menulis puisi lagi, dan juga dengan D.H. Lawrence yang kecuali menulis novel juga menulis puisi, maka tidak salahlah apabila kita berpendapat, bahwa seorang pengarang pada dasarnya adalah seorang penyair. 

Puisi yang terhormat sekaligus menjadi keparat. Dia adalah modal yang dibiarkan mentah. Atau, oleh orang-orang yang suka kerja gampang puisi tidak digarap dengan baik karena masyarakat Indonesia yang senang hidup gampang suka merajakan puisi, suka membaca-baca puisi, pendek kata, melangitkan puisi tanpa menyadari bahwa untuk sebagian besar kita puisi hanyalah modal. Penyair yang betul-betul penyair terlalu sedikit jumlahnya, dan pengarang yang sebetulnya menggarap puisi sebagai modal juga terlalu sedikit, karena menjadi penyair asal penyair bagi mereka lebih gampang daripada berpayah-payah mengarang. Disini pun kelihatan bahwa sebagian besar pengarang atau yang ingin menjadi pengarang mudah ditundukkan oleh tuntutan sosial: status yang lebih mudah dicapai dalam masyarakat diutamakan dengan melupakan kerja keras dalam sastra. 

1973

MARI BERBAGI:
Editor

TAMBAHKAN KOMENTAR

5700840368070671462