BLANTERVIO103

Kepada Penyair Muda - Saini KM

Kepada Penyair Muda - Saini KM
3/08/2020
Saini K.M.
KEPADA PENYAIR MUDA

1
Sebelum tintamu menjadi darah, kata-kata
akan tetap sebagai bunyi; kebisingan lain
di tengah hingar-bingar dunia: Deru mobil
guntur meriam dan gunjing murah koran got.

Kau meniup suling tapi kau sendirilah sulingnya
: Itulah nasibmu. Kepenyairan adalah ziarah
tanpa peta, pelayaran tanpa bintang.
Padahal dunia menawarkan begitu banyak jalan.

Berhentilah menulis kalau kau tak rela hidupmu
jadi sajen di candi dewata yang tak dikenal.
Menulislah kalau kau yakin sajakmu menjadi sepi
: Keheningan pertapa saat roh memandang dirinya.

2
Nasib penyair menulis pada permukaan air
atau desir angin. Logam berkarat dan pualam
akhirnya berlumut dan hancur dalam cuaca.
Abad tergesa lewat, tak sempat baca prasasti.

Sedang bumi bukanlah sekedar kubur leluhur;
bahasa pun mati, kata demi kata gugur bagai daun.
Sempurnalah jejak roh terhapus di gurun waktu,
selagi kafilah memilih jalan lain; mazhab lain.

Anak muda, kesempatanmu cuma sejenak. Tak seorang pun
menantimu di masa depan, di keabadian.
Bagi benihmu tiada tanah selain cadas di telapak kaki;
bagi sajakmu tiada tempat lain selain impian hari ini.

3
Betapa bangga waktu engkau menyatakan
: Tanah air kami negeri impian, kerja kami
menggantang awan! Alangkah angkuh karena kau
sepi; alangkah tabah karena kau setia!

Sedang di sini, di bawah awan, anak-anak kelaparan,
luka perlu pembalut, jenazah perlu kafan.
Dan kalau kau sepi, di sini pun ada sepi yang lain.
Kalau kau setia, kepada siapakah engkau setia?

Manusia tak dapat hidup tanpa impian,
katamu. Benar, dan itulah kebanggaanmu!
Lupa bahwa diperlukan seteguk air, sesuap nasi
sebelum dapat tidur dan dapat bermimpi.


4
Di manakah engkau ketika prajurit berdarah
di garis depan, petani berlumpur, buruh berkeringat
di pabrik? Engkau menimang bulan di siang bolong;
menangguk embun dengan mahkota mawar.

Kaubilang, kata-kata mampu menggerakkan sejarah,
memutar poros-bumi. Baiklah, tapi di sini
orang-orang menunggu kata-kata bersahaja
yang menemukan jalan ke hati dan membawa harapan.

Ketika gadis dijual dan dijual lagi oleh mucikari,
ketika bujang digadaikan pemimpin pada semboyan,
di manakah engkau, wahai penyair? Di mana pun tidak;
tidak di langit, tapi tidak juga di bumi.

5
Di manakah tempat penyair? Di tapal batas
antara impian dan kenyataan. Ia berpijak
di atas bumi bergoyang, bawah langit pancaroba
memayungi rumah yang menolak semua dinding.

Sebenarnya kau bebas memilih untuk kembali
ke dunia sehari-hari dan bergabung dengan mereka
yang menganggap dunia ini satu-satunya. Sebenarnya
tak perlu kauhirau himbauan itu. Panggilan itu.

Apakah makna kehidupan penyair? Tak lebih
daripada sajen bakaran. Sejenak memberikan api
dan banyak asap; sejenak memberikan cahaya
lalu beberapa baris huruf pudar di atas kertas.

6
Penyair adalah dia yang terpaksa
memilih kata pada saat perangkat lain
sudah hilang daya. Seperti Arjuna
pada saat penentuan mengambil pasopati.

Bermula adalah kehidupan: Kebisingan
gebalau guruh yang membisukan sukma.
Penyair, kau bina hidup dengan sisa hening,
hikmah bisik: Terakhir adalah kata.

Terakhir adalah makna dan rasa, endapan sari
yang kauselamatkan dari haru-biru hayatmu
:Kerna kata semata hanya akan menyindirmu
andai hidupmu sendiri bukan sebuah puisi.

7
Ketika seekor binatang bermimpi, jadilah ia
manusia. Ya, ajarlah saudara-saudaramu
melihat bintang-bintang, selagi kaki mereka
terbenam di lumpur, terpuruk dalam sejarah.

Bebaskan semangat mereka mengepakkan sayap,
yang hanya tergerak oleh kata-katamu.
Biar mereka melihat tanah air yang sebenarnya
dan tahu sudah berabad mereka jadi orang buangan.

Penyair muda, maka puisimu adalah percik lelatu
yang berpencar ketika mimpi menghantam kenyataan.
Wahai, beri kesempatan saudara-saudaramu melihat
barang sekejap masa depan mereka dalam gelita zaman.

8
Kalau kata-katamu sekedar kata-kata belaka,
tak ada telinga bagi sajakmu, tak ada hati
akan disentuhnya. Anak muda, melangkahlah
bersama mereka di jalan-jalan raya sejarah.

Daki dengan saudara-saudaramu puncak harapan,
raba tunas putus asa yang paling dalam.
Saat kau beradu bahu menuju ke depan, saat kau lupa
siapa namamu, saat itu kau lahir sebagai penyair.

Maka di malam hari dunia kata-kata dari lidahmu
bagi mereka akan melukiskan fajar. Bagai murai
(yang dari balik kabut) tetap bernyanyi
tentang hari baru, apa pun, ya apa pun akan terjadi.

9
Betapa dengan cemas kau tetap berjaga
agar jam tak berhenti berdetak, agar kau
tetap hadir sebagai makhluk sejarah.
Betapa gigih kau bertahan terhadap kantuk

yang menenggelamkan kesadaran bawah selimut
mereka yang melupakan utang pada masa lampau
dan janji pada masa depan: Lelap dan bermimpi
fajar baru akan tetap berada di balik kabut.

Penyair muda, karena kau menolak jadi ternak
kautinggalkan kandang kedudukan, perangkap harta
dan penjara dogma. Memilih bahaya dan kesunyian
kau bernyanyi bagi yang lain, di rimba kemerdekaan.

10
Setitik embun menampung cemerlang hari.
Ah, betapa berahi kau merenunginya. Namun,
samudra pun selalu bernyanyi, betapa keruh
betapa bertopan pun ia. Samudra bergema abadi.


Hatimu adalah buhul segala masalah, kauurai
dalam hening samadi. Namun dunia adalah prahara,
kancah-api, puting-beliung dan guntur beribu
:Duniamu adalah jerit kelahiran dan pembantaian.

Penyair muda, jadikan hatimu pelaminan sepi
dan gempita kehidupan. Jadikan katamu bagaikan air
: Bahan bagi amukan gelora dan sejuta titik embun,
tempat fajar bercermin dan pagi membagi senyum.

1983-1987
MARI BERBAGI:
Editor

TAMBAHKAN KOMENTAR

5700840368070671462