BLANTERVIO103

Cinta Sehidup Semati

Cinta Sehidup Semati
8/09/2020

Cinta Sehidup Semati
Mari Memadu Cinta dalam Duka  

Lihatlah jajaran pohon pinus yang tumbuh di di negeri Korea. Pohon evergreen ini menyimpan banyak cerita cinta di tanah itu. Cerita tentang kesetiaan cinta tak terbagi, seperti batang pohon pinus yang tegak dan lurus. Mimpi tentang keteguhan cinta tanpa akhir, seperti daun-daun pinus yang tetap menghijau di setiap periode, bahkan dalam musim terberatnya. Musim terberat yang harus dilalui oleh seorang Soon-ae. 

Seperti malam-malam sebelumnya, Soon-ae selalu terlihat melamun di jendela. Meski hari semakin larut, ia bersikeras untuk terus terjaga Tak peduli hawa dingin dan rasa kantuk yang menyengat, Soon-ae tetap setia, menunggu. Detik demi detik, orang yang ditunggu belum juga kelihatan. Ya, suaminya memang sedang keluar. Tak sekadar keluar, karena Jung-bae selalu keluar rumah tanpa mengajaknya. Hampir setiap hari ia selalu pergi, dan pulang larut malam. Soon-ae tahu suaminya sedang bersenang-senang dengan beberapa teman, dan menjumpai wanita lain. Saat kantuknya tak tertahankan, air mata menetes dari pelupuk mata Soon-ae. Ia benar-benar tidak bahagia. "Ayah pasti tidak peduli pada perasaanku saat ini," gumamnya lirih. "Aku tak dapat menyalahkan Jung-bae. Kami pernah saling mencintai." Tetapi, entah kenapa malam ini terasa berbeda. 

Malam di musim dingin yang terasa sedikit hangat. "Ah, mungkin suamiku akan segera pulang," gumam Soon-ae.  Tiba-tiba terdengar suara gaduh di luar. Itu pasti suaminya. Soon-ae melongok dari jendela kamarnya di lantai atas. Jantung Soon-ae berdegup kencang serasa akan meledak. Ia terkesiap mendapati Soo-il, mantan kekasih, cinta sejatinya-telah berdiri di pekarangan. "Apa yang kau lakukan di sini?" seru Soon-ae antara bingung dan gembira. 

Soo-il hanya tersenyum dan menatap kekasihnya penuh kerinduan. Namun senyum Soo-il sontak memucat ketika melihat kejadian yang paling mengerikan dalam hidupnya. Ia berlari sekencang mungkin, sambil berteriak menyerukan nama kekasihnya. Soon-ae masih lamat-lamat mendengar namanya dipanggil. Tapi, ia tidak bisa menyahut. Pikirannya mengembara pada kenangan-kenangan indah bersama Soo-il. Kelembutan hati pemuda itu, hangat lelucon konyol yang selalu membuat mereka terkekeh bersama. Senyum Soon-ae merekah, sementara tubuhnya melayang jatuh ke bawah balkon. 

Sekilas, ia melihat ada tangan yang menggapai, berusaha merengkuhnya. Tapi, terlambat, tubuhnya sudah berdebam keras ke tanah. Rasa sakit menjalari seluruh tubuhnya. Sakit itu sedikit berkurang ketika ada kehangatan yang mendekapnya. Ah, itu dia kekasih hatinya telah datang, Soo-il. Lalu, semua menjadi gelap. Soon-ae tak sadarkan diri. Hati Soo-il perih melihat keadaan Soon-ae yang tak berdaya. Langkah-langkah orang mulai terdengar mendekat diiringi pekikan tertahan. Soo-il membopong tubuh Soon-ae masuk ke dalam rumah di bawah tatapan dingin keluarga kekasihnya. Seorang laki-laki paruh baya menghadang jalannya. Ia merenggut dengan kasar tubuh Soon-ae. Laki-laki itu, ayah Soon-ae, bergegas menuju ke sebuah kamar, sambil meneriakkan perintah untuk memanggil tabib. Para pelayan serentak berhamburan keluar melaksanakan perintah tuannya. 

Ayah Soon-ae mengangsurkan segelas air ke bibir Soon-ae. Kehangatan air rupanya mampu mengembalikan kesadaran Soon-ae. Pelan-pelan la mulai membuka mata, dan menatap sekelilingnya. Ah, mimpi indahnya bersama Soo-il telah berakhir. Pandangan Soon-ae buram tatkala ia siuman. Terlihat satu per satu wajah keluarganya. Mereka mengerumuninya dengan tatapan cemas.  Di ujung ruangan, Soon-ae melihat Soo-il. Tangannya menggapai-gapai, ingin Soo-il mendekat. 

"Tenanglah, Soon-ae. Jangan bergerak," bujuk Soo-il lembut, ketika wanita itu berusaha bangun. 

"Tubuhku sakit sekali," Soon-ae meringis. 

"Beristirahatlah," kata ayahnya. "Lukamu cukup parah, Anakku."

Tak menghiraukan kata-kata ayahnya, Soon-ae berpaling pada Soo-il. "Mengapa kau datang ke rumahku? Bukankah kau sudah punya istri?" 

Sejenak Soo-il terdiam. Ia melirik ayah Soon-ae yang salah tingkah. "Tidak, Soon-ae. Aku tidak pernah menikah dengan siapa pun. Aku masih sendiri sampai saat ini." 

Spontan, Soon-ae menoleh pada ayahnya. Matanya terluka. Ia sangat marah, namun tak dapat berbuat apa-apa kecuali menangis. "Jadi, selama ini Ayah sengaja berbohong, supaya aku mau menikah dengan pria pilihan Ayah? Bukan begitu, Ayah?" 

"Soon-ae, tenangkan dirimu...," kata ayahnya. 

"Sungguh tega Ayah mendustaiku!" jerit Soon-ae. "Ayah lebih suka hidupku sengsara daripada menikahi Soo-il. Ayah memisahkan kami hanya karena dia miskin!" Sia-sia upaya keluarganya menghibur Soon-ae. Ia menangis tanpa henti. Hatinya sakit karena dikelabui ayahnya, lebih pedih daripada luka di tubuhnya. 

Ayah Soon-ae segera menarik Soo-il keluar dari kamar. Tanpa berkata-kata, ia mengarahkan jari telunjuknya ke wajah Soo-il. Ia ingin Soo-il angkat kaki dari rumahnya. Gara-gara pemuda itu, anak perempuannya nekad terjun dari balkon. Ayah Soon-ae tak mau tahu bahwa ia sebenarnya turut andil dalam tragedi ini. 

Soo-il sebenarnya enggan pergi, tak ingin lagi meninggalkan Soon-ae, apalagi dalam terluka seperti itu. Tapi, dari sorot mata membara ayah Soon-ae, ia tahu perlawanannya akan sia-sia saja. la harus mencari cara lain untuk bisa bersama Soon-ae. Beberapa hari kemudian, Soo-il mengendap-endap ke kamar Soon-ae. Ia memberi isyarat agar wanita itu tidak bersuara. 

"Aku tak pernah berhasil menemuimu," bisik Soo-il. "Ayahmu selalu melarangku." Tangan Soo-il menggenggam erat Soon-ae. Matanya penuh bara dan tekad. "Soon-ae, maukah kau ikut denganku? Kita pergi ke tempat yang jauh. Tempat di mana keluargamu tak dapat menemukan kita." 

Soon-ae mengangguk dengan mantap. Dengan hati-hati Soo-il membopongnya keluar dari rumah besar itu. Berdua mereka meninggalkan Desa Sa-rang, desa penuh kenangan manis sekaligus pahit. Di sanalah mereka bertemu dan terpisahkan, tapi di Sa-rang pula mereka kembali bersama untuk memulai hidup baru. 

Sesuai janjinya, Soo-il membawa Soon-ae ke sebuah tempat yang jauh dari Desa Sa-rang. Untuk mencari nafkah, laki-laki itu mengumpulkan kayu bakar dan menjualnya. Meskipun hidup mereka amat bersahaja, Soon-ae merasa bahagia. Ia berusaha untuk pulih, dan menggerakkan tubuhnya sedikit demi sedikit. 

Sepanjang siang, ketika Soo-il pergi ke hutan mencari kayu bakar, Soon-ae berusaha sekuat tenaga untuk bangun. Soo-il pasti akan melarangnya bergerak bila ia sedang di rumah. Soon-ae tak peduli meski keringat bercucuran, dan rasa sakit menyiksa sekujur tubuhnya. Ia ingin berdiri menyambut kepulangan Soo-il. Sementara Soon-ae sedang berlatih di rumah, Soo-il dengan giat mengumpulkan kayu bakar. Ia ingin segera pulang, dan bertemu dengan Soon-ae. Sambil memanggul kayu bakar, Soo-il bergegas menuju rumahnya. Langkahnya yang riang mendadak berhenti. Mata Soo-il berbinar melihat sekuntum mawar yang tumbuh di tebing. "Soon-ae sangat menyukai mawar. Ia pasti senang, bila aku pulang membawakan bunga ini," pikirnya. Soo-il melepas sepatunya agar lebih mudah menjangkau mawar itu. Malang, ia tergelincir di tebing yang terjal. Tubuh Soo-il tanpa daya jatuh melayang ke dasar jurang. Tak seorang pun sedang berada di hutan saat itu, sehingga nyawa Soo-il tak tertolong lagi. 

Beberapa tetangga yang melewati tebing itu mengenali sepatu Soo-il. Mereka curiga mengapa sepatu itu bisa berada di tebing tanpa pemiliknya. Tapi, tak terbersit di pikiran mereka bahwa Soo-il telah jatuh ke dalam jurang. Mereka hanya mengambil sepatu itu, kemudian pergi ke rumah Soo-il untuk mengembalikannya. Di rumah, perasaan Soon-ae sudah tidak karuan. Ia semakin gelisah ketika melihat beberapa tetangga datang membawa sepatu Soo-il. "Kami menemukannya di hutan. Tapi, entah di mana Soo-il berada." 

Sekuat tenaga Soon-ae berusaha bangun. "Tunjukkan padaku di mana kalian menemukannya. Tolonglah, mungkin Soo-il dalam bahaya." 

Sampai di hutan, Soon-ae dan para tetangga tidak menemukan Soo-il. Wanita itu histeris melihat jejak kekasihnya di sekitar tebing, namun hanya mendapati tanaman dengan bunga aneh yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Sejak itu, Soon-ae kehilangan semangat hidup. Ia terus menangis, dan tak mau makan atau minum. Kesehatannya merosot tajam, hingga wanita malang itu menutup mata untuk selama-lamanya. 

Para tetangga memakamkan Soon-ae di tempat mereka menemukan bunga aneh di tepi jurang itu. Selang beberapa hari, pusara Soon-ae lenyap, dan berubah menjadi bunga yang persis sama dengan tanaman di sebelahnya. Konon, bunga-bunga itu menangis jika ada pasangan kekasih berjalan melewatinya. Yang lebih mengherankan lagi, kedua tanaman bunga itu tidak pernah kering atau mati.

Penerjemah: Rinurbad
MARI BERBAGI:
Editor

TAMBAHKAN KOMENTAR

5700840368070671462