BLANTERVIO103

Tidak di Sini Lagi Mata Itu - Ruskin Bond

Tidak di Sini Lagi Mata Itu - Ruskin Bond
7/14/2020
SASTRADUNIA.COM |


Ruskin Bond 
Tidak di Sini Lagi Mata Itu 

AKU mendapatkan kompartemenku pilihan Rohada, kemudian gadis itu masuk ke dalam. Pasangan yang mengantarkannya mungkin kedua orang tuanya; mereka tam-paknya ingin sekali gadis itu tidak mengalami kesukaran apa-apa dalam dalam perjalanan dan wanita yang mengan- tarkannya itu pun memberikan instruksi terinci bagaimana ia harus menempatkan barangnya, kapan tidak boleh menjenguk ke luar jendela dan bagaimana caranya agar tidak berbicara dengan orang yang tidak dikenal. Mereka kemudian mengucapkan selamat jalan; kereta api pun berangkat meninggalkan setasiun. 

Karena aku benar-benar tidak dapat melihat ketika itu, mataku hanya sensitif terhadap cahaya dan kegelapan, aku tak dapat mengatakan bagaimana wajah gadis itu; tetapi aku tahu ia memakai sandal dari suara tapak sandal yang menyentuh tumitnya. Mungkin aku perlu waktu untuk mengetahui bagaimana wajahnya, tetapi mungkin pula aku tidak akan pernah bisa mengetahuinya. Tetapi aku menyukai bunyi suaranya dan bahkan bunyi sandalnya. 

"Anda akan terus ke Delha?" tanyaku. 

Mungkin dikarenakan aku duduk di sudut yang gelap, suaraku telah mengejutkannya. Dengan nada suara terperanjat ia menjawab, "Aku tidak sadar masih ada orang lain di sini." 

Ya, memang sering terjadi, orang yang penglihatannya baik tidak dapat melihat apa yang ada di depannya. Kukira, karena terlalu banyak yang harus dilihat. Sedangkan orang yang tidak dapat melihat (atau hanya dapat melihat sedikit) hanya harus menerima yang penting-penting saja, apa pun yang paling tercatat pada kepekaan mereka yang masih tersisa. 

"Aku juga tidak melihat Anda," ujarku. "Tetapi aku mendengar Anda masuk." 

Kupikir aku akan dapat membuatnya tidak mengetahui bahwa aku buta. "Seandainya aku terus duduk di tempatku, mungkin tidak terlalu sukar. 

Gadis itu menyahut, "Aku turun di Saharanpur. Bibiku menungguku di sana." 

"Kalau begitu aku lebih baik tidak terlalu akrab," kataku. 

"Bibi biasanya makhluk yang hebat."

"Anda akan pergi ke mana?" tanyanya.

"Ke Dehra, dan kemudian ke Mussoorie." 

"Oh, betapa beruntungnya Anda, kalau saja aku bisa pergi ke Mussoorie. Aku menyukai bukit-bukit di sana. Terutama bulan Oktober." 

"Ya, inilah saat yang terbaik", ujarku sambil mencoba menggali ingatanku. "Bukit-bukit tertutup dengan bunga- bunga dahlia liar, matahari bersinar terang dan pada malam hari kita bisa duduk di depan perapian dan menenggak sedikit brendi. Sebagian besar wisatawan telah meninggalkan tempat itu dan jalan-jalan telah sepi serta hampir tidak dilalui orang. Ya, Oktober adalah waktu terbaik." 

Ia berdiam diri dan aku tak tahu apakah kata-kataku mengharukannya, atau apakah ia menganggapku sebagai orang tolol yang romantis. Kalau begitu berarti aku telah membuat kesalahan. 

"Keadaan di luar bagaimana?" tanyaku. Kelihatannya ia tidak merasakan sesuatų yang aneh pada pertanyaan itu. Sudahkah ia mengetahui bahwa aku tidak bisa melihat? Tetapi pertanyaannya melenyapkan keraguanku. 

"Mengapa Anda tidak melihat keluar jendela?" tanyanya. Aku melangkah dengan mudah menyusuri tempat duduk dan meraba-raba untuk menghampiri tirai jendela. Jendela kebetulan terbuka dan aku menghadap ke luar, berpura-pura menikmati pemandangan. Kudengar suara mesin, gemuruh bunyi roda, dan dalam mata batinku, aku bisa menyaksikan tiang-tiang telepon yang melaju bagai kilat. 

"Anda lihat?" tanyaku "pohon-pohon itu kelihatan- nya bergerak, sedangkan kita kelihatannya tetap berada di tempat." 

"Itulah yang senantiasa terjadi," sahutnya. "Anda melihat hewan? Hampir tidak ada hewan di hutan-hutan di dekat Dehra. 

Aku berpaling dan menghadap ke arah gadis itu. Untuk beberapa saat kami berdiam diri. "Wajah Anda menarik," kataku. Aku mulai berani, karena ucapanku cukup wajar. Hanya sedikit gadis yang menolak pujian. 

la tertawa senang dan lantang. "Senang mendengar bahwa wajahku menarik. Aku bosan pada orang yang mengatakan wajahku cantik." Oh, kalau begitu wajahmu juga cantik, pikirku dan karena itu dengan tegas kukatakan "Ya, wajah yang menarik bisa juga berarti cantik." 

Aku berpaling dan menghadap ke arah gadis itu. "Anda seorang pemuda yang sopan," ujarnya. "Tetapi, mengapa Anda begitu serius?" 

Kemudian aku berpikir, aku akan mencoba tertawa untuknya tetapi pikiran untuk tertawa itu hanya membuatku merasa terganggu dan kesepian. 

"Tidak lama lagi kita sampai di setasiun yang Anda tuju," ujarku. 

"Syukurlah, perjalanan ini tidak terlalu lama. Aku tidak tahan duduk di kereta api lebih dari dua atau tiga jam." 

Namun, aku bersedia duduk di sana sampai kapan pun, hanya untuk mendengarkannya berbicara. Kata-katanya mengalir lincah gemericik seperti anak air gunung. Apabila ia nanti meninggalkan kereta api ini, ia akan melupakan pertemuan kami yang singkat ini; tetapi kesan pertemuan ini akan terpatri dalam ingatanku sepanjang perjalanan in dan untuk beberapa lama setelah itu. 

Peluit kereta api memekik, dan roda-roda kereta api pun terdengar mengubah suara dan iramanya. 

Gadis itu berdiri dan mulai mengumpulkan barang barangnya. Aku tidak tahu apakah ia menyanggul ram butnya, apakah rambut itu dijalin, atau dibiarkan tergera ke bahunya atau dipotong sangat pendek. 

Kereta api bergerak pelan menghampiri stasiun. Di luar terdengar suara teriakan para portir dan para penjaja makanan, serta suara melengking seorang wanita di dekat pintu. Mungkin itulah suara bibi gadis itu. 

"Selamat tinggal," kata gadis itu. 

la berdiri sangat dekat denganku, begitu dekatnya sehingga aroma parfum rambutnya terasa merangsang. Aku ingin mengangkat tanganku dan menyentah rambutnya tetapi ia telah menjauh dan hanya aroma parfumnya yang masih tertinggal. 

"Kau boleh memecah, kau boleh menghancurkan jambangan semaumu, Tetapi aroma mawar akan tetap tinggal di sana..." 

Di jalan masuk orang berdesakan. Seorang laki-laki yang ingin masuk ke kompartemen meminta jalan dengan tergagap. Kemudian pintu tertutup dan dunia tertatup kembali. Aku kembali ke tempat dudukku. Petugas meniup peluitnya dan kereta api pun bergerak. Sekali lagi, aku harus berpura-pura terhadap scorang teman seperjalanan.

Kereta api melaju, roda-roda kereta api menggunakan seluruh kekuatannya, dan gerbong bergoyang dan berderak. Aku pergi ke jendela dan duduk di depan jendela itu, menatap siang yang benderang, yang bagiku tetap merupakan kegelapan. 

Begitu banyak hal yang terjadi di luar jendela itu. Mungkin ada sesuatu yang mempesona. Begitulah dugaanku tentang apa yang berlangsung di luar sana. 

Lelaki yang tadi masuk mengganggu lamunanku. 

"Tentunya Anda kecewa," ujarnya, "Maaf, aku tidak semenarik rekan perjalanan yang baru saja meninggalkan tempat ini." 

"Gadis itu menarik." kataku. "Tolong katakan, apakah rambutnya panjang atau pendek?" 

"Aku tidak ingat," sahutnya bingung. "Matanyalah yang kuperhatikan, bukan rambutnya. Matanya bagus sekali -- tetapi mata itu tidak ada gunanya untuknya, ia buta total. Anda tidak memperhatikan itu?"

Penerjemah: Sori Siregar
MARI BERBAGI:
Editor

TAMBAHKAN KOMENTAR

5700840368070671462