BLANTERVIO103

Sekitar Perapian Keluarga - Imre Dobozy

Sekitar Perapian Keluarga - Imre Dobozy
4/09/2020
Sekitar Perapian Keluarga 
oleh Imre Dobozy 

SASTRADUNIA.COM | Esther telah menidurkan anak-anaknya dan baru saja akan mandi ketika suaminya masuk ke dapur. Tampaknya ia belum cukur, penuh coreng-moreng dan lusuh, mukanya menampilkan raut-raut yang aneh sedangkan pakaiannya menyebarkan bau yang asing sekali. Topinya dilemparkanletaknya dan tanpa sabar sedikit pun ia nya pada kursi yang agak jau berteriak sepertinya ia sudah meninggalkan rumah sejak pagi. 

"Ini aku! ... Ada makan malam yang enak?" 

Esther hanya memandang pada suaminya keriput dan terbuat dari bahan tanah air, yang bergantung padanya seolah-olah tertancap pada garpu jerami; mukanya yang kurus dan resah ditandai oleh garis-garis yang kacau, matanya yang lapar, menganga dan berupa bintik kecil yang hitam, rambutnya yang kemerah-merahan dan beberapa utas di antaranya lengket pada keringat di dahinya; dan dagunya yang lancip yang ditonjolkannya ke depan tetap begitu meskipun ia tersenyum. Ia hanya memandang, tanpa berkata-kata, bukan juga karena suaminya datang di luar dugaannya. Sebenarnya ia tak pernah menanti kedatangannya; meskipun demikian, kedatangannya kali ini pun tidak menyebabkannya terperanjat. 

Sudah lama Esther memandang kehidupan mereka bersama sekadar sebagai ulangan-ulangan pertemuan yang jarang dan hanya bisa dipandang sebagai peristiwa-peristiwa kebetulan saja yang hanya bisa dijalani tanpa hasrat dan harapan apa pun, memilukan atau menegangkan, ditanggung dengan keuletan yang tak kenal menyerah. 

la tidak berpikir tentang suaminya, ia tidak gemetar untuknya maupun karenanya. Kalau ia datang, maka ia di rumahlah, jika ia tak di rumah, semestinya ia berada di suatu tempat lain. Begitulah caranya ia melatih dirinya, sehingga kesendirian yang pedih akhirnya berubah menjadi kepasrahan yang menjemukan. Meskipun begitu, ia mencintai pria ini. Entah pada jas hujannya yang bagaimana, untuk alasan-alasan tertentu, sama juga caranya mencintainya, diam-diam dan tanpa tujuan: atau mungkin ia hanya mencintai impian-impian masa gadisnya yang. meskipun tak pernah terwujud, selalu tetap manis dan indah kesannya. 

"Sudah enam bulan berlalu sejak kau pergi.." tukasnya, tanpa maksud mengecamnya, melainkan sekadar membuat pernyataan yang sederhana tentang lewatnya waktu. 

Tóth memandang istrinya. Ia meringis saja dan pandangannya seolaholah kebingungan bertemu dengan pandangan istrinya yang tampak menyelidik. Namun, baik kerumitan yang tak disadarinya itu maupun kesakitan yang tampak mengenai kata hatinya yang kian mengeras itu tak berlangsung lama. Tóth mengeluarkan sebatang rokok dan menyalakannya, lalu sambil menatap langsung mata istrinya ia berkata singkat: 

"Lalu mau apa?" 

Pelan-pelan istrinya berbalik dan menjauh. Beberapa batang kayu ditambahkannya pada perapian sambil sibuk meniup-niup bara-bara yang merah jambu nyalanya. Bahkan mulut perapian yang penuh hangus itu seolah-olah ikut berkata dengan nada keras dan mengejek, 

"Lalu mau apa? Lalu mau apa?" 

Memang benar, ia tidak bisa mengharapkan apa-apa lagi. Enam bulan setelah hari perkawinannya, suaminya sudah siap pergi meninggalkannya dengan alasan untuk mencari pekerjaan, karena tak mungkin mereka hidup hanya dari 3 akre tanah dan kebun anggur yang kecil itu. 

Namun, dalam kecemasannya maupun sebagai anak yang ngotot terus, ia memohon sangat agar suaminya itu tidak meninggalkannya. la bersedia melakukan apa saja, tapi ia tak mau hidup sendiri; ia tak akan sanggup menanggungnya. Dan mereka tentunya akan punya anak dan anak itu setiap hari akan mencari ayahnya dengan pandangan yang menuntut penjelasan.. Saat itu suaminya menyela dengan kasarnya, 

"Lalu mau apa?". 

Dan keesokan harinya ia pergi. Sejak itu Esther menyadari benar bahwa kehadirannya dalam kehidupan suaminya tidak ubahnya seperti lampu: jika perlu dinyalakan, jika tidak perlu dimatikan. 

Kemudian ia mengetahui juga bahwa suaminya pergi meninggalkan rumah meskipun tidak ada kepentingannya untuk mencari uang. Darahnyalah yang mendorongnya. Sifatnya yang resah, dan senang mengembara lontang-lantung serta loba mendorongnya untuk berkelana dari satu daerah ke daerah lainnya, mencari tanah baru, jalan baru, pekerjaan musiman, dan sekaligus cinta musiman... Ketika tiba musim gugur dan udaranya mulai terasa nyeri ia selalu sudah tiba di rumah kembali.  Badannya sangat kurus dan tak terurus, diserang cuaca dan lusuh.

Pada saat itu ia akan kembali dengan sejumlah uang yang setibanya di rumah diletakkan di atas meja. Lalu dimapankannya dirinya di rumah itu, ia mandi sebersihnya, dan berangsur-angsur mulai menjadi gemuk dan berat. Tapi ini hanya berlangsung sampai datangnya musim semi. Pada saat itu ia akan pergi lagi dan meleburkan dirinya dengan jagat raya. Selama itu ia akan hilang dan sedikit pun tidak menghiraukan untuk menulis surat. Esther kadang-kadang berpikir sendiri bahwa seandainya sekali waktu ia bisa menangis dan tersedu-sedu sampai habis rasa kesendiriannya, dan sirna malam-malamnya yang penuh kekhawatiran serta percekcokannya yang pahit dan terus-menerus untuk kedua anaknya, banjir air mata itu niscaya bisa menghanyutkan dasar rumahnya itu. Namun, ia tak menangis. Tak akan ada orang yang mendengarnya. 

Suaminya duduk di sampingnya. Wajahnya yang kasar digosokkannya pada pipinya sambil menancapkan ciuman yang keras bunyinya pada telinganya, dan bertanyalah dia: 

"Tidakkah kau senang?"  

la tertawa parau dan mencubit dadanya. 

"Aku akan cukur mukaku segera... dan aku pasti akan segagah sebagaimana dikatakan orang. Kau pasti akan merasa memiliki aku, aku berani bertaruh." 

Pada saat-saat seperti itu, manakala ia melakukan pendekatan walaupun dengan cara kasar, Esther biasanya menghayati kegadisannya sepenuhnya. Dalam kesepian batin yang diciptakannya sendiri, tiba-tiba hatinya seakan-akan mulai bernyanyi. Ia bisa memaafkan segala-galanya, dan ia ingin menjadi baik, dengan harapan bahwa kebaikan itu akan mengurangi kekasaran suaminya

Tapi sekarang rasanya sia-sia saja ia menunggu nyanyi hatinya itu. la tetap tenang dan bahkan kadang-kadang merasa kuat. Sepertinya ia tak teringat bahwa berangsur-angsur ia telah memutuskan beberapa ikatan lemah yang masih tersisa dari pengalamannya untuk melonggarkan ketergantungannya pada suaminya, hingga sekarang ini ia sudah mampu berdiri di atas kakinya sendiri meskipun suaminya bertahun-tahun tidak pulang. Tidak ada yang teringat olehnya; ia hanya merasa bahwa gairah yang biasanya timbul itu kali ini tidak kunjung dihayatinya. Ketika ia berdiri lagi dengan wajah yang berkilau setelah meniup-niup api di perapian, tampaknya mirip patung yang gemuk tapi manis dan tenang. 

Sementara itu, Tóth sedang membongkar-bongkar lemari untuk menemukan pisau cukurnya. Tiba-tiba ia berdiri kaku, seperti seekor anjing yang membaui sesuatu. Untuk beberapa waktu lamanya ia memandang pada barisan cangkir dan gelas seakan-akan untuk pertama kalinya ia melihat benda-benda itu. Lalu diraihnya dari dalam lemari itu sebuah guci tidak diingatnya lagi pernah dilihatnya sebelumnya. Diperiksanya yang guci itu sambil membolak-baliknya, lalu dikembalikan lagi pada tempatnya semula. Diambilnya lagi beberapa piring dari lemari itu, lalu dikembalikannya lagi. Tiba-tiba dibantingnya pintu lemari itu dan sambil berbalik mulai diperiksanya seluruh dapur. Diperhatikannya segala sesuatu. Taplak meja baru menutupi mejanya, cardigan baru di gantungan pakaian, sebuah kantung penuh dengan kacang terletak di sudut, sebuah jam beker baru di jendela, semuanya merupakan pertanda kemakmuran yang tak berlebihan dibandingkan dengan keadaan kemiskinan yang membosankan di waktu lalu. 

Wajahnya menegang dengan kerut-kerut kemarahan. 
"Kau!" ucapnya pada istrinya dan sabuk pengasah pisau cukur digenggamnya dibantingnya pada meja. 

Sekarang diamatinya istrinya dari dekat. Ia tidak lagi seperti sediakala. Ia tampak lebih berisi, dan tampak lebih tenang, bahkan makin cantik; ia benar-benar telah berkembang ibarat bunga. Dahinya halus dan rambut yang dahulu kusut seperti tumpukan jerami kini tersisir rapi. Juga jejakjejak kelesuan yang pernah tampak pada matanya kini pun tidak lagi demikian. Pandangannya seperti tak acuh saja, bahkan tampak agak malas dan tak bernafsu. 

Tóth menggigit bibirnya. Ia bersumpah pada dirinya sendiri. Pasti ada seseorang yang telah memasuki kehidupan wanita ini... Di tempat pembangunan gedung-gedung yang menjadi lingkungan kerjanya, ia berkenalan dengan wanita-wanita yang terkuras sifat kewanitaannya oleh rasa kesepian dan mereka itu dengan senang hati menjatuhkan dirinya atau lebih tepat mencari pelarian dalam pelukan lelaki untuk mendengar kata-kata manis, untuk mendapatkan belaian. Mereka itu tak perlu diajak, cukup mereka didengar baik-baik dan pandai-pandai ditanggapi sewaktu mereka mengungkapkan keluhan-keluhannya. Dan kini istrinya, yang begitu sering ditinggalkan olehnya dan mestinya mengalami kegersangan cinta, nyatanya tidak berhasrat menyambut uluran tangannya dan mendapatkan rasa aman dalam pelukannya. 

la melangkah maju mendekatinya. 
"Bicaralah!" katanya sambil meremas-remas jarinya kegusaran. 
"Tentang apa?" tanya istrinya.. la sama sekali tak mengerti sebab kemarahan suaminya, bahkan takut kepadanya pun tidak. 
"Kamu pelacur!" teriaknya. "Kau kira aku buta? Pasti akan kubuka rahasiamu!"

Esther menjadi pucat. Tidak... suaminya pasti tak tahu juga apa yang dimaksudkan dengan kata-katanya. Mungkin ia sedang mabuk. Atau mungkin ada sesuatu terjadi padanya. Atau mungkin juga ia bermaksud meninggalkannya selamanya dan pulangnya kali ini hanya untuk membangkitkan percekcokan yang kotor dan tak dapat ditanggungnya lagi. Ia benar-benar tak tahu apa yang harus dikatakannya. Ia tetap berdiri dekat perapian, kaku terkejut seolah-olah mengalami serangan jantung. Suaminya mengambil sabuk pengasah pisau yang ada di meja dan diayunkannya sambil berteriak sampai-sampai mukanya mengkerut dari akar-akar rambutnya sampai dagunya yang lancip.

"Dengan siapa kau pernah tidur, bangsat! Siapa yang menjadi pelipurmu selama aku pergi? Jawab aku!”

Teriakannya sampai membangunkan anak-anaknya dari tidurnya. Mereka tidak berani membuka pintu, tapi mengintip sambil berpegangan pada tirainya. Mereka tidak mengenali ayahnya melalui tenunan kain tirai yang rapat itu. Mereka hanya dapat melihat bayangan yang samar-samar dari seseorang yang sedang mengancam ibunya di dapur. Anaknya yang besar membuka jendela kamar dan melompat keluar; hanya celana pendeknya yang putih tampak dalam kegelapan. la menunggu sejenak, kemudian dalam ketakutannya ia lari ke para tetangga untuk minta pertolongan mereka. 

Esther mengangkat tangannya untuk melindungi dirinya. 

"Jangan kau berani coba ...”
"Kubunuh kau nanti!" ucapnya polos.
"Letakkan sabuk itu." 
"Jangan.. . Apa yang kauinginkan? Tentang apa aku harus bicara? Akan kuceritakan segala-galanya, segala-galanya... tapi hentikan caramu ini...” 
"Siapa kekasihmu?"
"Jangan kau berkata begitu tentang diriku.... Tuhan akan menghukum kau jika kau berkata begitu..” 
"Kau menyangkal?" 

Diayunkannya sabuk tadi dengan amarah yang membuas. Ulahnya itu seperti marahnya seorang penipu yang haus akan pembalasan karena sekali ini merasa bahwa dia sendiri pun bisa ditipu. Seolah-olah bukan dialah yang meninggalkan istrinya berbulan-bulan lamanya, seorang bergumul dengan urusan anak-anaknya; seolah-olah bukan dialah yang bermain-main dengan wanita lain yang kebetulan ditemuinya dalam perjalanannya, hidup sepenuhnya memenuhi dorongannya untuk mengembara, keliling dari satu tempat tidur ke tempat tidur lusuh lainnya dengan nafsu yang dipacu wiski. Sekarang ia akan menerapkan keadilan, untuk memukul dan mencambuk, untuk melihat garis-garis merah pada kulit wanita yang putih itu, untuk mendengar tangis penyesalannya. la ingin mengoyak-ngoyak seluruh jagat ini. 

Esther mundur.
"Kau belum pernah memukul aku," katanya mengimbau. "Hatimu tak pernah membiarkan kau berbuat begitu.”
"Namanya! Aku ingin tahu namanya!" 
“Nama siapa? Apa yang kauinginkan dariku?" 
"Jangan bergerak! Kau bedebah! ... Kau masih harus katakan padaku!" 

Waktu itu para tetangga mulai berdatangan. Keluarga Halász, ketiga-tiganya. Bapaknya berjalan di depan dengan kemejanya yang melambai tak dikancingkan, anak laki-lakinya di belakangnya, disusul oleh istrinya yang menangis sedih meskipun ia tidak bisa menyaksikan apa yang sebenarnya terjadi di dapur itu:

"Oh, Tuhan, oh, Bunda Suci, apa yang harus kulihat itu, mereka berbunuh-bunuhan..." Suaminya tidak berbicara sama sekali dengan Tóth, tapi dibentaknya istrinya: 

"Diam kau, atau kau kuhajar nanti!" 

Lalu diserbulah dapur itu oleh mereka, tepat pada waktunya. Belum ada sesuatu yang terjadi. Esther pucat pasi seperti kertas, ketakutan tapi belum sampai terluka. 

Kemarahan Tóth kini tertuju pada para penyerbu itu. 

"Keluar kalian semua dari sini!" teriaknya. 
"Mau apa kalian kemari?" 

Sementara itu, para tetangga dari seberang jalan pun mulai berdatangan, disertai dua anak pemudanya yang kekar, satu di antaranya membawa pentung sebesar tiang pagar. Belum juga mereka sampai ke dapur, tetangga-tetangga lain datang lagi, tiga sekaligus, dan masih tambah lagi, seakan-akan seluruh desa sedang dikerahkan untuk memadamkan kebakaran. Mereka datang membawa kapak dan pentung sambil mendorong dan berdesakan berusaha masuk ke dalam, sampai-sampai Tóth terpojok di suatu sudut dan tak mampu menggerakkan satu tangan pun. Ia berteriak-teriak:

"Keluar! Keluar!" 

Tak seorang pun mengucapkan sesuatu. Tak seorang pun bergerak. Mata-mata yang tegas diarahkan kepadanya. Hanya napas-napas berat orang-orang yang berkerumun serta detik jam beker yang baru itu yang terdengar. 

Untuk waktu yang lama hanya ada kesepian; kesepian yang seolah-olah hamil berat. Kemudian Halász yang tua itu berbicara, 
"Letakkan sabuk itu."

Tóth tidak meletakkannya. Apa yang dipegangnya dan apa yang akan diperbuatnya dengan sabuk itu bukan urusan mereka. Rumah itu adalah rumahnya, dan mereka tidak perlu campur tangan meskipun seandainya ia memukuli istrinya sampai mati. Ia tetap tidak meletakkan sabuknya, malah digenggamnya lebih erat. Orang-orang ini cepat atau lambat pasti akan pergi dari situ; mereka akan letih menyaksikan adegan di dapur itu, maka akan datanglah kesempatan baginya untuk menghajar istrinya. 

Tapi mereka itu tidak juga pergi. Mereka yang berdiri di belakang mulai mendesak-desak mereka yang berada di dalam; lingkaran sekitar Tóth makin rapat dan anak Halász didorong maju ke arah Tóth sampai kedua dada mereka bersentuhan. Saat itu ada seseorang dari belakang berbicara, tegas dan dengan kejengkelan, 

"Kau orang lontang-lantung!" 
Tóth meledak. 
"Siapa itu?" 

Madari, seorang petani yang tampak garang dan bertubuh kekar dengan wajah yang gelap, mengangkat tangannya. 
"Aku," katanya. "Jangan khawatir, aku tak akan lari ... Tapi dengarkan aku, jika kau berani menyentuh istrimu dengan satu jari pun, kau pasti akan menyesal."

"Itu urusanku," tukas Tóth. 

Madari menembus kerumunan itu dengan sikunya dan maju ke depan. Orang kekar ini tampak diliputi kemarahan yang begitu mengerikan hingga wajahnya hampir-hampir menjadi hitam. Ia berteriak demikian kerasnya sampai kata-katanya kedengarannya diletuskan. 

"Kau lontang-lantung keliling membuat maksiat... dan kau tinggalkan istri dan kedua anakmu merana dalam penderitaan... Itu urusan kami!”

"Apa maksudmu 'kami'?" 
"Kami, koperasi! Koperasi Petöfi! Kami tampung mereka... Istrimu mendapat roti dan kedamaian jiwa.... Kalau kau kembali pulang hanya untuk membuat onar, enyahlah dari sini!" 

la melangkah maju, digesernya anak Halász ke samping, dipegangnya lengan Tóth dan digenggamnya erat-erat. 

"Jatuhkan sabuk itu. Atau kalau tidak..." 

Tóth ingin mengangkat tangannya, tapi tak mampu. Dalam genggaman Madari yang tak kenal ampun itu, ia merasa lengannya, bahunya, bahkan jantungnya, menjadi lumpuh. Sungguh tak mungkin baginya menahan genggaman yang keras dari petani yang berwajah gelap itu. Lambat-lambat, Tóth melepaskan sabuk itu dari tangannya, dan seakan-akan kekuatannya hilang bersama itu, badannya pun lemas sama sekali. 

Madari tidak mengatakan apa-apa lagi. Tidak seorang pun mengatakan sesuatu, semua orang hanya terdiam berdiri di situ untuk beberapa lama. Kemudian ketika mereka itu mulai pergi meninggalkan dapur itu, mereka memberi isyarat kepada Esther agar tidak khawatir dan bahwa mereka akan kembali melindunginya jika diperlukannya. 

Esther memungut sabuk itu dari lantai dan digantungkannya kembali pada tempatnya. Ia tidak mengatakan apa pun. Entah bagaimana, timbul juga rasa kasihannya pada suaminya. Dan ketika Tóth duduk di atas peti dan menopang kepalanya dengan kedua tangannya, ia tidak lagi bisa tinggal diam. 

"Akan kusiapkan tempat tidurmu di sini," katanya, "di dapur." 

Tóth melihat kepadanya. 
"Lihat saja nanti," jawabnya murung. 

Namun, ia sudah tahu benar bahwa ia akan tidur di dapur, dan bahwa ia tak melangkahi ambang pintu jika nanti lampu sudah dipadamkan, mungkin demikian untuk waktu yang teramat lama. Ia tak punya keberanian untuk itu. Dan ketika ia membaringkan diri di tempat tidur yang disiapkan di atas bangku itu, sambil memandang melalui jendela ke arah kegelapan di luar, rasa ketakutan, yang lama tak pernah dialaminya, kini pelan-pelan menyusup dirinya secara menyakitkan. 

Rasanya seperti ketakutan yang sewaktu masih kanak-kanak dialaminya bila ia berbuat suatu kesalahan dan dimarahi dengan ancaman, "perbaiki kelakuanmu, kalau tidak, pergi dari rumah ini. Hari sudah jauh melewati tengah malam ketika ia akhirnya tertidur. 

1961 
a.b. John Brown
-Penerjemah: Fuad Hassan



MARI BERBAGI:
Editor

TAMBAHKAN KOMENTAR

5700840368070671462