BLANTERVIO103

Pengantar Antologi Puisi Nobel - Sapardi Djoko Damono

Pengantar Antologi Puisi Nobel - Sapardi Djoko Damono
4/08/2020
Pengantar Antologi Puisi Nobel
Oleh Sapardi Djoko Damono



SASTRADUNIA.COM | Dalam dunia kesusastraan, Hadiah Nobel adalah satu alat untuk mengukur tinggi-rendahnya nilai karya sastrab -jika kita masih percaya bahwa, ada nilai yang tinggi dan rendah dalam salah satu hasil budaya manusia itu. Mungkin memang ada tingkat-tingkat itu, yang mau tidak mau harus didasarkan pada taraf kemahiran seseorang memanfaatkan berbagai peralatan dalam bahasa yang dipergunakannya. Pada dasarnya penggunaan alat itulah yang menentukan segenap kualitas lain, seperti kearifan, kejujuran dan kecerdasan. 

Karena Hadiah Nobel diberikan juga untuk bidang kesusastraan, maka tentu timbul pikiran apakah si penilai, yakni anggota dari Akademi Ilmu Pengetahuan Swedia, mempunyai kemampuan untuk mengukur karya sastra yang ditulis dalam bahasa-bahasa tidak terhitung jumlahnya di dunia. Dan juga kebudayaan yang telah membentuk peralatan kebahasaan itu. Untuk memenuhi tuntutan itu dilakukanlah upaya menerjemahkannya. Kita ingat tentunya, ketika diumumkan sebagai pemenang penghargaan itu Wislawa Szymborska, penyair Polandia, antara lain dengan rendah hati menyatakan, jangan-jangan karena terjemahan dalam bahasa Inggrisnya yang baguslah yang menyebabkan ia mendapat penghargaan itu. 

Atas dasar yang semacam itulah mungkin berulang kali timbul pertanyaan yang tidak pernah terjawab, seperti mengapa penulis Jepang yang mendapat Hadiah Nobel bukan Yukio Mishima tetapi Yasunari Kawabata? Kenapa begitu banyak persentase pengarang pembangkang yang mendapatkan hadiah? Mengapa pengarang dari negeri yang bahasanya tidak banyak diterjemahkan ke dalam bahasa-bahasa Barat, boleh dikatakan tidak pernah mengarang menerima penghargaan itu? Di antara pertanyaan-pertanyaan yang tidak akan pernah terjawab itu, ada juga yang menyinggung masalah ideologi, sebab pada dasarnya sastra adalah ideologi dalam makna yang luas. 

Tetapi bagaimanapun, di samping karena jumlah uangnya yang besar, yang harus kita akui adalah, bahwa Hadiah Nobel untuk Kesusastraan adalah salah satu penghargaan yang kita hormati. Dan buku ini, yang disusun Sdr. Wendoko, adalah salah satu usaha untuk menghormatinya. Sejak tahun belasan, rupanya kaum intelektual dalam masyarakat kita telah memperhatikan hadiah itu. Ketika Rabindranath Tagore menerimanya, sajak-sajaknya boleh dikatakan langsung diterjemahkan ke dalam bahasa-bahasa kita, antara lain Melayu dan Jawa, melalui bahasa Belanda. Penyair India itu pada tahun 1927 bahkan diundang ke Bali dan Jawa sebagai penghormatan atas pencapaiannya itu. 

Sesudah itu, terutama setelah merdeka dan terbebas dari penjajahan Belanda, kita menunjukkan minat yang lebih besar lagi untuk memperkenalkan karya-karya pemenang Hadiah Nobel dengan menerjemahkannya lewat bahasa yang kemudian 'menjajah' kita, bahasa Inggris. Bisa dibayangkan, betapa makin jauhnya jarak antara karya dalam bahasa aslinya dengan terjemahan ke dalam bahasa kita. Konon, beberapa sajak Rabindranath Tagore mula-mula ditulis dalam bahasa Bengali, baru kemudian diterjemahkannya sendiri ke dalam bahasa Inggris. Orang-orang Belanda kemudian menerjemahkannya ke dalam bahasa Belanda, dan kemudian kita menerjemahkannya. 

Jadi, dalam membaca buku ini, rasanya tidak usahlah kita membanding-bandingkan dengan karya aslinya. Puisi, kata orang, memang tidak bisa diterjemahkan. Begitu diterjemahkan, ia menjadi bagian dari kebudayaan bahasa sasaran. Yang bertanggung jawab atas 'nilai'-nya adalah si penerjemah, bukan penulis aslinya. Yang perlu, bagi saya, adalah bahwa puisi harus menjadi puisi, juga dalam terjemahannya seperti yang telah dicontohkan Chairil Anwar. 

Puisi yang dikumpulkan dalam buku ini berasal dari berbagai bahasa, tetapi umumnya diterjemahkan dari bahasa Inggris. Dalam bahasa sumbernya, penulis aslinya memiliki gaya berpuisi berbeda-beda. Penerjemahnya, jika mereka itu penyair, memberbeda-beda pula, yang mau tidak mau gaya penulisan  mempengaruhi puisi yang diterjemahkannya. Mungkin boleh dikatakan, bahwa pada dasarnya tidak ada terjemahan yang 'salah', yang ada ialah hasil terjemahan yang bukan puisi'. Umumnya terjemahan yang dikumpulkan Sdr. Wendoko ini sudah boleh dinilai sebagai puisi dalam bahasa sasaran, sebab diterjemahkan oleh penyair-meskipun yang bukan penyair pun bisa saja menerjemahkan puisi menjadi puisi. Karena bahasa sasarannya adalah bahasa Indonesia, semua yang diterjemahkan dalam buku ini merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kesusastraan kita, yang tidak bisa lagi kita 'pulangkan' ke kesusastraan aslinya. 

Buku ini disusun sebagai penghormatan bagi almarhum H.B. Jassin, seorang tokoh yang antara lain telah menemukan Chairil Anwar, penyair yang telah menciptakan bahasa Indonesia baru dalam sajak-sajaknya, yang asli maupun terjemahan. Tentu hasil usaha Sdr. Wendoko ini merupakan sumbangan yang berharga bagi perkembangan kesusastraan kita. 

Depok, 30 November 2000

MARI BERBAGI:
Editor

TAMBAHKAN KOMENTAR

5700840368070671462