BLANTERVIO103

Pengantar Sajak-sajak Modern Perancis - Wing Kardjo

Pengantar Sajak-sajak Modern Perancis - Wing Kardjo
4/04/2020
Pengantar Sajak-sajak Modern Perancis
oleh Wing Kardjo

SASTRADUNIA.COM | Mengumpulkan, memilih serta  menerjemahkan beberapa sajak asing tidak semudah yang diduga semula. Urutannya akhirnya jadi terbalik. Menerjemahkan, memilih dan mengumpulkan. Sebuah sajak yang tertulis dalam bahasa asing seringkali gagal diterjemahkan dengan baik ke dalam bahasa terjemahannya. Dan maksud memperkenalkan puisi yang baik pun gagallah sudah. Amat sering dikatakan orang bahwa puisi ialah yang hilang dalam terjemahan,1) atau lebih gamblang lagi: puisi ialah yang tidak bisa diterjemahkan. 

Tetapi mengapa kita masih juga mencoba menerjemahkannya? Karena tidak bisa lain, artinya tidak ada jalan lain untuk mencoba menghidupkan kembali ide maupun perasaan dan sekian "yang lain-lain" lagi yang secara bulat berpadu dalam apa yang disebut sajak. Sajak terjemahan (masihkah patut disebut sajak?) ialah bayang-bayang yang kabur dibandingkan dengan yang aslinya. Mungkin kaku, kasar atau bahkan karikaturnya yang paling gamang. Mungkin pula gagap, terbata-bata atau bahkan meletup-letup. Atau... 

Tetapi toh, terjemahan yang paling jelek pun masih lebih baik, lebih langsung dari parafrase yang panjang dan terang. Nyata bahwa terjemahan ialah usaha menangkap jiwa yang terekam atau memancar dalam sajak asli. Puisi asli ialah penjelmaan kepribadian, identitas yang secara autentik dan unik menggelarkan dirinya. Sedangkan puisi terjemahan bukan saja dicampuri, dinodai atau dilunturkan keasliannya oleh si penerjemah, tetapi juga oleh struktur dan sekian sifat lain bahasa yang dipergunakan untuk menerjemahkannya. 

Cobalah bayangkan, seandainya dalam bahasa yang sama, kata-kata yang dipergunakan menulis suatu sajak itu diganti satu persatu oleh kata persamaannya, yakinlah kalau sajak yang kedua besar kemungkinan tidak dapat dikatakan sajak, apalagi dipindahkan ke bahasa lain. Sia-sia rasanya kita harus berbicara tentang unsur musik, harmoni, nilai kata dan bunyi, nuansa rasa serta suasananya. Inilah persoalan yang mengakibatkan kita biasanya menggunakan dalih yang tersirat dalam kata: "kemungkinan terjemahannya". Dan hal ini bukanlah semata-mata dalih dalam praktiknya. Puisi yang indah besar kemungkinan jadi jelek, sedang yang jelek mungkin kurang jeleknya, mungkin menjadi baik. 2) 

Puisi modern Prancis dapat dikatakan bermula dari Baudelaire. Kumpulan sajaknya "Les Fleurs du Mal" merupakan sumber puisi masa kini. Baudelaire telah melahirkan duà alur kepenyairan, yang pertama para seniman les artistes yang kedua ialah para terus mata les voyants. Yang satu alurnya dari Baudelaire ke Mallarmé terus ke Valéry; yang satunya lagi dari Baudelaire itu melanjut ke Rimbaud dan terus ke para penukik avontir, kaum surrealis.3)

Puisi Baudelaire mencetuskan kebaruan, di sini puisinya lebih banyak mengungkapkan jiwa daripada perasaan, sebab itu segera kita merasakan kedalaman padanya. Rasa tragis manusia dikembangkan ke tingkat yang setinggi-tingginya, walaupun mesti diakui bahwa téma yang dikerjakannya ialah kelanjutan sikap kaum romantik, pemberontakan dan pelarian-diri. Satu hal lain yang menarik padanya ialah sikap pandangannya terhadap dunia realitas yang ia lihat. Ternyata alam ini bukan semata-mata alam, tetapi "suatu hutan perlambang", yang harus disibak maknanya. Alam adalah semacam alegori mistik, sejenis perangsang bagi imajinasi. Dengan demikian puisi memasuki bidang mistik dan metafisik. Dengan dia pula kita berkenalan dengan metode irasionil dan kemabukan. Walaupun begitu Baudelaire tetap menyatakan bahwa ilham adalah ganjaran usaha sehari-hari, dan bukan semata-mata turun begitu saja. Untuk mencapai "keindahan yang luhur" kita pun tahu apa yang dilakukannya. Tanpa ayal ia bergaul dengan kehidupan daging, haschish dan candu. Dijadikannya tubuh serta jiwanya sendiri sebagai bahan eksperimen. Ia sekaligus algojo serta korban penyelidikannya. Nyata di sini puisi berhenti fungsinya sebagai permainan, seandainya masih disebut permainan, bukanlah permainan yang tidak berdosa. Baudelaire telah menjadikannya sebagai suatu cara hidup, bahkan lebih lagi: suatu katarsis. 

Rimbaud yang memberinya gelar "raja para penyair" segera melihat dalam dirinya suatu kemungkinan yang bakal mencapai "kebaruan" seandainya ia tidak terlampau terikat pada millieu seniman serta berani menjual jiwanya pada Setan. Sebab itulah Rimbaud segera berontak terhadap segala ikatan yang membelenggunya, mengembara serta selanjutnya menjelajahi dunia mistik dan magis. Penyair menjadikan dirinya "terus mata" dengan jalan mengacaukan segala inderanya secara sadar dipikirkan, lama, tak terhingga. Biarlah ia menjadi si sakit besar, penjahat besar, terkutuk agung -Empu agung- sampai ke "daerah tak dikenal". Nyata baginya bahwa pikiran kita yang pucatlah yang telah menutupi kita dari keabadian. Dengan demikian ia ingin mengubah hidup, sebab ia yakin bahwa manusia itu "tidak lahir berdosa" dan memiliki sumber kemurnian yang liar dan tidak dirusak oleh prasangka-prasangka manusia. 

Penyair sebagai pencuri api ia ingin membebaskan manusia dari segala kekurangannya. Tetapi kelak ternyata bahwa akal sehatnya juga yang membuat Rimbaud menolak dunia imajinasi. Ia berhenti jadi penyelidik "kimiawi kata" menjadi pengejar emas. Pada usia 19 tahun ia berhenti jadi penyair. Rimbaud penyair mati. Sedang selanjutnya ia hidup sebagai pedagang budak belian dan senjata, jauh di pedalaman Afrika. Adakah persamaan antara Rimbaud penyair dan Rimbaud pedagang? Hanya namanya. Selanjutnya pengubahan hidup ini masih berupa teka-teki, seandainya bukan karena kegagalannya dalam "mengucapkan apa yang tidak terucapkan". 

Verlaine, temannya yang berumur lebih tua tetapi sangat dipengaruhi serta dikuasai Rimbaud, ternyata hanya pandai menyenandungkan rasa penyesalan dan kemurungannya, lembut dan mengharukan serta membuai-buai. Musik intim dan penuh kegaiban. Ia hanya gambaran manusia yang lemah dan terumbang-ambing. Suatu contoh yang menonjol dari cara hidup dekaden. Puisi simbolis mestilah dicari dari dia, yang tidak mementingkan ketetapan arti kata tetapi kadar emosinya. 

Sikap kesenimanan yang terlihat di Baudelaire dikembangkan secara mendalam oleh Mallarmé dan Valéry. Mallarmé telah bergulat sepanjang hidupnya dengan puisi, untuk puisi demi puisi. Puisi adalah penolakan terhadap dunia, seperti bagi Rimbaud ia merupakan pemberontakan. Di sini puisi diangkat sederajat dengan agama. Puisi ialah keindahan yang luhur. Tetapi apakah ia juga telah berhasil? Secara fragmentaris. Terang bahwa puisi macam ini merupakan puisi hermatis pertapa. Inilah yang melahirkan puisi gelap. Nampak bahwa imej-imej yang sudah terbentuk, kadang-kadang sengaja dihancurkan oleh imej yang berikutnya sehingga sajaknya lebur sementara tercipta. Kemurnian ini dengan sendirinya, dingin dan penuh teka-teki membuat lupa ketidakmurnian dunia. 

Di sampingnya, Valéry juga telah memperlakukan kata-kata seolah-olah bahan kimia, sehingga campuran bahan ini dengan yang itu akan menghasilkan begini, Ia berangkat dengan bentuk untuk menemukan isi di jalan. Pada akhir perjalanan bentuk dan isi berubah jadi puisi. 4)

Dengan Appolinaire yang liris, kita bertemu kembali dengan kehidupan sehari-hari dengan aneka ragamnya. Dari sebuah jembatan tua ia bisa mengangkat sebuah kisah cinta yang mengharukan. Puisi tidak lagi punya tabu. Segala bisa dijadikan puisi. Aspek kehidupan kota ini juga merupakan warisan Baudelaire dalam "Les Tabberhasil leaux Parisiens"-nya, aspek modernisme, muncul dan berkembang. Demikian juga Jacques Prévert kembali dengan lukisan-lukisan kotanya, manusia yang menghuninya serta lengkap dengan gambaran watak serta sikap mentalnya. Puisi ringan nampaknya, naif tetapi bobo: dengan tinjauan yang kritis. Di sini puisi mendekaÈ›i rumusan, Matthew Arnold misalnya yang memandangnya sebagai kritik kehidupan, Atau ujar Eluard bahwa tujuan puisi mestilah sesuatu kebenaran yang praktis. 

Selanjutnya banyak penyair yang mengambil faedah dari penemuan surealisme. Aspek puisi tradisionil bercampur dengan kekayaan yang dapat digali dari sumber manusia itu sendiri, renungan ditambah penukikan ke bawah sadar. Penulisan otomatis, unsur-unsur mimpi bisa melahirkan imej-imej indah dan tak tersangka-sangka. Paul Eluard, tokoh penyair dalam Perang Dunia II, misalnya pandai menjalin kemesraannya yang lembut dengan kelancaran yang menjadi cirinya. Demikian pula Supervielle, dan Michaux bisa memadukan keluwesan dengan kedalaman. Pencarian manusia ke alam batin, ke dalam jiwanya tiada henti-hentinya mengagétkan kita. Dan juga masih merupakan sumber yang tak habis-habisnya digali. "Merubah hidup", ujar Rimbaud, yang tidak puas dengan hidupnya serta situasi peradaban. "Agar tidak merasakan beban waktu", ujar Baudelaire. "Jemu dengan hidup yang mengering", kata Mallarmé akhirnya sampai pada "mengubah dunia" ujar pelanjut-pelanjut kaum surealis, yang ingin menyelaraskan pandangan Rimbaud ke semboyan Marx. Mungkinkah pengetahuan yang rasionil dari yang tidak rasionil ini perang bernama surealisme itu bisa melahirkan suatu revolusi?5) Kelihatannya terlalu penuh kontradiksi, tetapi yang jelas masalah kondisi manusia tambah diperlebar lagi horisonnya, diperdalam lagi kedalamannya. Puisi yang lahir adalah identifikasi hidup itu sendiri dengan puisi, keindahan lahir dari sumber-sumber yang memberi tak tertahan-tahan. 

Apakah dengan demikian kegiatan puisí mengandung persamaan dengan kegiatan politik sebab dua-duanya menyentuh kepentingan manusia? Georges Pompidou yang waktu ini menduduki jabatan Presiden Republik Prancis misalnya menjelaskan bahwa kata berbua! dalam bahasa Yunani terjemahannya: poien yang melahirkan poiesis yaitu puisi, dan prattein yang memberi praxis yaitu aksi atau perbuatan. Dan keduanya merupakan aktivitas yang kreatif. Penyair mempergunakan kata-kata, sedangkan politikus mempergunakan manusia, dan tentulah kedua-duanya memiliki tujuan yang ingin dicapai, tetapi baik penyair maupun politikus mestilah dibimbing oleh suatu konsep tujuan hidup, atau kebutuhan ideal. Tetapi keduanya mesti pula memiliki pengetahuan yang mendalam dan intuitif tentang manusia serta perasaannya, kebutuhannya, aspirasinya.6)

Sajak-sajak yang kami terjemahkan ini, di antaranya yang dikerjakan para penyair dengan gaya "les belles infidèles" tentunya jauh dari gambaran kekayaan puisi Prancis yang sebenarnya. Kami maklum semua itu. Puisi modern Prancis yang terakhir belum mendapat tempat. Tetapi kami yakin bahwa yang terpenting ialah bahwa suara-suara yang mewakili puisi Prancis ini adalah suara penyairnya yang sejati, lengkap dengan dunia realitas sehari-hari, tetapi yang lebih penting lagi ialah dunia dalamnya. Sebab bukanlah keuniversalan itu letaknya lebih dalam dan intim. Dan suara batin yang intimlah yang bisa menghubungkan dua jarak yang jauh menjadi tanpa jarak. Pendekatan inilah yang kami harapkan. 

Buku ini hanya mungkin terbit karena bantuan serta dorongan para teman yang tiada jemu-jemunya. Juga tanpa jerih payah para penerjemah lain yang sajak-sajaknya kami muatkan di sini. Kami haturkan terima kasih yang tak terhingga. Di antara mereka yang langsung kami kenal bisa disebut: Monsieur Bernard Pottier, Ramadhan K.H., Eliane dan Henri Chambert-Loir, teman-teman dari Pustaka Jaya: Ajip Rosidi, Rachmat M.A.S., Yus Rusamsi dan terutama Rachmat M. Sas. Karana. 

Bandung, Septmber 1972. 

Wing Kardjo 


_____
Catatan Kaki:

1) Robert Frost 
2) Tentang kriterium baik dan buruk ini orang bisa panjang berdebat. Bukankah, misalnya kaum surrealis menyatakan bahwa sesungguhnya suatu hal absurd untuk membedakan antara indah dan jelek? Dan ide begini bukannya tidak berpengaruh terhadap perkembangan pemikiran serta penciptaan seni modern. 
3). Marcel Raymond : "De Baudelaire au Surréalisme", José Corti 1963. 
4). Georges Pompidou : "Anthologie de la Poésie française", Hachette 1961. 
5). Georges-Emmanuel Clancier : "De Rimbaud au Surréalisme", Seghers 1959. 
6). G Pompidou: "Poésie et Politique," Figaro Littérajre, no. 1200, Mai 1969. 
MARI BERBAGI:
Editor

TAMBAHKAN KOMENTAR

5700840368070671462