BLANTERVIO103

Beberapa Akibat Kerdilnya Penerbitan pada Perkembangan Kesusastraan Indonesia - MS Hutagalung

Beberapa Akibat Kerdilnya Penerbitan pada Perkembangan Kesusastraan Indonesia - MS Hutagalung
4/03/2020
Beberapa Akibat Kerdilnya Penerbitan pada Perkembangan Kesusastraan Indonesia
Oleh MS Hutagalung



SASTRADUNIA.COM | Kalau kita membaca tulisan-tulisan mengenai kesusastraan atau kebudayaan yang tersebar di koran-koran atau pun dalam majalah-majalah dewasa ini, maka orang-orang yang rajin mengikuti artikel-artikel yang ditulis semenjak sepuluh tahun yang lalu akan segera melihat betapa banyaknya ide-ide yang hanya berupa pengulangan kembali. Pelbagai persoalan berkali-kali menjadi mentah kembali. 

Hal yang sama kita temukan pula apabila kita mengikuti seminar, diskusi, ataupun pertemuan sastra yang lain. Kebanyakan waktu-kita kita gunakan untuk mendiskusikan persoalan-persoalan dasar yang tak habis-habisnya diperdebatkan. Ucapan-ucapan seperti "Bagi saya sedikit banyak menggambarkan belum adanya suatu konsep dasar tertentu atau istilah-istilah tertentu. Dalam sebuah diskusi "menurut saya di TIM, cukup lama diperdebatkan mengenai apa sebenarnya yang disebut: pesan, amanat, dan tema kesusastraan. Tiap-tiap ada diskusi selalu kita dengar ejekan bahwa tidak ada ide-ide baru dikemukakan. Seseorang merasa ia mengemukakan yang baru, mungkin karena ia belum membaca artikel yang sudah pernah ditulis oleh orang lain yang mengemukakan hal yang baru itu dalam majalah atau koran. Tentu saja pembicaraan akan simpang-siur tak menentu ujung pangkalnya. 

Salah satu penyebab kejadian kurangnya pemahaman tentang perkembangan sastra modern di Indonesia ialah karena kerdilnya penerbitan buku-buku sastra kita. Karena itu, sering terjadi apa yang kita tuliskan pada hari ini, itu jugalah yang akan kita tuliskan enam bulan atau setahun lagi. Situasi ini tentu menyebabkan terbangnya banyak tenaga untuk mengunyah-ngunyah pokok-pokok yang lama. Dan akibat yang lebih menyulitkan lagi ialah bahwa pemikiran kita tidak begitu lekas maju dan berkembang, ada miripnya dengan kebudayaan yang masih belum mengenal tulisan. Dengan perkataan lain, tanpa majunya penerbitan cara kita berpikir pun akan lamban. 

Akibat yang lain adalah terlalu banyak energi kita terbuang percuma, juga dalam penterjemahan. Sebagai contoh saja novelet Turgenev yang berjudul Cinta Perkawinan terjemahan Alfons Tarjadi yang telah dimuat dalam harian Kompas, paling sedikit telah diterjemahkan oleh tiga orang pengarang ke dalam bahasa Indonesia, yakni oleh Pramoedya Ananta Toer, tetapi tak jadi diterbitkan oleh Balai Pustaka, dan oleh Rusman Sutiasumarga yang telah dimuat dalam majalah Pemuda. 

Terjemahan suatu karya oleh beberapa orang tentu saja tidak ada salahnya; dengan begitu kita dapat memilih terjemahan yang paling baik. Tetapi dalam situasi kita seperti sekarang ini, rasanya belum waktunya membuang energi yang berharga itu sebab masih banyak buku yang lain yang perlu diterjemahkan. Dan barangkali ada juga baiknya kita mengetahui apa yang telah dikerjakan di Malaysia dalam urusan terjemahan ini baik mengenai buku sastra maupun buku ilmiah. Buku Turgenev di atas telah pula diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu di Malaysia. 

Dalam beberapa harian kita baca pula protes beberapa orang pembaca terhadap karangan yang telah dimuat atau diterbitkan dalam bentuk buku. Pengarang tak mau lagi memasukkannya kembali ke dalam harian atau majalah, kecuali bila terasa benar keperluannya.

Dewasa ini, koran-koran menjadi media yang penting untuk meningkatkan apresiasi seni masyarakat. Dalam ruangan kebudayaan, banyak ditampilkan karangan-karangan yang berharga. Tetapi apabila tulisan-tulisan itu tak pernah dikumpulkan menjadi buku, itu-itu jugalah yang akan muncul nanti pada tahun-tahun yang akan datang. Kita tak mengetahui apa yang telah dikerjakan oleh teman-teman kita. Apa yang dialami kesusastraan atau kebudayaan tentu juga dialami oleh bidang-bidang yang lain. 

Hal-hal di ataslah yang menyebabkan kita sangat gembira menyambut usaha Sdr. Satyagraha Hoerip dengan "Sinar Kasih", yang mengusahakan terbitnya Antologi Esei. Dari buku itu dapat kita lihat betapa banyaknya persoalan yang sudah dikemukakan sejak dulu, tetapi kini kita kunyah-kunyah kembali. Karena itu kita merasa berterima kasih kepada H.B. Jassin yang selalu mempergunakan kesempatan yang dipunyainya untuk menerbitkan tulisan sastra atau tulisan mengenai kesusastraan. Karena itu pula, kita sangat menghargai penerbit yang bersedia menerbitkan buku-buku sastra yang penting walaupun tak ada pasaran. Kita juga menghargai usaha Ajip Rosidi menerbitkan terjemahan cerpen Sunda melalui Budaya Jaya yang dipegangnya. Tak kurang pula pentingnya penerbitan kumpulan sajak Subagio Sastrowardoyo melalui nomor khusus majalah Budaya Jaya. Kalau setiap bulan badan ini dapat menerbitkan nomor khusus, betapa banyak karya yang dapat tertampung. Tentu masih banyak usaha lain yang dilakukan orang untuk menanggulangi penerbitan ini, yang tentunya tak dapat disebutkan semua di sini. 

Kita sering melihat banyak orang berduit yang sering mencari nama dengan cara-cara salah, yang menyebabkan mereka tidak mendapat pujian, malahan celaan. Sebenarnya, dengan cara-cara yang lebih mulia, mereka dapat mengabadikan namanya misalnya dengan melalui penerbitan buku-buku penting pada ulang tahun perusahaan atau ulang tahun direksi seperti yang dilakukan oleh koran Sinar Harapan. 

Dan pengalaman menunjukkan, mata sensor masyarakat agak kabur melihat orang-orang yang banyak melakukan pekerjaan amal; begitu juga pena para penulis agak tumpul bila menghadapi orang-orang yang demikian ini.

MARI BERBAGI:
Editor

TAMBAHKAN KOMENTAR

5700840368070671462