BLANTERVIO103

Hari Cerah Di Musim Semi - Józsi Jenő Tersánszky

Hari Cerah Di Musim Semi - Józsi Jenő Tersánszky
4/01/2020
Hari Cerah Di Musim Semi 
oleh Józsi Jenő Tersánszky

SASTRADUNIA.COM | Aku berjalan-jalan di lembah ngarai yang cerah dari bukit-bukit yang menjulang dan melengkung ibarat gapura-gapura di atas hutan. Ketenangan yang luas tersenyum meliputi ladang-ladang dan riak air menyembur sibuk di setiap kali kecil. Di mana air itu mengalir bebas, bunga-bunga kuning yang mungil segar tampaknya dilatari oleh lumpur yang hijau pekat. 

Aku berbaring di bawah pohon kenari, wajahku dekat pada rumput yang kering, lalu terlintaslah dalam benakku: Jika nanti aku menengok ke atas, ada sesuatu yang akan terjadi.

Makhluk mitologi yang berkaki domba dan bertelinga besar tapi mirip nanusia akan memilah-milah dahan dan ranting pohon itu lalu hati-hati mengintai ke bawah. 

Jika tak ada sesuatu yang dilihat atau didengarnya kecuali kerikan jangkrik, maka ia akan muncul ke jalan hutan. 

la akan berjalan mondar-mandir, memandang kelilingnya dengan matanya yang bercahaya dan mampu melihat jauh; kemudian, selang beberapa waktu, ia pun akan duduk. Ia akan duduk bersandar pada batang pohon kenari dan mengeluarkan seruling bambunya. Lalu disilangkannya kaki dombanya dengan gaya tenang dan gagah, kemudian dimainkannya suatu lagu.

Tiba-tiba akan bermunculan makhluk-makhluk serupa dia yang masih kecil-kecil dari semak-semak yang lebat, tertarik oleh bunyi serulingnya yang melenting. Makhluk-makhluk itu adalah keturunan orang tua yang berkaki domba itu.

Mereka akan berlompatan dengan gairahnya, bermain dan bergulung-gulung di atas rumput. Sekali-sekali mereka akan berlarian saling menggoda; mereka akan menggeliat, tubuhnya melengkung dan lengannya yang kurus seperti tangkai terarah ke belakang dengan sudut yang tajam. Lalu mereka akan bergandengan tangan membuat lingkaran untuk menari sepuas-puasnya sambil menegakkan kepala tinggi-tinggi.

Orang tua itu menyaksikan makhluk-makhluk yang aneh itu dengan pandangannya yang bersinar dan meniup serulingnya dengan semangat lagi. Kiranya ada seseorang mendaki jalanan di balik bukit. la bersiul melagukan irama mars, sangat Jerman lagunya, jenis lagu yang biasanya dinyanyikan oleh anak-anak sekolah yang lesu sepulang dari piknik sambil memegang rumpun-rumpun bunga di tangannya. Ternyata, memang ia anak sekolah: agak kecil dan mengenakan celana pendek. la makin mendekat, berjalan seenaknya dengan langkah-langkah memantul, berjalan di tengah jalanan sambil mengayun-ayunkan tangannya dengan gerakan-gerakan yang lebar, sepertinya dirundung kantuk.

Tiba-tiba, seakan-akan diliputi kemarahan mendadak, ia lari maju dan menyepak beberapa butir batu yang dihadapinya sepanjang jalan. Selanjutnya ia berhenti di tengah jalan, berdiri dengan sikap dewasa yang bersungguh-sungguh, dan kedua tangannya dimasukkan ke dalam sakunya: jalan mana yang harus ditempuhnya? Maka, ia berlari menuju parit. Ketika ia berhasil melompati parit itu, ia memandang sekelilingnya dengan rasa kemenangan, seolah-olah mengharapkan tepuk tangan. Mulailah ia melintasi ladang, lurus menuju ke arahku. Namun, aku tak segera terlihat olehnya. 

la membungkuk untuk memetik sekuntum bunga untuk dikenakan pada topinya, dan dikutak-kutiknya lama sekali bunga itu. Agaknya batang bunga yang lemah itu jadi hancur oleh tangannya, sebab bunga itu kemudian dibuangnya seperti kehilangan kesabaran dan topinya dikenakannya kembali. Lagi pula, sejak ia berjalan di atas rumput, ia mengesankan ketidaksabaran yang sehat pada setiap gerakannya. Sejauh ini ia hanya melihat-lihat sekelilingnya dengan tenang: tapi sekarang ia melihat sesuatu yang diinginkannya dan direntangkannya tangannya untuk mencapainya; sekali lagi ia terdiam, tangannya setengah terangkat, seolah-olah tangan itu dikendalikan oleh seutas per yang tersembunyi, menunggu dilepaskan. 

la mencari pisau sakunya, dipotongnya dahan pohon dan dicobanya untuk meluruskannya.  la melihat ke langit dan bukit-bukit di hadapannya dengan pandangan yang tekun, bahkan dengan rasa hormat. Penuh hasrat dipandanginya keadaan sekelilingnya, dan tiba-tiba digelengkannya kepalanya seolah-olah risau perasaannya. la mulai melonggarkan leher bajunya sambil memutar kepalanya ke samping dengan entakan. Kemudian diulurkannya lehernya seakan-akan ada yang hendak diikuti dengan pandangannya. Ia maju beberapa langkah, dan tiba-tiba meledaklah tawanya. la tertawa sepenuh hatinya dan melompat-lompat seperti badut, menyepak udara, lalu merebahkan diri di atas rumput. la bergulung-gulung tak henti-hentinya, riuh tertawa, berteriak, seperti orang yang lepas kendali. Kemudian ia tegak kembali. Ia berdiri tak berkutik. Tiba-tiba dilemparkannya topinya. "Huréé!" teriaknya, seraya melambai-lambaikan tangannya penuh semangat. 

Oh! musim semi tampaknya telah menguasai benak anak itu,' pikirku, dan rasa gemetar menyusuri tulang punggungku menanggapi keriangan anak itu, kelincahannya yang indah tanpa peduli, semacam getaran yang kurasakan bila mendengar musik di waktu pertandingan-pertandingan. Kemudian anak itu duduk lagi di rumput, tampaknya letih oleh lampiasan perasaannya. Sekarang ia bersiul lagi melagukan mars yang semula, sambil menggerakkan kepalanya sesuai dengan irama lagu itu. Tapi tak sengaja ia terduduk di tempat yang basah; setengah berjongkok ia merasa basahnya celana itu sampai pahanya, dan tertawalah ia keras-keras, liar seperti orang gila. 

Pada saat itu ia bergerak balik dan segera aku terlihat olehnya. Sejenak anak itu terdiam, tak mampu bergerak. la menyeret kakinya lamban-lamban, seolah-olah ia memaksa diri. Ia menggosok-gosok pakaiannya beberapa kali, seolah-olah ingin menghapus segala gerak-geriknya sebelumnya. Dan karena ia cukup hadap-hadapan dengan aku, kulihat ia merah wajahnya karena malu, dan romannya merana dibasahi air mata. 

Ia kemudian berjalan menuruni bukit itu, rikuh, ragu-ragu, seperti orang pincang jalannya. Ya Tuhan, ia tentunya ingin lari! Mungkin belum pernah sepanjang umurnya ia ingin melarikan diri seperti halnya sekarang ini. 

Aku berbaring kembali dengan mukaku dekat rumput, ibarat seorang yang telah berdosa, dan rasanya seperti ada seseorang yang meludahi mataku karena perbuatanku yang tak terpuji itu. 

Sayang! Aku telah menghina anak sekolah yang masih kecil itu. Dan bersama itu aku telah menghinakan musim semi yang tak pernah dapat kuganti. Sebab, dengan itu aku telah melemparkan lumpur pada gaun-gaun putih bersih yang dikenakan para gadis yang dengan bunga tersunting pada rambutnya mengumumkan tibanya musim semi melalui tiupan sengkala-sengkala perak.

1910
a.b. Judi Házi

-Penerjemah: Fuad Hassan

MARI BERBAGI:
Editor

TAMBAHKAN KOMENTAR

5700840368070671462