BLANTERVIO103

Puisi Jepang sesudah Perang - Abdul Hadi WM

Puisi Jepang sesudah Perang - Abdul Hadi WM
3/31/2020
Puisi Jepang sesudah Perang 
oleh Abdul Hadi WM


Puisi Jepang sesudah Perang - Abdul Hadi WM

SASTRADUNIA.COM | Tak ada suatu kesusastraan di dunia modern ini muncul begitu saja dalam babakan sejarah tanpa didahului oleh peristiwa-peristiwa sosial dan politik yang melatari dan mendorong kemunculannya. Pun tak ada suatu gerakan sastra muncul begitu saja dalam suatu babakan sejarah tanpa sejarah sebelumnya yang mendahului. Demikian pula halnya dengan puisi Jepang sesudah, Perang Dunia II. Walaupun ia kerap dikatakan sebagai kebangkitan dari puing-puing kehancuran dan abu akibat ditekannya kebebasan kreatif semasa perang, namun ia tetap berakar pada sejarah panjang sebelumnya. Oleh karena itu mustahil kita membicarakan dan memahami puisi Jepang sesudah Perang Dunia II ini tanpa memahami sejarah puisi jepang modern sebelumnya. 

Berbeda dengan kebanyakan sastra modern di negeri-negeri Asia yang lain yang sejarahnya relatif masih muda, terkecuali sastra modern India dan Arab, sastra modern di Jepang telah muncul pada akhir abad ke-19 di masa restorasi Meiji. Pada tahun 1882 telah muncul sebuah bunga rampai puisi yang berbeda sama sekali dari sastra tradisional Jepang yang telah ratusan tahun usianya. Bunga rampai ini berjudul Shintai Shishu, yang berarti kumpulan puisi gaya baru. Buku itu dipandang sebagai awal kelahiran puisi modern Jepang, walaupun isinya bukanlah puisi asli karya penyair-penyair Jepang, melainkan kumpulan terjemahan puisi-puisi Inggris karya Blomfield, Gray, Longfellow, Campbell dan Tennyson. Di pandang sebagai awal kelahiran puisi modern Jepang, oleh karena pengaruhnya sedemikian kuat di kalangan penulis Jepang. Penerjemahnya pun bukan sastrawan, melainkan tiga orang guru besar dari Universitas Tokyo yang minatnya sangat besar terhadap kesusastraan modern Eropa, khususnya gerakan romantik. Ketiga guru besar itu adalah Toyama Masakazu (1848-1900) seorang pelopor sosiologi Jepang, Yatabe Ryokichi (18521899) seorang ahli botani, dan Inoue Tetsujiro (18551944) seorang guru besar filsafat. Bunga rampai karya mereka berhasil memperkenalkan gerakan romantik kepada penyair-penyair Jepang. 

Pada tahun 1889 muncul lagi bunga rampai terjemahan puisi Jerman dan Inggris. Isinya meliputi karya-karya, Goethe, Heinrich Heine, Hoffman, Byron dan Shakespeare, diterjemahkan oleh Ogai Mori dan kawan-kawannya. Omakage (Persamaan), demikian judul bunga rampai itu, merupakan sebuah kumpulan terjemahan yang lebih baik lagi bahasanya, dan lebih besar lagi pengaruhnya bagi kelahiran puisi modern Jepang. 

Puisi modern asli yang awal ditulis oleh Shimazaki Toson (1872-1943). Kumpulan puisinya muncul pada tahun 1897 berjudul Wakanashu (Bibit Tanaman). Kumpulan ini menandai kelahiran puisi modern Jepang yang sebenarnya dalam gaya romantik. Tak lama kemudian setelah kumpulan puisi Shimazaki Toson muncul, gerakan romantik segera diterima oleh para sastrawan Jepang. Setelah itu beberapa penulis memperkenalkan puisi-puisi gerakan simbolik Prancis, khususnya karya Baudelaire. Seperti gerakan romantik sebelumnya, gerakan simbolik segera pula membangkitkan kreativitas penyair-penyair modern Jepang awal. 

Walaupun demikian, penyair-penyair Jepang masih tetap menulis dalam bentuk tanka, yaitu puisi tradisional yang telah berabad-abad usianya. Hal ini kelihatan pada karya-karya penyair terkemuka seperti Yoshano Akiko dan Ishikawa Takubaku. Puisi bebas (free verse) baru berkembang dan mengalami kematangan di sekitar tahun 1912-1922. Penyair-penyair utama pada periode ini, yang sekaligus merupakan pelopor sejati persajakan bebas, antara lain adalah Kotaro Takamura (1883-1956) dan Hagiwara Sakutaro (18861942), yang kemudian malah dipandang sebagai Bapak Gendaishi (puisi kontemporer) Jepang, oleh karena pengaruh karya-karya mereka dan wawasan estetiknya sangat besar di kalangan penyair kontemporer. Pada masa itu, gerakan-gerakan puisi modern yang tumbuh di Prancis, Jerman dan Inggris diikuti oleh penyair-penyair Jepang. Misalnya gerakan-gerakan seperti surealisme, dadaisme, proletarianisme, realisme sosial, imajisme dan lain-lain. 

Di bawah gerakan-gerakan inilah puisi modern Jepang mengalami perubahan besar. Itu terjadi sekitar tahun 1920, periode yang banyak sekali melahirkan penyair-penyair penting, seperti Keinji Miyazawa, Sinkichi Takahashi, Katsue Kitasono dan lain-lain. 

Dalam pengantar ini, tentu saja, saya tak akan menguraikan secara panjang lebar mengenai perkembangan puisi Jepang sebelum Perang Dunia II. Namun ada baiknya sebelum memasuki puisi Jepang sesudah perang, kita mengenal dua penyair utama yang disebut sebagai Bapak Puisi Kontemporer Jepang, yaitu Hagiwara Sakutaro dan Kotaro Takamura. Kedua penyair ini menanamkan pengaruh yang kuat, dan relevansi karya-karyanya semakin terasa, justru setelah kedua penyair ini meninggal dunia, yaitu setelah perang. 

1. Hagiwara Sakutaro dan Delapan Semangat Puitiknya
2. Kotaro Takamura dan Energi Puitiknya

Ketika pemerintahan militer fasis yang ultranasionalistis mengumumkan perang kepada Sekutu, pada tahun 1942, segala aktivitas sastra tiba-tiba terhenti. Itu terjadi menjelang Sakutaro meninggal dunia. Kegiatan sastra yang diperbolehkan hanyalah yang bertalian dengan mobilisasi massa dan propaganda perang. Dan memang aneh, penyair humanis seperti Kotaro Takamura juga menyempatkan diri menulis sajak-sajak yang berbau propaganda militer. Namun hal itu bisa dipahami, oleh karena adanya tekanan yang sedemikian keras. Dan seperti dikatakannya sendiri, puisi jatuh, naik dan terjerembab lalu muncul untuk hidup kembali. Begitulah setelah perang usai, dan Jepang diduduki oleh tentara Sekutu, sastra kemudian muncul kembali mengalami revitalisasi. Pengalaman pahit semasa perang mewarnai puisi-puisi masa ini. Gerakan-gerakan sastra yang telah muncul sebelum perang, tiba-tiba muncul kembali. Misalnya dadaisme, surealisme, imajisme, futurisme, intelektualisme dan proletarianisme. Gerakan-gerakan ini menjadi lebih hidup setelah menemukan kenyataan baru yang merangsang penciptaan. 

Grup Penyair

Tanda kebangkitan kembali puisi sesudah perang tampak ketika beberapa grup penyair muncul, memanfaatkan momentum yang tersedia. Grup-grup penyair ini memiliki corak gerakan masing-masing, dan sangat menentukan perkembangan puisi Jepang sesudah perang. Di antaranya grup-grup yang telah ada sebelum perang kembali. Sedangkan grup-grup baru muncul bukan tanpa akar gerakan sastra sebelumnya. Grup-grup ini di samping melakukan diskusi-diskusi kelompok secara intensif, dan menyelenggarakan semacam kelas-kelas puisi, juga menerbitkan majalah sastra bulanan dan antologi puisi tahunan. Kegiatan semacam ini terus berlangsung di Jepang sampai sekarang, dan beberapa grup penyair memiliki anggota sampai ratusan orang, yang terdiri dari para sarjana, peminat sastra dan editor di samping sejumlah penyair.

Grup Penyair dan Perannya

Pada tahun 1954-1955 timbullah pertentangan antara penyair-penyair sosialis dan non-sosialis. Kelompok penyair yang pertama menyatakan, bahwa, estetika tidak penting dalam puisi dibandingkan tema dan pesan sosialnya, atau keterlibatan ideologisnya. Kelompok penyair yang kedua jelas membela estetika sebagai penting dalam penulisan puisi, di samping tidak mengabaikan tema dan pesan kemanusiaan puisi. Setelah hampir dua tahun berlangsung, maka perdebatan itu terhenti. Para penyair non-sosialis tidak lagi malu melayani persoalan yang dikemukakan para penyair sosialis. Sebagai gantinya, perdebatan sengit terjadi di kalangan penyair sosialis sendiri. Mereka terpecah menjadi dua kelompok. Kelompok pertama terdiri dari penyair yang tetap bersikeras untuk menomorduakan estetika, sedang kelompok kedua terdiri dari penyair yang memandang bahwa estetika bagaimanapun juga sangat penting dalam penciptaan seni. Puisi bagi kelompok penyair sosialis yang kedua ini adalah suara hati seseorang yang terlibat aktif dalam kehidupan sosial, namun pada saat yang sama mestilah dikemukakan secara estetis agar tetap merupakan suatu karya seni. 

Para penyair ini pada tahun 1954 menerbitkan majalah Gendaishi (Puisi Kontemporer) yang merupakan organ resmi Masyarakat Sastra Jepang Baru. Pendukungnya terutama adalah penyair dari grup Retto dan para penyair kiri sebelum perang, seperti Okamoto Jun, Tsuboi Shigeji dan Kaneko Mitsuharu. Pada tahun 1955 sebuah grup baru, yang kelak ternyata memiliki masa depan paling gemilang, muncul. Grup ini menamakan diri Masyarakat Pengaji Surealisme. Anggotanya mula-mula adalah penyair Ijima Koichi, Ooka Makoto dan beberapa lagi. Dari grup ini lahir seorang penyair wanita yang sangat terkemuka, yaitu Kazuko Shiraishi. Penyair ini mula-mula belajar pada Katsue Kitasono dari grup VOU, kemudian tertarik pada surealisme dan berhasil menulis sajak-sajak surealis yang cemerlang. 

Pada pertengahan tahun 1950-an Jepang mengalami perubahan yang membawa banyak pengaruh pada kehidupan kreativitas sastrawannya. Kemakmuran mulai dirasakan, standar kehidupan mulai berubah, begitu pula gaya hidup masyarakat luas. Perubahan ini berlangsung makin cepat dari tahun ke tahun. Penerbitan buku dan majalah makin berkembang pesat. Kemajuan ekonomi telah mengantarkan Jepang kepada fase baru dalam kehidupan kebudayaannya. Majalah-majalah luar biasa banyaknya terbit, dan orang meramalkan bahwa sastra akan mengalami kemunduran. 

Namun kenyataannya ternyata lain. Kemajuan ekonomi bisa dimanfaatkan oleh para penyair untuk mengembangkan dan memajukan dirinya pula, terutama dalam memperluas cakrawala penyebaran karya-karya sastra. Adalah penyair dari grup Kai yang menjadi pelopor dalam hal ini. Mereka banyak menulis drama, puisi dan kisah-kisah bersambung di berbagai media. Dengan demikian puisi dimasyarakatkan secara lebih luas dari sebelumnya. Penyair yang tangkas dalam memasyarakatkan puisi ini adalah Tanikawa Shuntaro, yang mengemukakan perlunya penyair menjangkau publik lebih luas. Seruan ini diikuti dengan terbitnya majalah sastra komersial seperti Eureka (Oktober 1956), Mugen (Tak Terbatas, Juni 1959) dan Gendaishi Techo (Buku Puisı Kontemporer) tak lama setelah terbitnya majalah Mugen.

Pada awal tahun 1960-an, untuk pertama kalinya sastra Jepang mengalami pengaruh yang hebat dari persajakan Inggris dan Amerika, khususnya dengan diperkenalkannya "Gerakan Puisi Beat" dari Amerika dan Gerakan "Angry Young Men Generation" dari Inggris. Pengaruh gerakan ini antara lain mencapai puncaknya pada penyair wanita paling terkemuka, Kazuko Shiraishi. 

Pengaruh Barat pada Puisi Jepang

Antologi ini jelas jauh dari lengkap. Tidak semua penyair penting masa kini bisa diterjemahkan puisi-puisinya, oleh karena memang tidak semua penyair, seperti di negeri mana pun, beruntung sajak-sajaknya diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. 

Saya berterimakasih kepada Japan Foundation, yang telah memberikan beasiswa kepada saya untuk tinggal selama tiga bulan di Jepang, dan dapat dengan leluasa mengerjakan proyek terjemahan ini. Tentu, waktu tiga bulan tidak cukup untuk mempelajari puisi Jepang masa kini, apalagi melalui terjemahan bahasa Inggris. Namun saya beruntung memperoleh teman yang dapat membantu saya selama berada' di Tokyo antara bulan April sampai akhir Juli 1986. Kepada mereka saya mengucapkan terima kasih atas bantuan dan petunjuknya. Mereka adalah Nyonya Megumi Iozawa, penulis yang telah banyak menerjemahkan puisi dan novel Indonesia ke dalam bahasa Jepang, termasuk sejumlah puisi saya sendiri. Kemudian Tetsuro Indoh, yang pernah lima tahun berada di Indonesia dan telah mempelajari bahasa Indonesia, dan menerjemahkan sejumlah puisi dan prosa Indonesia ke dalam bahasa Jepang. 

Adalah Tetsuro Indoh yang memperkenalkan saya kepada banyak penyair Jepang, yang karyanya antara lain saya terjemahkan dalam antologi ini. Adalah dia pula yang mengantarkan saya ke berbagai pertemuan, menjadi penerjemah saya dan membantu pembacaan sajak saya pada tanggal 23 Juni 1986 di Studio 2000 Seibu, Ikebukuro, Tokyo, dengan menerjemahkan sajak panjang saya Kertangara dalam bahasa Jepang, yang menurut penilaian penyair-penyair Jepang, cukup bagus. Juga terima kasih saya kepada penyair Kazuko Shiraishi, sahabat saya dalam International Writing Program di Universitas Iowa tahun 1973-74. Dialah yang menolong saya memilihkan sajak-sajak yang baik diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, dengan sejumlah petunjuk yang berarti. Dia pulalah yang membantu penyelenggaraan pembacaan sajak saya di Studio 2000. Bersama dialah saya tampil di tengah publik sastra Jepang membacakan puisi, yang dengan begitu saya dibawa lebih akrab berada di lingkungan kehidupan penyair Jepang. 

Juga saya berterimakasih kepada Wing Wardjo, rekan penyair dari Indonesia, yang telah membantu saya selama berada di Tokyo. Pun kepada sahabat-sahabat Jepang saya seperti Toshijiro Itoh, Kazuo Ando, Kaoru Hata, Fumiyo Zusuki, Nobuiko, Hiromi dan Burton Blume, serta John Solt. Pun kepada Kanedasan dari Japan Foundation Jakarta, yang telah banyak membantu saya memberikan penerangan yang bermanfaat untuk lancarnya pekerjaan ini. 

Jakarta 1 Mei 1987
MARI BERBAGI:
Editor

TAMBAHKAN KOMENTAR

5700840368070671462