BLANTERVIO103

Antologi Puisi Nusantara – Portugal - Maman S. Mahayana

Antologi Puisi Nusantara – Portugal - Maman S. Mahayana
4/20/2020
Antologi Puisi Nusantara – Portugal
oleh Maman S. Mahayana


Antologi Puisi Nusantara – Portugal

SASTRADUNIA.COM | Konsep Nusantara (Arhipelago) secara geografik meliputi wilayah yang begitu luas. Kawasan Asia Tenggara secara historis dan sosiokultural sesungguhnya termasuk juga ke dalam wilayah Nusantara. Jejak kenusantaraan itu sampai sekarang masih dapat ditelusuri melalui sejumlah artefak, benda-benda bersejarah, atau kosa kata yang tersebar di beberapa wilayah, seperti Mindanau di Filipina, Patani di Muangthai, Kamboja, Brunei Darussalam, dan kawasan Semenanjung Melayu. 

Secara politik, negara-negara di kawasan Asia Tenggara, terutama dalam forum internasional, cenderung merepresentasikan semangat kenusantaraan yang masuk dalam klaim keserumpunan. Persaudaraan sebagai negara bertetangga, adanya kesamaan kepentingan dalam menghadapi negara-negara adidaya, melekatnya perasaan sebagai sebangsa-sebudaya yang serumpun, dan lahirnya kesadaran bersama untuk menciptakan keamanan regional, tidak lain merupakan ekspresi emosional yang tanpa sadar tumbuh dari sentimen kenusantaraan. Sentimen kenusantaraan itu sendiri lahir sejak lama ketika bangsabangsa Barat belum menginjakkan kaki di Nusantara. 

Indonesia dan Malaysia -termasuk juga Singapura dan Brunei Darussalam sejak lama menggunakan kata nusantara untuk kepentingan meningkatkan kerja sama persaudaraan di bidang kebudayaan. Klaim sebagai bangsa serumpun didasari oleh kesadaran adanya begitu banyak persamaan latar belakang sosio-budaya, semangat membangun kerja sama sebagai sesama bangsa Melayu-Nusantara, dan harapan untuk menciptakan sebuah kawasan yang dihuni oleh bangsa serumpun yang berbudaya tinggi, bermartabat, dan bermarwah. 

Dalam kegiatan sastra, serangkaian Pertemuan Sastrawan Nusantara sejak pertengahan tahun 1970-an, berbagai agenda yang telah disepakati Majelis Sastra Asia Tenggara (Mastera), dan Majelis Bahasa Brunei Darussalam, Indonesia, dan Malaysia (MABBIM) merupakan salah satu dari usaha meningkatkan persaudaraan yang dilandasi semangat kenusantaraan itu. Komitmen bersama antara Komunitas Sastra Indonesia (KSI) Gabungan Penulis Malaysia (Gapena) untuk meningkatkan kerja sama kesusastraan Indonesia-Malaysia, juga dilandasi oleh semangat itu. 

Usaha penerbitan antologi puisi dwibahasa Indonesia-Malaysia-Portugal pada dasarnya dilandasi oleh keinginan meningkatkan semangat persaudaraan antar-bangsa. Pertimbangan historis tentu saja menjadi salah satu alasan penting. Bukankah bangsa Portugis yang tercatat sebagai bangsa Barat pertama yang datang ke wilayah Nusantara ini? Jejak Portugis bertebaran dalam bentuk peninggalan benda-benda bersejarah, kesenian, bahkan juga bahasa. Sampai kini belum ada sebuah buku antologi puisi dwibahasa yang memuat karya para penyair Indonesia-Malaysia-Portugal. Jadi, selain sebagai usaha meningkatkan kerja sama persaudaraan antarbangsa, juga sebagai pembuka jalan bagi kerja sama lain yang sudah sekian lama terabaikan. 

Bahwa pilihan awal ini jatuh pada puisi, tentu saja ada banyak alasan yang melatarbelakanginya. Tetapi, bagi Portugal, puisi adalah denyut kehidupan. la laksana pantun bagi masyarakat Melayu, wayang bagi masyarakat Jawa atau lenong bagi masyarakat Betawi. Puisi bagi masyarakat Portugis, bisa seenaknya menyelusup ke kancah politik, bumbu penyedap bagi pidato para pejabat, memasuki ruang publik tanpa mengenal waktu, tempat, dan suasana, dan menjadi santapan sehari-hari dalam kehidupan rumah tangga dan keluarga. 

Bagi Indonesia dan Malaysia, puisi juga punya sejarah yang panjang. Sebagai bagian dari kesusastraan dan ruh kebudayaan, puisi seperti kristalisasi kebudayaan masyarakat. Maka, pemilihan dan pemilahan puisi yang dimuat dalam antologi puisi dwibahasa Indonesia-Malaysia-Portugal ini dilakukan atas sejumlah pertimbangan. 

***

Dari manakah perjalanan puisi Indonesia dimulai? Dari Hamzah Fansuri sekitar abad XV atau sejak bahasa Indonesia lahir, 28 Oktober 1928? Puisi adalah produk budaya. la lahir lantaran berbagai faktor yang melatarbelakanginya. Hamzah Fansuri, misalnya, mengungkapkan daya takjub dan rasa cintanya kepada Tuhan dalam bentuk syair-syair religius. Puisi Hamzah Fansuri adalah produk budaya yang didasari oleh sikap religiusitasnya. Kebudayaan baginya adalah kedekatannya dengan Tuhan. Maka, sebagai manusia yang berkebudayaan, ia mengungkapkan cintanya pada Tuhan semesta alam dalam bentuk syair-syair yang penuh dengan simbol: hasrat mencapai kebersatuan dengan Tuhan. 

Cara yang dilakukan masyarakat tradisional dalam berkebudayaan lain lagi. Ketika mereka berhadapan dengan alam semesta, mereka melakukan pembujukan agar alam tidak menimpakan bencananya. Bentuk doa kekaguman, mantra, atau mitos tentang asal-usul para dewa adalah ekspresi lain dari pembujukan itu. Masyarakat Melayu lain lagi caranya. Pantun adalah alat representasi masyarakat dalam memuja Tuhan, menyapa dan bercengkrama dengan alam, atau bertegur sapa dengan sesama. 

Sejak Muhammad Yamin memperkenalkan bentuk soneta dalam puisi Indonesia, dan bersamaan dengan itu, masuk pengaruh bentuk puisi Eropa, puisi Indonesia mulai meninggalkan kisah-kisah dunia istana (istana sentris) dan kehidupan para dewa, meskipun jejaknya masih dapat kita jumpai dari bentuk dan pola pengucapannya. Alam Indonesia dan kehidupan sosial masyarakat di sekitarnya, mulai mendapat sorotan para penyair. Sejak itu, puisi Indonesia dianggap sudah memperlihatkan ciri-ciri puisi modern. 

Sebagai produk kebudayaan, tentu saja kita tidak dapat memisahkan secara tegas batas antara tradisionalisme dan modernisme. Perjalanan sebuah produk budaya, seperti puisi, menggelinding secara berkelanjutan mengikuti perubahan masyarakat dan perkembangan zaman. Maka, penyusunan antologi puisi Indonesia-Malaysia-Portugal ini sama sekali tidak berpretensi membuat garis batas tradisionalisme dan modernisme. Semangat yang melandasinya adalah upaya membuat lanskap perjalanan yang memperlihatkan sebuah peta yang berisi aneka ragam potret kultural keindonesiaan yang dihadirkan dalam puisi. 

Bahwa ada sejumlah puisi Malaysia disertakan dalam antologi puisi ini, pertimbangan utamanya semata-mata dilandasi oleh usaha meningkatkan kerja sama persaudaraan antarbangsa. Sebagai langkah awal, puisi-puisi Malaysia yang dipilih diandaikan mewakili periode awal selepas merdeka sampai angkatan terkini. Sudah barang tentu pemilihan puisi-puisi itu tidak dapat mewakili keseluruhan perjalanan puisi di sana. Semangatnya memang bukan hendak membuat lanskap yang lengkap, melainkan yang diandaikan mewakili periode tertentu. Titik berangkatnya adalah semangat persaudaraan. Harapannya agar dari semangat itu, berlahiran kerja sama lain yang kelak bermuara pada semangat mencintai sesama manusia lintas agama, etnik, bangsa, budaya, dan politik. Ringkasnya: mencintai kemanusiaan sejagat, kemanusiaan universal! 

***

Dalam hal puisi Indonesia dan dengan didasarkan pada semangat untuk mencapai tujuan itu, pemilahan dan pemilihan dilakukan dengan mempertimbangkan gambaran sebuah perjalanan dan keterwakilan kultural. Maka, sejumlah puisi yang masuk ke dalam antologi ini diharapkan dapat merepresentasikan sebuah perjalanan itu, sekaligus memberi gambaran semacam lanskap peta budaya Indonesia. Dalam hal ini, pemilihan dilakukan atas dasar anggapan bahwa puisi dalam antologi ini mewakili zamannya dan wilayah etnik. Hamzah Fanzuri dan Raja Ali Haji ditempatkan di awal dengan mengandaikannya sebagai tokoh-tokoh perintis. Demikian juga, nama-nama Muhammad Yamin, Amir Hamzah, Sutan Takdir Alisjahbana, Chairil Anwar adalah rangkaian monumen yang menjadi semacam ikon dalam perjalanan puisi Indonesia. Nama-nama itu tidak dapat diabaikan ketika kita hendak memetakan perjalanan puisi Indonesia. 

Pertimbangan yang menyangkut wilayah etnik dilakukan berdasarkan keterwakilan yang menggambarkan keberagaman kultur Indonesia. Berbicara tentang puisi Indonesia, bahkan secara keseluruhan tentang sastra Indonesia, kita tidak dapat menutup mata pada dinamika yang terjadi di berbagai wilayah. Para penyair yang berada di pelosok Nusantara ini tidak hanya hadir sebagai "wakil" wilayah geografinya, melainkan juga "wakil" kultur yang berada di belakangnya, representasi kebudayaan yang mendekam dalam kegelisahan jiwa penyairnya. Maka, antologi ini tidak hanya memuat puisi-puisi para penyair yang dipandang mewakili zamannya, tetapi juga yang potensial sebagai representasi kultur yang telah melahirkan dan membesarkannya. 

Atas berbagai pertimbangan itu, terhimpunlah sejumlah puisi penyair Indonesia yang -seperti telah dikemukakan-diandaikan merepresentasikan peta perjalanan puisi Indonesia, dan sekaligus menggambarkan lanskap kebudayaan yang melatarbelakanginya. Meskipun demikian, mengingat persoalan teknis yang juga menjadi bahan pertimbangan, maka sejumlah nama dengan sangat terpaksa, disisihkan. Kami sangat menyadari, bahwa sejumlah besar nama yang tak dimasukkan puisinya dalam antologi ini, sesungguhnya tercatat sebagai penyair Indonesia yang juga penting. Jadi, jika dianggap terlalu banyak nama yang tidak dimasukkan dalam antologi ini, pertimbangannya semata-mata persoalan teknis. Tentu saja di belakang persoalan teknis itu, ada banyak alasan yang menjadi bahan pertimbangan. Bagaimanapun, sebagai perkenalan awal, antologi ini diharapkan dapat membuka cakrawala yang agak komprehensif tentang peta perjalanan puisi Indonesia berikut keberagaman kultur yang melatarbelakanginya. 

MARI BERBAGI:
Editor

TAMBAHKAN KOMENTAR

5700840368070671462