BLANTERVIO103

Tulisan Wanita dan Tulisan Pria - Soenarjati Djajanegara

Tulisan Wanita dan Tulisan Pria - Soenarjati Djajanegara
3/31/2020
Tulisan Wanita dan Tulisan Pria 
oleh Soenarjati Djajanegara

SASTRADUNIA.COM |Salah satu usaha awal para pengkritik sastra feminis adalah menggali dan mengkaji kembali tulisan-tulisan penulis wanita yang sudah lama dilupakan karena dianggap sebagai karya yang kurang penting, kurang populer, dan tidak lama bertahan. Tulisan-tulisan yang dipandang sebagai genre wanita ini mencakup fiksi-fiksi tentang domestisitas, cerita penuh sensasi, cerita Gothic, dan fiksi sentimental. Misalnya, sentimentalitas bisa dianggap sebagai suatu sikap, gaya, atau cara menulis yang senantiasa dikaitkan dengan wanita. Di Amerika orang sudah terbiasa dengan pandangan bahwa karya penulis wanita abad ke-19, yang menulis untuk pembaca wanita, begitu sarat dengan sentimentalitas, sehingga karya demikian dianggap tidak patut mendapat perhatian sungguh-sungguh. 

Justru karena tidak adanya perhatian terhadap tulisan-tulisan wanita di masa silam, para pengkritik feminis ingin mencari sebab-sebabnya serta mencoba memastikan apakah di samping keredaman ini mungkin terdapat tanda-tanda adanya suara-suara wanita, isyarat-isyarat artistik yang diungkapkan para wanita yang tidak bisa disebut sebagai penulis atau penyair profesional.  Inilah sebabnya mengapa para pengkritik sastra feminis tidak membatasi bidang kajiannya pada karya sastra semata, tetapi juga meneliti catatan harian, jurnal, syair-syair ditulis pribadi, serta surat-surat yang ditulis perempuan.

Dalam upaya mengkaji tulisan-tulisan wanita dari masa silam, para pengkritik sastra feminis ingin mengungkapkan tulisan-tulisan tentang dan oleh perempuan. Maka usaha awal mereka adalah menggali, menemukan, dan mengkaji kembali karya-karya penulis wanita dari masa-masa silam. Dan mereka berhasil menyelamatkan serta menghadirkan kembali sejumlah penulis wanita yang karya-karyanya sudah dilupakan dan tidak dicetak lagi. Dengan demikian mereka juga berhasil menampilkan kembali sejumlah pengarang wanita yang semula ketenarannya sudah menurun tajam atau yang sama sekali sudah tidak dikenal lagi. 

Berkat usaha para pengkritik tersebut, nama penulis-penulis wanita abad ke-19, seperti Sarah Orne Jewett dan Kate Chopin, sekarang mencuat lagi ke permukaan dan mereka bahkan dianggap sebagai pengarang-pengarang terkemuka dalam khasanah kesusastraan Amerika. Begitu pula, karena upaya Alice Walker, seorang penulis feminis kulit hitam yang sangat terkenal, nama dan karya-karya Zora Neale Hurston sudah direhabilitasi. Sebagai penulis wanita kulit hitam, Hurston menjadi korban ganda para pengkritik terdahulu karena diskriminasi gender dan ras. Pada awal abad ini Hurston memiliki karier yang cemerlang, tetapi karena tulisan-tulisannya diserang habis-habisan dan ditolak para pengkritik, dia terpuruk, jatuh miskin, dan akhirnya dilupakan sama sekali. Dewasa ini karya-karyanya banyak dibaca, baik oleh pembaca kulit hitam maupun pembaca kulit putih, dan terutama oleh pembaca wanita di Amerika.

Selama tiga ratus tahun terakhir ini wanita-wanita dalam masyarakat-masyarakat berbahasa Inggris telah aktif sebagai penulis dan menjadikan kegiatan itu sebagai profesi. Namun, hanya beberapa saja di antara mereka yang oleh pengkritik terdahulu digolongkan sebagai penulis terkemuka. Kebanyakan penulis perempuan zaman dulu hanya menempati kedudukan inferior. Berkat upaya pengkritik sastra feminis, baik status penulis wanita yang terkemuka maupun status penulis yang dianggap inferior, telah dipertimbangkan dengan adil. Karya penulis perempuan terkemuka dikaji kembali, karena sebelumnya telah ditafsirkan secara keliru oleh pengkritik-pengkritik terdahulu, sedangkan tulisan penulis wanita yang dinilai inferior diteliti bukan saja karena telah ditafsirkan secara keliru, melainkan juga karena sering dinilai rendah oleh pengkritik tradisional. 

Ada pendapat yang menyatakan bahwa tulisan wanita di masa lampau hanya merupakan tiruan tulisan pria. Anggapan ini tidak terlalu keliru, mengingat sebelum kebangkitan gerakan feminisme di tahun-tahun 1960an, di berbagai bidang profesi keberhasilan kaum laki-lakilah yang dijadikan tolok ukur. Maka, agar tulisan-tulisannya dibaca, perempuan menulis sebagaimana laki-laki menulis. Pada abad ke-19 penulis kenamaan Inggris, George Eliot, sesungguhnya adalah Mary Ann Cross (1819-1880). Dia memakai nama laki-laki agar tulisan-tulisannya dapat diterima masyarakat. Sampai sekarang novel-novelnya, seperti The Mill on The Floss dan Silas Marner, termasuk dalam kanon kesusastraan Inggris. Begitu pula rekan sezamannya, George Sand. Penulis terkemuka ini sebenarnya adalah perempuan Prancis yang lebih suka menggunakan nama laki-laki. Bahkan penyair Amerika Emily Dickinson (1830-1886), hanya menerbitkan 7 sajak dari 1.775 sajak yang dia ditulis. Itu pun secara anonim. Dia memilih untuk tetap tidak dikenal orang daripada menanggung kritik atau cemoohan atas syair-syairnya. Baru pada tahun 1955 seluruh sajaknya diterbitkan, dan sejak itu dia digolongkan sebagai salah seorang "raksasa" dalam khasanah kesusastraan Amerika. 

Dua orang pemikir terkemuka Inggris pada pertengahan abad lalu, yaitu John Stuart Mill dan George Henry Lewes, menyayangkan gaya menulis wanita yang meniru-niru gaya menulis laki-laki. Dalam tulisannya yang terkenal, The Subjection of Woman (1869), Mill mengemukakan bahwa "If women lived in a different country from men, and had never read any of their writings, they would have a literature of their own. ['Seandainya perempuan tidak hidup di negeri yang sama dengan laki-laki, dan tidak pernah membaca tulisan laki-laki, mereka akan menciptakan karya sastra yang khas mereka sendiri."]. Dari ungkapan Mill ini dapat disimpulkan bahwa karena perempuan hidup bermasyarakat dengan laki-laki, maka dengan sendirinya tulisan mereka seperti tulisan laki-laki, karena gaya tulisan laki-laki sudah berabad-abad diterima masyarakat. Mill kemudian melanjutkan bahwa:

 "If women's literature is destined to have a different collective character from that of men, much longer time is necessary than has yet elapsed before it can emancipate itself from the influence of accepted models, and guide itself by its own impulses. 

['Apabila karya sastra wanita diharuskan memiliki karakter kolektif yang berbeda dari karya sastra laki-laki, akan dibutuhkan waktu lebih lama sebelum karya sastra mereka dapat dianggap sejajar dan terbebas dari pengaruh model yang diterima masyarakat, dan memajukan dirinya dengan dorongannya sendiri."]. 

Dari pendapat Mill ini kita bisa menyimpulkan bahwa wanita menulis seperti laki-laki, bukan saja karena karya-karya laki-lakilah yang dijadikan panutan, melainkan juga karena nyaris tidak adanya tulisan wanita yang bisa dijadikan teladan. 

Begitu pula pendapat pengkritik sastra Inggris George Henry Lewes, yang dalam esainya The Lady Novelist menulis sebagai berikut: 

The advent of female literature promises woman's ew of life, woman's experiences; in other words, a new element. Make what distinctions you please in the social world, it still remains true that men and women have different organizations, consequently different experiences... But hitherto... the literature of women has fallen short of its functions owing to a very natural and a very explicable weakness-it has been too much a literature of imitation. To write as men write is the aim and besetting sin of women; to write as women is the real task they have to perform. 

["Munculnya kesusastraan wanita menjanjikan timbulnya pandangan wanita tentang kehidupan, tentang pengalaman wanita: dengan kata lain, suatu unsur baru. Meskipun kita membuat perbedaan apa pun masyarakat, kita tetap harus mengakui bahwa laki-laki dan perempuan mempunyai organisasi-organisasi yang berlainan, oleh karena itu mereka memiliki pengalaman yang berlainan pula.... Namun sampai sekarang.... karya sastra wanita kurang melaksanakan fungsinya, disebabkan kelemahan yang masuk akal dan dapat dijelaskan – kebanyakan karya sastra wanita merupakan tiruan belaka. Menulis seperti pria adalah tujuan yang ingin dicapai serta dosa yang mudah dilakukan oleh wanita: tugas sebenarnya penulis wanita adalah menulis sebagai wanita."] 

Memang diakui pula oleh para pengkritik sastra feminis masa kini, yang sebagian besar adalah wanita, bahwa ketika wanita mulai menulis dan menjadikan kegiatan itu sebagai profesi, yaitu di pertengahan abad ke-19, biasanya dia menulis tentang gaya hidup kalangan atas, tentang pendidikan, agama, atau masyarakat di sekitarnya. Dalam novel-novelnya, wanita menulis tentang wanita sebagai pengaruh kepada kaumnya di lingkungan domestik dan masyarakat sekitarnya. Lingkungan terbatas inilah yang merupakan bahan bagi penulis wanita untuk menulis novel-novelnya pada masa itu. Dengan kata lain, penulis wanita ingin menunjukkan kepada wanita lain bahwa domestisitas merupakan lingkungan paling tepat dan paling cocok bagi wanita. 

Bahkan novelis-novelis terkemuka di zaman itu, Charlotte Younge dan Dinah Craik, mengemukakan bahwa novel "feminin" memiliki ciri-ciri khas: rapuh, berdaya intelek rendah, sopan, dan sentimental. Maka tidaklah mengherankan jika para pengkritik zaman itu menilai novel-novel penulis wanita sebagai bermutu rendah dan berpandangan sempit. 

Dengan demikian para penulis wanita di pertengahan abad ke-19 menghadapi suatu dilema. Mereka merasa tersinggung oleh para pengkritik laki-laki yang menilai tulisan kaum wanita itu rendah, tapi mereka tidak ingin diperlakukan secara istimewa dan mercka bertekad untuk mencapai sukses dengan jerih payah sendiri. Di lain pihak, penulis wanita takut dicap kelaki-lakian atau telah meninggalkan sifat-sifat kewanitaannya kalau dia benar-benar berhasil. 

Dalam kurun-kurun waktu berikutnya, penulis wanita tetap tidak berusaha menembus lingkungannya yang terbatas atau meninggalkan gaya menulis yang dicap tidak bernilai dan sentimental itu. Mereka nyaris tidak memperluas ruang lingkup mereka dengan menjelajahi lingkungan yang lebih luas atau menuliskan pengalaman yang wawasannya lebih luas. Mereka meninggalkan gaya mereka yang meniru-niru penulis laki-laki dan berusaha menegakkan jati diri mereka dengan cara memisahkan diri dan mengembangkan gaya tersendiri. Mereka menulis tentang hal-hal yang menunjukkan sikap menentang atau bermusuhan, baik terhadap penulis feminin atau tradisional maupun terhadap penulis laki-laki. 

Penulis-penulis wanita seperti Katherine Mansfield dan Virginia Woolf dengan sengaja mengembangkan suatu estetika yang khas wanita, sehingga novel-novel mereka menunjukkan kata-kata, kalimat-kalimat, serta struktur bahasa yang bernada feminin. Mereka tidak memperlihatkan usaha untuk menulis tentang pengalaman fisik wanita. Kalaupun penulis-penulis wanita masa itu menulis tentang seksualitas perempuan dalam fiksi mereka, mereka melakukannya dengan samar-samar atau terselubung. 

Sesudah meninggalnya Woolf di tahun 1941, penulis-penulis wanita masih tetap mempertahankan sikap yang konservatif dan nyaris tidak terpengaruh oleh modernisasi atau nyaris tidak berusaha melakukan eksplorasi dan eksperimen tentang pribadi dan pengalaman khas wanita. 

Dipengaruhi dan didorong oleh gerakan feminisme di tahun-tahun 1960-an, para penulis wanita memasuki masa baru yang penuh dinamika dalam sejarah masyarakat berbahasa Inggris. Fiksi karya wanita masa itu tidak saja memuat bentuk-bentuk tradisional abad ke-19, tetapi juga mengangkat analisis-analisis Freud serta Marx dari abad ke-20. Maka novel-novel Doris Lessing dan penulis-penulis wanita muda lainnya misalnya, mulai menunjukkan sikap dan sifat yang dahulu dianjurkan Mill dan Lewes; menciptakan kesusastraan murni wanita yang mengungkapkan pandangan hidup serta pengalaman wanita. Dengan belajar dari pengarang-pengarang wanita tradisional dari dua abad terdahulu, penulis wanita kontemporer sanggup mengambil manfaat dari keunggulan-keunggulan pendahulunya dan memadukannya dengan bahasa dan pengalaman wanita masa kini. 

Sebagaimana penulis feminin masa lampau, novelis wanita modern sangat peduli terhadap ketimpangan-ketimpangan antara seni dan cinta, antara pemuasan diri dan tugas. Dia merasa berhak untuk menulis kosa kata yang dahulu menjadi monopoli penulis laki-laki dan untuk secara blak-blakan melukiskan pengalaman wanita dulu dianggap pantang bagi novelis wanita. Yang

Penulis wanita, penulis feminin, maupun penulis feminis, sejak dulu hingga sekarang harus selalu berjuang melawan kekuatan-kekuatan kultural dan historis yang menilai rendah pengalaman wanita dan karya mereka. 

Di dunia ini tidak ada dua orang yang tepat sama. Sebagai insan, maka perempuan pun memiliki sifat-sifat khas yang membedakannya dari anggota-anggota masyarakat lainnya. Dia memiliki pengalaman dan pandangan yang khas, unik, tidak ada duanya, disebabkan umur, jenis kelamin, kepercayaan, serta keadaan baik psikis maupun fisik. 

Jika pembedaan ini kita terapkan secara lebih umum, maka pada umumnya kaum perempuan bisa dibedakan dari kaum laki-laki. Pihak-pihak yang mementingkan perbedaan biologis seksual merupakan dasar bagi perbedaan watak atau perbedaan ciri-ciri sifat serta sikap antara perempuan dan laki-laki. Selanjutnya, perbedaan-perbedaan di atas mengakibatkan terjadinya perbedaan pandangan serta pengalaman hidup di antara kedua jenis secara umum. Jika pembedaan ini selanjutnya kita terapkan pada kesusastraan, beberapa pengkritik feminis berpendapat bahwa disebabkan proses sosialisasi yang berbeda bagi perempuan dan laki-laki, maka tradisi sastra wanita dan tradisi sastra laki-laki berbeda. Kesadaran penulis sebagai wanita terjelma dalam suatu bentuk sastra di suatu tempat serta kurun waktu tertentu. Karya-karya perempuan menunjukkan usaha untuk membebaskan diri, suatu dorongan untuk melepaskan diri dari keterbatasan – yaitu keterbatasan sosial maupun sastra, melalui usaha-usaha untuk meninjau kembali diri wanita itu sendiri, nilai-nilai seni, serta nilai-nilai dalam masyarakat pada umumnya. 

Para penulis wanita merupakan suatu kekuatan kompak yang dengan penuh rasa solider menghadapi suatu kenyataan sosial. Maka tidaklah mengherankan apabila teks-teks mereka memperlihatkan persamaan tema, topik, atau imaji. Karya penulis-penulis seperti Jane Austen, Sylvia Plath, dan Emily Dickinson misalnya, menunjukkan ciri-ciri demikian, sehingga memberi kesan adanya tradisi khas penulis wanita. 

Pengkritik feminis telah membawa angin segar ke dalam ilmu sastra. Dalam mengkaji kedudukan perempuan dalam karya-karya sastra dan tulisan-tulisan pengarang wanita, mereka telah mengungkapkan ketidakadilan dalam cara-cara lama mengkaji dan menilai karya sastra. Pendekatan-pendekatan tradisional terhadap genre, situasi atau tokoh, sering dilakukan dari sudut pandang laki-laki, yang biasanya berbeda dari perspektif wanita. Dan perspektif laki-laki ini pada umumnya terapkan dalam tulisan-tulisan laki-laki. Karena pengkritik-pengkritik lama biasanya terdiri dari kaum laki-laki, tulisan-tulisan merekalah yang dipilih untuk dimasukkan ke dalam kanon, dan karya sastra perempuan tidak. Berkat usaha-usaha para pengkritik feminis tulisan-tulisan wanita itu digali kembali, dikaji, serta dinilai, dan akhirnya diberi kedudukan dan penghargaan yang sebelumnya hanya diberikan kepada teks-teks karya penulis pria.
MARI BERBAGI:
Editor

TAMBAHKAN KOMENTAR

5700840368070671462