BLANTERVIO103

Delapan Ragam Semangat Puitik Hagiwara Sakutaro - Abdul Hadi WM

Delapan Ragam Semangat Puitik Hagiwara Sakutaro - Abdul Hadi WM
3/31/2020
Delapan Ragam Semangat Puitik Hagiwara Sakutaro
oleh Abdul Hadi WM

Delapan Ragam Semangat Puitik Hagiwara Sakutaro - Abdul Hadi WM

SASTRADUNIA.COM | Hagiwara Sakutaro adalah penyair modern Jepang yang paling banyak menarik perhatian pengamat puisi di Barat maupun di Jepang sendiri. Karya-karyanya termasuk paling banyak diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa asing. Secara spiritual Sakutaro sangat dekat dengan tokoh-tokoh seperti Edgar Allan Poe, Dostoyevski, Schoupenhauer dan Nietzsche. Dan memang kepada merekalah Sakutaro berguru secara spiritual. Kepenyairannya menjadi penting oleh karena dialah penyair modern pertama Jepang yang berhasil menciptakan idiom-idiom puitik baru dengan berbekal perbendaharaan diksi purbani sastra klasik Jepang. Keberhasilannya ini membuat dia pantas dipandang sebagai penyakir paling orisinal, yang sanggup menyempurnakan seni puisi gaya bebas di Jepang. 

Sakutaro memiliki kemampuan untuk membuktikan, bahwa, bahasa Jepang sehari-hari bisa diangkat dan digunakan bagi penulisan puisi yang bermutu tinggi. Puisinya menjadi tanda lahirnya bahasa puitik modern yang sesungguhnya dalam kesusastraan Jepang. Selain itu, kepeloporan Sakutaro diperkuat oleh kenyataan, bahwa, dialah penyair modern Jepang pertama yang berhasil mengungkapkan keputusasaan yang eksistensial dari intelektual modern Jepang dalam bahasa puisi yang hidup dan memikat. 

Sampai dia meninggal dunia pada tahun 1942, dia telah menghasilkan tiga kumpulan puisi: Menggonggong di Bulan, Kucing Biru dan Negeri Es. Dia juga meninggalkan teori puisi dan wawasan estetik, yang kuat pengaruhnya dalam perpuisian kontemporer Jepang, melalui esai-esai dan aforisme-aforismenya. Di antara esainya yang penting ialah Prinsip-prinsip Puisi, yang ditulisnya selama sepuluh tahun. 

Bagi Sakutaro, puisi terutama sekali merupakan ekspresi nostalgia. Menurut dia, bentuk puisi kurang penting dibanding semangat tertentu yang tersembunyi di dalamnya. Sebab, yang membedakan puisi dengan prosa sesungguhnya bukanlah bentuk formal penulisannya, akan tetapi semangatnya. Puisi menjadi puisi oleh karena memiliki apa yang disebut sebagai shiseishin. Shiseishin (semangat puitik) dapat menjelmakan diri dalam berbagai bentuk yang berbeda. la bisa terdapat dalam genre sastra yang lain, misalnya novel dan drama. Namun demikian, manifestasinya yang paling murni dijumpai dalam puisi, khususnya dalam lirik. Tanpa sbiseishin, puisi akan kehilangan rasion d'etrenya. 

Dalam aforismenya yang terkenal, berjudul "Ciriciri Shiseishin", dia menyebutkan delapan ragam semangat puitik yang utama: 


  1. Puisi membubung mengatasi kenyataan. Di sini semangat puitik secara esensial adalah romantik. 
  2. Puisi senantiasa mencari yang ideal. Di sini semangat puitik secara esensial adalah subyektif. 
  3. Puisi memperbaiki bahasa. Di sini semangat puitik secara esensial bersifat retoris dalam kandungannya. 
  4. Puisi mengangkat keindahan lebih tinggi dari kebenaran. Di sini semangat puitik secara esensial adalah estetis. 
  5. Puisi mengritik kenyataan. Di sini semangat puitik secara esensial adalah pedagogis. 
  6. Puisi mengangankan dunia yang transendental. Di sini semangat puitik secara esensial adalah metafisis. 
  7. Puisi menuntut bentuk. Di sini semangat puitik secara esensial adalah normatif. 
  8. Puisi menuntut kebangsawanan dan kejarangan. Di sini semangat puitik secara esensial adalah aristokratis. 


Yang dimaksud dengan "kenyataan" oleh Sakutaro adalah kenyataan lahir atau biasa, keberadaan rutin seseorang dalam dunia sehari-hari. Sakutaro menemukan, bahwa, nestapa penyair terutama di dalam temperamen puitiknya, bukan di dalam kehidupan sosial. Oleh karena temperamen puitiknyalan seorang penyair selalu menjumpai keburukan dan korupsi di dalam dunia sehari-hari yang lahiriyah, dan karenanya dia akan slalu berusaha menolaknya atau menyangkalnya. Penyangkalan itu dilakukan demi Cita yang tinggi. Temperamen ini lebih bertalian dengan takdir, karena seorang penyair memang dilahirkan, bukan dibuat. 

Karena kepekaan puitiknya membuat penyair selalu peka pada ketimpangan dunia, maka ia kerap putusasa menghadapi kenyataan sehari-hari yang jauh dari apa yang dicita-citakan. Semangat kepenyairan Sakutaro ini berpengaruh besar pada perkembangan puisi Jepang kontemporer, khususnya setelah perang, manakala penyair menyaksikan dan mengalami kehancuran negerinya begitu memukul hati mereka. Nihilisme dan keputusasaan eksistensial yang diekspresikan Sakutaro sebelum perang, lebih-lebih dirasakan lagi sebagai kenyataan yang tak bisa dielakkan begitu tentara Sekutu menduduki Jepang, menyusul pemboman kota Hiroshima dan Nagasaki. 

Dalam sebuah sajaknya Sakutaro misalnya menulis:

Di dasar bumi, tampak sebuah wajah:
Sebuah wajah sakit dan sepi.
Dalam kegelapan di dasar bumi
Rumput-rumput merayap mulai menembak,
sebuah sarang
tikus mulai bertunas;
Dalam sarang tak terhitung
Rambut-rambut kusut gemetaran.

(Wajah Sakit)

Salah satu jasa Sakutaro yang penting bagi perpuisian Jepang adalah konsepsinya tentang ritme, walaupun konsepnya itu sangat pelik dan dalam beberapa hal masih kabur. Ia mengkritik puisi Jepang sepanjang sejarahnya oleh karena berpijak pada pengertian yang sempit mengenai ritme. Ritme cuma dipandang sebagai alunan melodi, padahal dalam pengertian yang luas ritme mencakup apa yang dinamakan "ritme emotif", "ritme metafisis" dan "ritme tanpa bentuk". Ritme semacam inilah yang membuat puisi meninggi atau memasuki dunia yang transenden. 

Ketiga bentuk ritme itu tidak bersifat "aural", tidak sebagaimana warna dan bentuk dalam lukisan, dan bukan pula berupa "alunan nuansa verbal". Ritme yang sesungguhnya dalam bahasa harus bersifat auditif (dengaran). Bahasa Jepang, kata Sakutaro, tak memiliki tekanan aksentual sehingga puisinya kurang memiliki "auditory". Karena itu puisi Jepang berbeda dari puisi di negeri lain. Di dalam tanka dan haiku, penyair Jepang hanya mampu memanfaatkan ritme emotif. Tugas penyair kontemporer karenanya, ujar Sakutaro, adalah memperkaya puisi Jepang dengan ritme auditory ini. Karena tanka dan haiku terbatas untuk memenuhi gagasannya ini, maka dia menetapkan untuk menyatakan bahwa puisi bebas merupakan bentuk yang sebaik-baiknya untuk menerapkan konsep atau wawasannya. 

Alasan lain mengapa Sakutaro memilih sajak bebas ialah karena ia menyadari, bahwa, Jepang telah mengalami westernisasi. Barat merupakan bagian dari kehidupan Jepang yang tak dapat diingkari. 

Sakutaro dalam esainya itu juga menyinggung kemampuan profetik penyair sejati, kemampuan melihat ke depan dan melihat pokok segala sesuatu sampai ke dasar-dasarnya. Adalah shiseishin yang membuat penyair memiliki kemampuan profetik itu, dan ini membuat karya-karyanya melampaui zaman dan peradaban yang melahirkannya. 

MARI BERBAGI:
Editor

TAMBAHKAN KOMENTAR

5700840368070671462