BLANTERVIO103

Cerita Amerika Masa Kini - Budi Darma

Cerita Amerika Masa Kini - Budi Darma
3/30/2020
Cerita Amerika Masa Kini
Oleh Budi Darma


SASTRADUNIA.COM | Pengarang yang kemudian menjadi pengajar universitas di Amerika pernah menjadi bahan olok-olok dalam sebuah cerpen beberapa tahun yang lalu. Dalam cerpen yang saya lupa pengarangnya dan juga judulnya, digambarkan kehidupan seorang pengarang yang juga doktor sastra, menjadi mati sebagai pengarang setelah mengajar di universitas. Pekerjaannya setiap malam mengoreksi pekerjaan mahasiswa-mahasiswanya, setiap pagi memasukkan catatan-catatan ke dalam tasnya, kemudian pergi ke universitas setelah mendapat ciuman dari istrinya. 

Keadaan ini benar. Benar bukan karena pengarang yang ditarik untuk mengajar di universitas lalu mati sebagai pengarang, tapi benar karena sebenarnyalah mereka orang-orang yang marginal. Mereka bukanlah pengarang yang sebenarnya pengarang. Mungkin mereka lebih cenderung untuk menjadi skolar yang baik. 

Karena itu, ketika pada tanggal 4 Agustus 1974 yang lalu majalah The New York Times memuat perbedaan pendapat antara dua penulis, kita tidak terkejut. Kurt Vonnegut Jr. yang oleh sementara orang dianggap sebagai penulis yang baik pada saat ini mengatakan, bahwa kuliah menulis-kreatif di universitas tidak perlu diadakan secara resmi. Rupanya dia lebih percaya pada bakat daripada pendidikan. Philip D. Appleman, pengarang novel, penyair, dan eseis, tidak menyetujui Vonnegut. Dan kita mengerti apa sebabnya: Appleman sekarang menjadi profesor di Indiana University, dulu pernah mengajar di Columbia, dan rupanya novelnya tidak pernah mendapat sambutan. 

Namun demikian, pengarang yang dapat hidup baik sebagai pengarang maupun sebagai profesor ada juga. Robert Penn Warren adalah contoh yang baik. Dan seperti halnya Robert Penn Warren, pandangan pengarang-pengarang yang hidup di universitas pun belum tentu buruk. Banyak pendapat Robert Penn Warren yang baik, demikian juga pendapat Stanley Elkin. Elkin yang menulis cerpen dengan konsepnya sendiri ternyata mencerminkan kehidupan cerita-cerita Amerika masa kini. 

Sebelum mengajar di Washington University, Elkin juga pernah mengajar di Indiana University. Dalam kata pengantar kumpulan cerita-cerita Amerika tahun enam puluhan (Stories from the Sixties, Doubleday & Company, New York, 1971), Elkin menceritakan pengalaman mengenai proses penulisan beberapa cerpennya. Dia menyatakan mempercayai inspirasi sepenuhnya. Kalau ada orang yang mengatakan bahwa dalam penulisan seorang penulis memerlukan sepuluh persen inspirasi dan sembilan puluh persen perspirasi (yang sekarang populer), maka menurut Elkin orang tersebut keliru. Paling tidak untuk dirinya sendiri sebagai pengarang cerpen, kita yakin bahwa dia benar. Semua cerpen Elkin lahir karena inspirasi, digarap menurut inspirasi, dan diakhiri juga oleh inspirasi. 

Inspirasi atau perspirasi, atau berapa persen inspirasi dan berapa persen perspirasi, dalam penulisan memang dapat diperdebatkan. Hasil perdebatan ini akan kembali pada pengarang sendiri, dan keadaan-keadaan tertentu yang mempengaruhi pengarang. Beberapa pengarang mungkin tidak mempunyai konsep mengenai persoalan ini, karena memang persoalan ini tidak perlu diperhitungkan dalam proses penulisan. Beberapa pengarang mungkin juga memperhitungkannya, dengan pertimbangan-pertimbangannya sendiri. Dengan atau tanpa konsep, dengan atau tanpa perhitungan mengenai inspirasi dan perspirasi, akhirnya pembaca akan tahu apa yang dilakukan oleh seorang pengarang. Apa yang dilakukan oleh pengarang terhadap inspirasi, apa yang dilakukan oleh pengarang dalam perspirasi, semua akan diketahui oleh pembaca. Dan demikian pulalah dalam kita menghadapi cerpen-cerpen Elkin: kita tahu bahwa dia sangat mempercayai inspirasi, dan kita tahu bahwa inspirasi baginya adalah apa yang ada dalam pikiran atau perasaannya pada waktu menulis. Begitu inspirasi datang dia menulis, dan dia menulis menurut apa yang dikatakan oleh inspirasi, "because stories come at once or not at all," katanya. Dengan demikian tahu pulalah kita, mengapa situasi bagi Elkin sangat penting dalam cerpen. "Short stories must have situations," katanya.

Sebagai pengarang yang membiarkan dirinya dibawa oleh inspirasi, masuk akallah dia terbawa oleh situasi, dan kurang terbawa oleh karakterisasi atau penokohan. Inspirasi yang sifatnya impulsif (paling tidak demikianlah praktik Elkin berdasarkan penglihatan kita terhadap cerpen-cerpen Elkin) cenderung untuk lebih mengikuti keadaan atau situasi, dan tidak bisa terkekang oleh penokohan. Kalaupun ada penokohan yang terbentuk, maka penokohan ini tidak terbentuk oleh keinginan pengarang untuk menghadirkan tokoh, akan tetapi oleh inspirasi yang menciptakan situasi. Melalui situasi terlahirlah tokoh-tokoh. 

Bahaya, kalau toh dapat dinamakan bahaya, yang timbul apabila pengarang terlalu melepaskan dirinya dibawa oleh inspirasi (setidaknya inspirasi dalam pengertian Elkin seperti yang tersirat dalam cerpen-cerpennya) cukup jelas: pengarang akan berbicara "seenaknya", organisasi pikirannya tidak "runtun", validitas apa yang dikatakan pengarang belum tentu terjamin, pengarang kadangkadang mengadakan kontradiksi terhadap pendapat yang sebelumnya pernah diungkapkannya dalam cerita yang sama atau cerita yang lain, dan masuknya hal-hal, masalah-masalah, atau situasi-situasi yang tidak perlu ada dalam cerita. Bahaya yang menimbulkan kelemahankelemahan ini dapat saja oleh orang lain dianggap justru sebaliknya: memang demikianlah seharusnya cerita yang baik. Plot atau alur, karakterisasi atau penokohan, kalau perlu tema pun, dapat dan harus dihilangkan dari cerita. Pendapat demikian tentu saja ada. 

Cara kerja Elkin sama dengan cara kerja pengarang-pengarang Amerika masa kini lainnya. Mereka menulis apa yang ada dalam pikiran dan perasaan mereka pada saat mereka menulis. Persoalan yang mereka kemukakan banyak yang kabur, dan ujung pangkal cerita mereka tidak menentu. 

In the Heart of the Country oleh William Gass, salah seorang pengarang terkemuka Amerika masa kini, merupakan salah satu contoh. Inilah cerita yang benar-benar ditulis dengan jalan mengikuti inspirasi sepenuhnya. Suasana dengan segala nuansanya nampak jelas dalam cerita ini. Dan perlu diakui, bahwa suasana Bloomington yang terletak di negara bagian Indiana memang cukup baik digambarkan oleh Gass. Tapi kemudian ada persoalan lain yang selalu mengganggu. 

Ketajaman pandangan mata Gass terhadap masalah-masalah Jasmaniah di Bloomington dan kota-kota kecil lain di Midwest memang tidak perlu diragukan. Begitu juga ketajaman pandangan mata Robert Coover terhadap olah-tingkah the baby sitter dan ayah anak-anak dalam "The Baby Sitter" yang juga terdapat dalam kumpulan tersebut. Gass memberikan gambaran yang meyakinkan, Coover memberikan gambaran yang jenaka. 

Namun demikian, untuk apa semuanya ini? Ketelitian memandang hanya untuk keperluan mendapat gambaran yang jelas mengenai suatu tempat, ketelitian memandang hanya untuk melihat kejenakaan peristiwa-peristiwa, lalu untuk apa? Bukan hanya itu: Mengapa "hanya" untuk mendapatkan gambaran yang demikian diperlukan cerita yang begitu panjang, pengulangan-pengulangan, pelompatan-pelompatan, penceritaan persoalan yang tidak relevan, dan hal-hal semacam ini? Inilah pertanyaan yang selalu mengganggu, dan ini pulalah yang pada umumnya mewarnai cerita-cerita Amerika masa kini. 

Saul Bellow adalah pengarang terkemuka Amerika masa kini. Bukunya Herzog sering dibicarakan, dan bukunya yang lain, Mr. Sammler's Planet, tercatat sebagai best-seller selama empat bulan dalam The New York Times. Novel Mr. Sammler's Planet yang oleh Times disebut sebagai "easily the most exciting novel Bellow has written", tidak lepas dari persoalan di atas: banyak shock, loncatan-loncatan, surprise dan lelucon-lelucon yang ditulis oleh pengarangnya secara "haur-baur". Membaca novel ini memang menyenangkan. Loncatan-loncatan, lelucon-lelucon, dan lain-lain memang dapat menggelitik pembaca. Namun demikian, timbullah kemudian pertanyaan: untuk apa? Dan seperti cerita Amerika masa kini pada umumnya, maka novel ini pun gemar mempertontonkan kata-kata cabul.

Elkin selanjutnya mengatakan, bahwa cerita selalu terbentuk oleh dua unsur, yaitu campuran learned dan inspired. Dalam sebuah cerita yang buruk di mana semua action adalah learned, hasilnya akan menjadi melodrama, dan apabila semuanya inspired, hasilnya akan menjadi chaos, kacau-balau. Tentu saja kita tidak perlu meragukan kebenaran pernyataan ini. Memang kebanyakan melodrama dan chaos merupakan ciri keburukan cerita. Berdasarkan data yang terbatas kita tidak berani menyimpulkan, tapi rupanya demikianlah gejala yang ada pada cerita Amerika masa kini. Kita tidak berani mengatakan bahwa cerita Amerika masa kini melodrama atau chaos. Tapi kita merasakan, banyak pengarang yang sadar atau tidak (bahkan mungkin sengaja) melarutkan diri dalam inspirasi atau apa yang dinamakan inspirasi, sehingga tampak pengarang tidak mengontrol diri (atau mungkin mereka sengaja berbuat demikian). 

Apa yang dinamakan pengarang baik tentu saja boleh diperdebatkan, akan tetapi sejarah telah membuktikan adanya pengarang-pengarang yang tak lekang dimakan zaman. Sebagai pembaca, kita tidak perlu tahu terlalu banyak mengenai cara kerja mereka. Pembaca lebih banyak berurusan dengan hasil kerja mereka. Apakah mereka membiarkan diri mereka dibawa oleh inspirasi tanpa memperhatikan rambu-rambu logika cerita, adalah tanggung jawab pengarangnya sendiri. Dan sebagai pembaca kita dapat melihat, bahwa pengarang-pengarang yang tak lekang dimakan oleh zaman tersebut hanya menulis kata-kata yang memang perlu ditulis. Tulisan mereka maton, tidak "simpang siur", tidak "semrawut", dan jalur pemikiran mereka jelas. 

Memang akhirnya semua kembali pada pengarangnya sendiri. Pengarang bebas untuk memilih cara kerja apa pun dan bebas untuk berbuat apa pun dalam menulis, sebab penilaian pembaca akhirnya akan tertuju pada hasil kerja pengarang. Namun demikian, kadang-kadang perlu diragukan kejernihan pikiran pengarang yang membiarkan dirinya dibawa oleh inspirasi atau apa yang dinamakan inspirasi, tanpa insting untuk tidak terjebak oleh kekalutan cerita. Kejernihan pikiran sangat diperlukan oleh proses kreatif. Cerita-cerita Hemingway yang nampak sederhana membayangkan betapa jernih pikiran Hemingway. 

Dengan data-data yang terbatas dan kurun waktu penilaian yang sangat pendek (waktu sepuluh-lima belas tahun dalam perkembangan sastra adalah waktu yang singkat, apalagi dalam sastra suatu bangsa yang sudah mempunyai tradisi kesusastraan yang sangat lama) memang sulit kita menyatakan pendapat. Dan sulit juga kita menyatakan apakah gejala semacam ini merupakan gejala umum yang terjadi di mana-mana. Meskipun demikian kita merasakan, bahwa gejala semacam ini pun terjadi di Indonesia. Ada juga cerita-cerita Indonesia masa kini yang ditulis oleh pengarangnya dengan jalan membiarkan dirinya dibawa hanyut oleh inspirasi atau apa yang dinamakan inspirasi. Meskipun keadaannya berbeda, hasilnya kurang-lebih setali tiga uang dengan apa yang terjadi dalam sastra Amerika masa kini. Dengan adanya kenyataan ini tidak berarti bahwa sastra Indonesia memerlukan pengarang-pengarang yang lebih berdisiplin, yang mempunyai insting penguasaan diri, yang menulis dengan kejernihan pikiran. Pembaca yang baik tidak membaca untuk melayani kesenangan pengarang yang bermain-main dengan inspirasi atau apa yang dinamakan inspirasi. Untuk membaca Sesuatu yang seharusnya dapat ditulis dalam dua halaman, pembaca tidak perlu membiarkan dirinya diajak membaca sembilan puluh halaman. Dan pembaca yang baik akan menuntut jalan pikiran pengarang yang jernih, dan dia tahu apakah jalan pikiran pengarang jernih ataukah kurang jernih. 

1974
MARI BERBAGI:
Editor

TAMBAHKAN KOMENTAR

5700840368070671462