BLANTERVIO103

Komunitas Penyair Jepang setelah Perang - Abdul Hadi WM

Komunitas Penyair Jepang setelah Perang - Abdul Hadi WM
3/31/2020
Komunitas Penyair Jepang setelah Perang
oleh Abdul Hadi WM
Komunitas Penyair Jepang setelah Perang - Abdul Hadi WM

SASTRADUNIA.COM | Tanda kebangkitan kembali puisi sesudah perang tampak ketika beberapa komunitas atau grup penyair muncul, memanfaatkan momentum yang tersedia. Komunitas-komunitas penyair ini memiliki corak gerakan masing-masing, dan sangat menentukan perkembangan puisi Jepang sesudah perang. Di antaranya komunitas-komunitas yang telah ada sebelum perang kembali. Sedangkan komunitas-komunitas baru muncul bukan tanpa akar gerakan sastra sebelumnya. Komunitas-komunitas ini di samping melakukan diskusi-diskusi kelompok secara intensif, dan menyelenggarakan semacam kelas-kelas puisi, juga menerbitkan majalah sastra bulanan dan antologi puisi tahunan. Kegiatan semacam ini terus berlangsung di Jepang sampai sekarang, dan beberapa komunitas penyair memiliki anggota sampai ratusan orang, yang terdiri dari para sarjana, peminat sastra dan editor di samping sejumlah penyair.

Arechi (Tanah Gersang)
Komunitas penyair pertama yang muncul ialah Arechi (Tanah Gersang) yang dibentuk pada tahun 1947. Nama komunitas ini diambil dari kumpulan puisi T.S. Eliot "The Waste Land" yang terbit pada tahun 1922. Walaupun demikian, secara spiritual mereka lebih banyak oleh pendukung-pendukungnya hidup dipengaruhi oleh eksistensialisme Sartre dan Camus, dibanding pemikiran T.S. Eliot. 

Tokoh-tokoh terkemuka dari komunitas ini adalah penyair seperti Ayukawa Nobuo, Miyoshi Toyoichiro, Tamura Ryuichi, Nakagiri Masao, Kitamura Taro, Kihara Koichi dan Kikuo Takano. Rata-rata usia mereka baru dua puluhan ketika mendirikan komunitas itu. Mereka adalah penyair-penyair yang benar-benar merasakan kegetiran perang dan akibat-akibatnya yang menyiksa, karena umumnya mereka dikirim ke front depan sebagai dinas militer. Perang benar-benar membelenggu jiwa mereka, dan bayang-bayang perang selalu muncul dalam puisi-puisi mereka. Setelah perang usai, dan mereka kembali ke tengah kehidupan yang biasa, mereka merasakan betapa gersangnya Jepang masa itu. Segala otoritas sebelumnya menjadi ambruk dalam rerontok, dan karena itu mereka berusaha menolak masa lampau.

Di belakang komunitas ini sebenarnya ada beberapa penyair yang telah aktif pada akhir tahun 1930an di bawah pengaruh T.S. Eliot, namun gerakan ini tidak sempat muncul ke permukaan oleh karena api peperangan segera melanda bumi Jepang. Selain tujuannya menerbitkan majalah, komunitas ini bertujuan pula menerbitkan antologi tahunan, yang merupakan bunga rampai sajak-sajak pilihan para anggotanya. Penerbitan antologi tahunan ini baru terealisir pada tahun 1951 dan berlanjut sampai pada tahun 1958. 

Dalam pengantar antologi tahunan yang pertama, berjudul X e no Kenji (Persembahan kepada X) tercantum kredo bersama penyair Arechi sebagai berikut : 

"Mengungsi dari kehancuran, memprotes terhadap rerontok adalah kehendak kami guna menentang nasib kami, dan juga guna menguji keberadaan kami. Jika ada masa depan bagi kami dan kalian, itu tergantung pada ketidakputusasaan kita terhadap kehidupan masa kini.” 

Penyair-penyair Arechi pada umumnya adalah individualis-individualis. Sajak-sajak mereka eksistensialistis dan intelektualistis, dan selalu berusaha menghindar dari realisme, khususnya sejak munculnya komunitas Retto yang beranggotakan beberapa penyair kiri. Ayukawa Nobue, pendiri utama komunitas Arechi, dengan jelas menunjukkan dalam sajak-sajaknya watak yang dihendaki komunitas ini. Ia telah menulis sebelum perang, namun karena harus menjalani tugas militer, kegiatannya terhenti. Ia pulalah yang aktif menerjemahkan karya-karya T.S. Eliot dan mengapresiasikan kepada kawan-kawannya. Sajak-sajaknya benar-benar berangkat dari pengalaman getir selama perang dan pendudukan tentara Amerika. Penglihatannya, bahwa Jepang adalah tanah gersang, tampak dengan nyata dalam sajak-sajaknya yang intelektualistis:

Inginmu minggat ke tempat jauh
Nembus hujan lebat
Meninggalkan kota yang menyiksa
Dan mencari lindungan ajal
Kala punggungmu yang basah kujamah
Kota berubah jadi bandar
Dan bau amis ikan mentah menerkam malam
Bayang-bayang hitam malam merapat ke dermaga
Moncong meriam menganga seperti nyawa rindu pulang

Tapi nada sajak Ayukawa Nobuo tidaklah seputusasa nada sajak-sajak Tamura Ryuichi, penyair Arechi yang kemudian dipandang paling menonjol dan produktif. Riwayat hidupnya sendiri mencerminkan pasang-surut antara kehancuran dan kebangunan kembali negerinya, dan bahkan riwayat hidupnya itu dipandang identik dengan sejarah Jepang sendiri. Dia lahir ketika gempa bumi Canto menghancurkan hampir separuh kota Tokyo. Gempa inilah yang mengantar Jepang jatuh ke pemerintahan militer yang fasis dan ultra-nasionalistis. Di masa Perang Dunia II dia ditugaskan di front utara dalam angkatan laut, dan menjelang perang usai dia menyaksikan kawan-kawannya menjalankan perintah bunuh diri yang dia sendiri menolaknya. Pengalaman pahitnya ini selalu lengket dalam pikirannya, dan terbawa dalam sajak-sajaknya yang penuh kegetiran dan senantiasa membayangkan kegelapan. Sekalipun begitu, ada semangat profetik dalam sajak-sajaknya, dan berbeda dengan kawan-kawannya, dia banyak menggali unsur sastra tradisi sebelum zaman Budha. Pengaruh Hagiwara Sakutaro juga terasa dalam sajak-sajaknya. Jepang modern dia lukiskan sebagai berikut :

bayi-bayi berlahiran
anak-anak, budak-budak dari budak
gadis-gadis, mesin menciptakan budak-budak
sekalipun begitu
aku ingin mencintainya

Ketika Perang Korea pecah, seorang penyair sebelum perang, Katsue Kitasono, menghidupkan kembali komunitas VOU. Sedangkan Kusano Shinpei mendirikan lagi komunitasnya Riketei, dan Kitagawa Fuyuhiko menghidupkan lagi komunitas Jikan. Komunitas-komunitas ini telah ada sebelum perang, dan banyak membina penyair-penyair muda yang beberapa di antaranya kemudian menjadi penyair terkemuka. Namun karena komunitas-komunitas ini tidak bisa melanjutkan kegiatannya seperti komunitas Arechi, maka ketiga komunitas ini pada tahun 1949 bergabung menjadi satu dan membentuk Nibon Gendai Shijin Kai (Masyarakat Penyair Modern Jepang) tanpa komitmen ideologi apa pun. 

Retto (Kepulauan)
Penantang bagi komunitas Arechi muncul pada tahun 1952, ketika sebuah komunitas penyair yang menamakan dirinya Retto (Kepulauan) muncul. Para penyair Retto adalah penerus gerakan realisme sosial yang telah ada sebelum perang, dan para pendukungnya kebanyakan adalah penyair-penyair sayap kiri. Tujuan mereka menulis puisi protes, dan di antara tokohnya yang terkenal adalah penyair Toge Sankichi. Penyair Retto lain yang terkenal ialah Hiroshi Sekine, yang ingin membuktikan bahwa puisi yang ideologis bisa berhasil apabila dipadukan dengan kemampuan puitik yang tinggi, atau tidak meninggalkan estetika. 

Di samping majalah puisi yang diterbitkan oleh kelompok Arechi dan Retto, ada lagi sebuah majalah penting yang memunculkan banyak penyair muda terkemuka pada waktu itu. Majalah tersebut adalah majalah Gala, yang diterbitkan oleh penyair sebelum perang Katsue Kitasono. Katsue Kitasono dengan komunitasnya VOU telah banyak membina penyair muda, yang di antaranya kelak kemudian menjadi terkemuka, seperti misalnya Tanikawa Shuntaro dan Kazuko Shiraishi. 

Kai (Dayung)
Setelah Arechi dan Retto, komunitas baru yang muncul adalah Kai (Dayung). Komunitas ini didirikan oleh penyair-penyair muda seperti Tanikawa Shuntaro, Kawasaki Hiroshi, Noriko Ibaragi, Ooka Makoto dan Yoshino Hiroshi. Para penyair Kai ini pada umumnya menulis puisi-puisi lirik dengan kecenderungan intelektual. Berbeda dengan kedua komunitas terdahulu, para penyair Kai sangat bangga akan tradisi dan semangat Jepang. Tokoh utamanya Tanikawa Shuntaro mula-mula penganut realisme, namun menyatakan diri tidak puas kepada realisme karena tidak bisa mengekspresikan dirinya sepenuhnya melalui realisme. Lagi pula panggilan intelektualnya tidak bisa membuatnya terus berkurung dalam pemikiran realis yang dipandangnya sempit. 

Tokoh lain dari komunitas Kai yang penting adalah penyair wanita Noriko Ibaragi. Ia terkemuka karena kritik-kritik sosialnya yang tajam. Sedang penyair berikutnya dari komunitas Kai yang kemudian menonjol adalah Ooka Makoto, yang sajak-sajaknya begitu mempertahankan warna dan semangat Jepang, mengikuti jejak Kotaro Takamura.

Di samping ketiga komunitas ini masih ada komunitas-komunitas penyair lain yang juga cukup penting, dan menentukan perkembangan puisi kontemporer Jepang. Komunitas Han (Luapan) didirikan oleh mahasiswa-mahasiswa Universitas Waseda, dengan pendiri utamanya Horikawa Masami; komunitas Baku (Tapir) didirikan oleh mahasiswa-mahasiswa Universitas Meiji, dan kemudian komunitas Suna (Pasir) yang didirikan oleh mahasiswa-mahasiswa Universitas Keio. 
MARI BERBAGI:
Editor

TAMBAHKAN KOMENTAR

5700840368070671462