BLANTERVIO103

Pengaruh Barat pada Perpuisian Jepang - Abdul Hadi WM

Pengaruh Barat pada Perpuisian Jepang - Abdul Hadi WM
3/31/2020
Pengaruh Barat pada Perpuisian Jepang
oleh Abdul Hadi WM
Pengaruh Barat pada Perpuisian Jepang - Abdul Hadi WM

SASTRADUNIA.COM | Pada awal tahun 1960-an, untuk pertama kalinya sastra Jepang mengalami pengaruh yang hebat dari persajakan Inggris dan Amerika, khususnya dengan diperkenalkannya "Gerakan Puisi Beat" dari Amerika dan Gerakan "Angry Young Men Generation" dari Inggris. Pengaruh gerakan ini antara lain mencapai puncaknya pada penyair wanita paling terkemuka, Kazuko Shiraishi. Sekalipun begitu Kazuko tetap mempertahankan gaya surealis dalam sajak-sajaknya, dan tidak kehilangan semangat Jepang kontemporer. Pada tahun 1967, bersama-sama penyair wanita lain Taeko Tomioka dan Kenneth Rexroth, penyair Amerika, dia memperkenalkan "poetry reading" dengan iringan musik jazz, yang membuat pembacaan sajak mulai dikenal di Jepang. Kazuko tidak saja memenuhi seruan Tanikawa Shuntaro dalam upaya menyebarluaskan cakrawala pengenalan puisi kepada khalayak, namun lebih dari itu ia melangkah lebih jauh lagi. Jejaknya ini diikuti oleh para penyair yang sebaya, maupun penyair-penyair yang lebih muda. 

Akibat dari upaya pemasyarakatan puisi secara luas ini, dan sebagai dampak dari majunya dunia penerbitan, terjadilah apa yang tak terduga pada tahun 1970an. Puisi mengalami ledakan yang luar biasa. Puluhan, bahkan ratusan orang aktif mengambil bagian dalam penulisan puisi. Grup-grup penyair baru bermunculan, begitu pula majalah-majalah puisi dan kelas-kelas atau lingkaran-lingkaran masyarakat puisi. Tentang mengapa banyak orang Jepang menulis puisi, di tengah kemakmuran ekonomi yang dinikmati secara hampir rata itu, Taeko Tomioka memberikan jawaban yang mungkin benar. Katanya, "Oleh karena kami tak punya pekerjaan lain untuk mengemukakan perasaan." 

Sedangkan penyair Ooka Makoto mengatakan, bahwa, sesudah perang orang percaya bahwa puisi bisa merupakan alternatif terhadap ilmu pengetahuan dan agama, yang condong dogmatis. Melalui puisi, katanya, orang berkewajiban membangun kembali kesatuan dan totalitas fundamental bagi pikiran dan tindakan. Tapi, sebenarnya, bisakah demikian? Ooka Makoto mengatakan bahwa puisi memang tak bisa menolong arah sejarah, akan tetapi ada harapan bagi puisi modern untuk mendapatkan perannya dalam masyarakat. Masyarakat dan zaman modern demikian kompleks, manusia memiliki kata-kata, hidup dengan kata-kata, menghidupi kata-kata. Manusia sulit dipisahkan dari kata-kata, sehingga puisi bisa berperan oleh karena puisi selalu berusaha mencari cara dan penggunaan kata-kata yang paling fundamental. 

Mengenai puisi modern Jepang, novelis Yukio Mishima almarhum dalam antologi New Writing In Japan (Penguin Books, 1971) mengatakan antara lain, bahwa, aromanya adalah keputusasaan. Seluruh pemandangan puisi Jepang, katanya, dikuasai oleh rasa tanpa harapan, dingin dan keras menikam seperti belati. Tak ada lagi penyair yang berhubungan dengan suara koto atau kecapi Apollo. Yang ada adalah penyair yang menguakkan kepedihan Masyas yang jiwanya demikian terdera. Ini bisa dilihat misalnya pada sajak-sajak Yoshioka Minoru, Tamura Ryuicihi dan penyair yang lebih muda seperti Kazuko Shiraishi dan lain-lain. Darah yang mengucur dari luka hati dan jiwa mereka, sekalipun demikian, adalah juga darah dari luka yang sama dari para penyair sebelum perang. Bahkan dalam sajak-sajak Tanikawa Shuntaro yang lebih elegan dan bagus, masih terasa luka itu menyembur, walaupun sudah diendapkan lebih ke dalam. 

Dalam bukunya The Burning Heart (kumpulan puisi penyair wanita Jepang, New York, 1977), kritikus wanita terkemuka Ikuko Atsumi mengatakan, bahwa, puisi kontemporer Jepang sangat Post-Modern. Dan sekalipun sudah banyak penyair yang tidak religius lagi, akan tetapi kita masih bisa melihat bayang-bayang Budhisme, khususnya pada penyair wanitanya. Pengaruh Budhisme semakin kuat pula tumbuh di kalangan generasi yang masih muda. 
MARI BERBAGI:
Editor

TAMBAHKAN KOMENTAR

5700840368070671462