BLANTERVIO103

Surat dari Ar-Ramla - Ghassan Kanafani

Surat dari Ar-Ramla - Ghassan Kanafani
11/11/2019
Surat dari Ar-Ramla
oleh Ghassan Kanafani
Surat dari Ar-Ramla - Ghassan Kanafani

SASTRADUNIA.COM | Mereka menyuruh kami berdiri dalam dua barisan di kedua pinggir jalan yang menghubungkan Ar-Ramla dengan Al-Duds, dan memerintahkan mengangkat kedua belah tangan kami ke atas secara berpautan satu sama lain. Dan tatkala salah seorang serdadu Yahudi itu melihat ibuku mencoba meletakkan aku di depannya agar melindungiku dengan bayangannya dari terik matahari Juli, dengan sangat kasar serdadu itu menyentak tanganku dan memerintahkan aku berdiri dengan satu kaki serta memautkan kedua lenganku di atas kepala di tengah jalanan yang berdebu.

Waktu itu aku berumur sembilan tahun. Empat jam yang lalu aku baru sadar menyaksikan bagaimana yahudi-yahudi itu memeriksai perhiasan-perhiasan orang tua dan anak-anak dan menyentakkannya dari mereka dengan sangat kasar. Ada juga serdadu-seradu perempuan yang kecokelat-cokelatan melakukan aksi yang sama, malahan lebih galak lagi. Kulihat juga bagaimana ibuku memandang ke arahku sambil diam-diam menangis, dan saat itu ingin rasanya kukatakan padanya —sekiranya aku bisa— bahwa aku tidak apa-apa dan bahwa terik matahari tidaklah mempengaruhiku sebagaimana yang ia sangka. 

Aku merupakan satu-satunya yang tertinggal baginya. Ayahku telah meninggal setahun sebelum peristiwa itu, dan kakakku telah mereka tangkap sewaktu pertama kali mereka memasuki Ar-Ramla. Aku sendiri tidak tahu persis apa artinya aku ini bagi ibuku, tapi aku tidak bisa membayangkan apa jadinya seandainya aku tidak bersamanya sewaktu tiba di Damaskus untuk menjajakan baginya koran-koran pagi sambil teriak dan kegigilan dekat perhentian-perhentian bis. 

Terik matahari mulai melunglaikan daya tahan pada wanita dan orang-orang tua, dan mulailah di sana-sini terdengar gerutu protes lesu dan pilu. Kulihat wajah-wajah yang biasa kujumpai di jalanan Ar-Ramla yang sempit itu pada memantulkan kesenduan, tapi aku tak dapat menerangkan dengan jelas perasaan yang menggumuliku tatkala seorang perempuan yahudi itu mempermain-mainkan jenggot paman Abu Usman sambil gelak-gelak tertawa. 

Paman Abu Usman bukanlah pamanku. Ia tukang cukur dan tabibnya kota Ar-Ramla. Sejak kami mengenalnya, kami sudah mencintainya dan me manggilnya dengan sebutan paman sebagai penghargaan dan rasa hormat. Ia berdiri di situ sambil mengepit anak bungsunya Fatima, seorang gadis cilik yang melihat perempuan cokelat yahudi itu dengan kedua belah matanya yang besar dan kehitam-hitaman. ” Anakmu?” 

Paman Abu Usman menganggukkan kepala dengan bimbang, tapi kedua matanya memantulkan sebuah dugaan yang kelam dan aneh. Tanpa acuh sedikit pun perempuan yahudi itu mengangkat senapan kecilnya dan mengacungkannya tepat pada kepala Fatima, gadis cilik hitam-manis yang mata kehitamnya selalu memancarkan ketakjuban itu. 

Persis saat itu seorang serdadu yahudi itu lewat di depanku, dan melihat apa yang terjadi segera ia berdiri menghadang penglihatanku. Tapi aku dengar bunyi letusan tiga kali tepat berturut-turut, kemudian baru kulihat wajah paman Abu Usman bergerakgerak penuh kepedihan, dan kulihat kepala Fatima terkulai ke depan serta darah merah menetes jatuh dari rambutnya yang hitam ke atas tanah yang panas kecokelat-cokelatan. 

Sesaat kemudian paman Abu Usman lewat di sampingku, membopong mayat si cilik-manis Fatima dengan kedua belah tangannya yang kurus tua, diam beku dan memandang ke depan dengan ketenangan yang mengerikan. Melewatiku ia sama sekali tidak menoleh, dan kuperhatikan punggungnya yang agak bungkuk, sementara ja melangkah tenang di antara dua jejer barisan sampai pada tikungan yang pertama, Sesudah itu kembali kulihat istrinya yang terduduk di tanah sambil kedua tangannya memegangi kepalanya dan merintih pedih terputus-putus. Seorang serdadu yahudi mendekatinya dan mengisyaratkan agar ia berdiri. Tapi perempuan tua itu tidak berdiri. Ia telah begitu pedih dan putus-asa. 

Kali ini semuanya bisa kulihat dengan jelas. Kulihat dengan mata kepalaku bagaimana serdadu itu menendangnya dengan kakinya, dan bagaimana perempuan tua itu jatuh terlentang dengan wajah berdarah. Kemudian kulihat — jelas sekali — serdadu itu menodongkan moncong senapannya pada dada si perempuan tua dan melepaskan satu kali tembakan. 

Berikutnya serdadu itu mendekatiku, dan dengan tenang sekali menyuruhku mengangkat kakiku, yang tanpa kurasa telah kuturunkan ke tanah. Dan tatkala kuangkat kakiku dengan agak enggan, ditempelengnya aku dua kali dan kemudian menggosokkan tangannya yang kena darah mulutku ke bajuku. Kurasakan perih sekali, dan kulihat ibuku di situ di antara para wanita mengisak diam-diam sambil mengangkat kedua tangannya ke atas. Tapi saat itu terdengar ia tertawa kecil di antara isakannya, dan kurasakan kakiku seperti membengkak oleh berat tubuhku, serta nyeri yang amat sangat seperti hendak mematahkan pahaku. Namun aku tertawa juga dan ingin sekiranya aku bisa lari ke arah ibuku dan mengatakan padanya, bahwa aku tak merasa sakit benar oleh dua kali tempelengan itu. Bahwa aku baik-baik saja dan memintanya agar jangan menangis, serta berlaku seperti yang dilakukan Abu Usman beberapa saat yang lalu. 

Pikiranku terputus tatkala Abu Usman lewat dari arah depanku sekembalinya menguburkan Fatima. Tatkala ia cepat melewatiku, ia tak menoleh sedikit pun. Kuingat bahwa mereka telah membunuh istrinya, dan bahwa sekarang ia harus menghadapi musibah baru. Kuikuti dengan mataku antara kasihan dan agak takut-takut, sampai ia kembali ke tempatnya semula, berdiri sebentar dengan punggungnya yang bungkuk dan basah oleh keringat. Tapi dapat kugambarkan wajahnya: diam beku, dengan butiran-butiran keringat yang berkilauan. Kemudian ia membungkuk mengangkat mayat istrinya dengan kedua lengannya yang kurus tua, perempuan yang seringkali kulihat duduk-duduk di depan kedai suaminya menunggu selesainya makan siang lelaki itu dan untuk kemudian membawa pulang kembali piring-piringnya yang telah kosong. Segera kemudian ia lewat lagi dekatku untuk ketiga kalinya, terengah-engah dengan butiran-butiran peluh jidatnya yang keriput dan cepat melewatiku tanpa menoleh. Sekali lagi kuperhatikan punggungnya yang bungkuk basah oleh keringat, sementara ia berjalan tenang di antara dua barisan kami. 

Orang-orang telah berhenti menangis. Para wanita dan orang-orang tua pada diam mencekam. Seakan-akan kenangan tentang Abu Usman telah merasuk menggerogoti tulang-tulang mereka. Kenang-kenangan kecil yang biasa mereka dengar dari lelaki itu tiap kali mereka bercukur, yang di sini ini seperti telah membentuk suatu dunia tersendiri dalam diri setiap orang. Kenangan-kenangan yang seakan-akan telah menyeruduk dan mendongkel tulang-tulang mereka. "

Abu Usman selamanya seorang yang gampang dan dicintai orang. Ia percaya pada siapa saja, terlebih-lebih pada dirinya sendiri. Hidupnya ia mulai dari nol. Tatkala perlawanan Jabal An-Nar melemparkannya pindah ke Ar-Ramla ia telah kehilangan segala-galanya, dan memulai lagi hidupnya dari bahwah seorang yang baik-baik, seperti tanaman hijau di tanah Ar-Ramla yang subur, dan mulai memperoleh kepercayaan dan kecintaan orang-orang. Waktu perang Palestina mulai berkecamuk, ia menjuali segala apa yang ia miliki, membelikannya senjata dan membagi-bagikannya di antara sanak saudaranya untuk menunaikan tugas dalam pertempuran. Kedainya telah berubah menjadi gudang mesiu dan senjata, dan ia tidak minta sepeser pun untuk pengorbanan itu. Apa yang ia minta hanyalah ingin dikuburkan di kuburan Ar-Ramia yang bagus itu, yang dirindangi oleh pohon-pohon besar. Ini saja yang ia inginkan. Dan tiap orang di Ar-Ramla tahu bahwa Abu Usman ingin dikuburkan di situ kalau nanti ia mati. 

Hal-hal kecil inilah yang telah mencekam bisu Orang-orang. Wajah-wajah mereka yang basah oleh keringat jadi memberat oleh kenangan tersebut. Kulihat ibuku berdiri di situ dengan tangan terangkat ke atas, menegakkan tubuhnya seakan-akan baru sekarang ia berdiri, sambil mengikuti Abu Usman dengan pandangannya, diam beku seperti seonggok timah. Kualihkan lagi mataku ke kejauhan, dan kulihat Abu Usman berdiri ditentang seorang serdadu yahudi, mengatakan sesuatu sambil menunjuk dengan tangannya ke arah kedainya. Segera kemudian ia berjalan sendiri ke arah kedai itu, kembali dengan kain putih membungkus mayat istrinya dan melanjutkan langkahnya ke arah kuburan. 

Kemudian kutampak ia kembali dari kejauhan. Langkah-langkah berat, punggungnya bungkuk dan kedua lengannya terkulai layu. Relan-pelan ia melangkah tambah dekat ke arahku, tampak lebih tua lagi dari sebelum itu, penuh berdebu dan terengah-engah panjang, serta dadanya penuh bercak-bercak darah bercampur tanah. Waktu melewatiku ia menoleh dan melihatku seperti baru pertama kali ia lewat di situ, berdiri di tengah jalanan di bawah terik matahari Juli yang membakar, berdebu dan basah oleh keringat, dan bibir terkulai luka dengan darah yang membeku. Lama ia memandangiku sambil terengah-engah. Pada kedua matanya terpantul makna banyak sekali yang tak bisa kupahami, tapi bisa kurasakan. Segera sesudah itu ia melanjutkan langkahnya, pelan terengah-engah dan berdebu. Berhenti di tempatnya, memutar wajahnya ke arah jalanan dan mengangkat tangannya secara berpautan ke atas. 

Orang-orang tidak bisa menguburkan Abu Usman sebagaimana yang ia inginkan. Karena tatkala ia pergi memasuki kamar pimpinan serdadu-serdadu yahudi itu untuk mengakui dan membukakan apa yang ia ketahui, tiba-tiba orang dikejutkan oleh ledakan yang sangat dahsyat menghancurkan gedung itu, dan bertaburanlah kepingan-kepingan Abu Usman di antara puing-puing reruntuhan. 

Orang-orang mengatakan kepada ibuku, sementara ia membawaku melintasi pegunungan ke arah Jordan, bahwa tatkala Abu Usman pergi ke kedainya sebelum menguburkan istrinya, ia tidak hanya membawa serta kain putih itu saja. 

Damaskus, 1956

-Penerjemah: M. Fudoli Zaini
MARI BERBAGI:
Editor

TAMBAHKAN KOMENTAR

5700840368070671462