BLANTERVIO103

Pengarang, Kritik dan Kritikus - Wilson Nadeak

Pengarang, Kritik dan Kritikus - Wilson Nadeak
11/05/2019
Pengarang, Kritik dan Kritikus
Oleh Wilson Nadeak
Pengarang, Kritik dan Kritikus - Wilson Nadeak

SASTRADUNIA.COM | Entah karena apa, tokoh eksistensialis Sartre, Camus dan beberapa orang lainnya senang berbicara mengenai karya-karya Franz Kafka, di sebuah flat di Paris sekitar tahun empat puluhan. Kafka sendiri pada masa hidupnya merasa kecewa atas hasil karyanya. Ia merasa dirinya seorang yang malang. Menjelang ajalnya tiba ia menulis sepucuk surat kepada sahabatnya, seorang novelis yang bernama Max Brod seperti berikut, Sahabatku Max yang baik,” tulisnya, "permohonanku yang terakhir ialah supaya semua karya-karyaku sepeninggalku (apakah itu terdapat dalam bentuk buku, gambar-gambar yang terdapat di kamarku, di kantor dan di mana pun terdapat) begitu juga buku catatan, naskah-naskah serta surat-surat, yang tertinggal padaku atau pada orang lain, yang sudah siap maupun yang masih dalam bentuk naskah atau kerangka-kasar yang mungkin ada padamu, jika dapat mengambilnya atas namaku — bakar sajalah supaya jangan terbaca lagi. Yang ada pada orang lain minta saja supaya mereka bakar sendiri.” Termasuk antara naskah-naskahnya itu ialah alegori-alegori, kisah-kisah, yang berjudul "The Great Wall” ”The Castle” "The Trial” dan ”America”, Permintaan ini dipertimbangkan sahabatnya ini dengan matang. Kalau saja dituruti, maka karya-karya yang dimaksudkan di atas barangkali tidak akan masuk lagi ke dalam khazanah kesusasteraan dunia. Kafka telah menjadi kritikus-algojo bagi karya-karyanya. 

Ada kegelisahan, keresahan yang mengendap dalam diri pengarang ini. Ia tidak lagi merasa puas atas apa yang dihasilkannya. Ia merasa dirinya belum berhasil mengungkapkan gejolak batinnya. Sesuatu yang mungkin tidak dapat dipahami kritikus pada zamannya, kecuali dirinya sendiri! Apa yang diungkapkannya tidak dapat dipahami oleh orang-orang pada zamannya, atau disalahmengarti. Dalam hal ini, pengarang telah melampaui zamannya. Itulah makanya kemudian tokoh-tokoh eksistensialis di atas (di bidang sastra) menelaah karya-karyanya, karena masalah yang diungkapkannya relevan dengan masa kini. 

Tidak boleh tidak, bahwa pada suatu saat tertentu seorang pengarang juga menjadi kritikus yang tidak puas atas karyanya sendiri. Juga memasang kuping atas kritik orang lain atas naskahnya, dan atas kritik yang demikian pun dia bersikap kritis. Tidak mengherankan apabila pada suatu ketika pengarang Gerson Poyk (orang Indonesia) bersibuk diri ”meluruskan” arah kritik yang pernah diarahkan atas karya-karyanya. "Tidak harus menunggu orang lain memberikan 'pembelaan' atas karyanya,” kira-kira demikian kesan orang yang menyederhanakan segala sesuatu masalah dengan dalih bahwa pengarang tugasnya hanya mengarang saja. Sikap yang diambil Gerson tidak selalu ditanggapi sebagai suatu sikap 'rasa tersinggung atau rasa dipermalukan” sebab masalah pengarang tidaklah sesepele itu, soal karya-karya adalah so al sastra itu sendiri. Karena pengarang juga adalah 'pengkritik pertama atas karyanya, maka dia berhak memberi jawab atasnya (bukankah pengarang itu adalah manusia biasa, yang menulis karena ada sesuatu yang mendorong dari kehidupan ini, dan bukan pula seorang ”nabi” yang menyerahkan "pesan” dari surga kepada manusia? Bukankah karya-sastra itu kelahiran dari sejenis proses-kreatif) 

Karena adanya pengalaman batiniah sang pengarang, maka seorang kritikus pun tidaklah berhenti pada meja operasi seputar teknik dan semacamnya. Lebih daripada itu, dituntut dari sebuah kritik ... tanggung jawab! (sering penulis kritik sastra kita bertingkah angkuh seolah-olah tahu segala-galanya, padahal tidak membaca apa yang dikritiknya! Atau hanya memakai metode yang dipelajari dari buku lalu diterapkan atas karya yang tidak pernah menyentuh batiniahnya). 

Pamela Frankau, seorang novelis wanita yang telah menulis berpuluh-puluh buku menghadapi pertanyaan yang berikut: 

”Anda penulis yang committed, bukan?” ”Tidak.” Mengapa anda menulis purgatori dalam kisah Anda?” 

”Aku adalah diriku, dan keyakinanku adalah sebagian daripada diriku. Kebenaran yang kutahu itulah sebagian daripadaku, sebagaimana juga aku bersikap demikian terhadap bidang kehidupan lainnya!” 

Nah, dalam hal ini kritik yang dimajukan adalah kritik yang sudah berprasangka, sejenis penyakit phobia. Sastra tidak boleh diasingkan dari segala fase kehidupan itu sendiri, sejauh dia tidak menyimpang dari konteks masalah, pengarang tidak boleh di larang menghayati keyakinannya. Lebih beraneka-ragam penghayatan pengarang atas kehidupan ini, akan lebih kaya pengetahuan batiniah kita dibuatnya. Maka, seorang yang menjelajahi dunia kritik harus lapang dadanya (setelah lebih dahulu luas pikiran nya, pandangan dan pengetahuan!). 

”Soalnya,” kata Erskine Caldwell, "Saya bukan benci kritik, tetapi saya lebih mengetahui apa yang telah kutulis dan kutulis kembali, daripada editor,” katanya. Ia menulis dan menulis kembali karyanya sampai 20 kali. (Sekadar relaks: Ada seorang pengarang di Amerika, tulisannya selalu ditolak. Tidak per nah tidak ditolak. Semua ditolak. Ketika ditanyakan kepada redaktur budaya di surat kabar itu, dan kemudian diperiksa kembali, ternyata naskahnya jatuh kebagian 'pemulangan' naskah. Orang yang bertugas di bidang 'pemulangan naskah' ini dengan tekun dan setia mengembalikan naskah pengarang tersebut, karena memang demikianlah tugasnya! Wah! Wah!) 

”Penulis-penulis muda terlalu dungu untuk mengikuti teori. Ajarlah dirimu sendiri melalui kesalahan-kesalahan yang pernah kau lakukan, orang belajar dari kesalahan-kesalahan. Seniman yang baik tidak boleh berharap kepada siapa pun yang mungkin dapat memberi nasihat padanya ...... ” kata William Faulkner menjawab pertanyaan wartawan yang diajukan padanya. Ini bukanlah pernyataan perang terhadap teori, dan bukan pula jenis keangkuhan meremehkan kritikus. Bukan. Orang yang dapat membaca yang tersurat dan melihat apa yang tersirat di dalamnya, itulah orang yang bijaksana. Seseorang tidak harus digurui, kendati pun dia seorang guru! Sama halnya sebuah pesan yang disampaikan kepada seorang 'Penasihat? Supaya dalam memberi 'nasihat' dia jangan 'berkata-kata”. Orang arif pasti memahaminya.

Andaikanlah hasil karya sastra itu merupakan hasil inventarisasi emosi, kehendak atau kemauan dan intelek sang pengarang, maka seorang kritikus tidaklah baik berhenti pada satu segi. Ia harus mampu menghayati keseluruhan dan mencoba mengungkapkan kekayaan batin yang ditampilkan pengarangnya. Seorang kritikus bukanlah "'hakim” dan karya sastra ”pesakitan” (pun dalam istilah seni tiada diktator dan mutlak-mutlakan). Wildan Yatim bilang kritikus itu "tukang jegal” hal ini bisa mungkin jika kritikus sendiri tidak berani menukik ke bawah permukaan yang tenang dan "sederhana” dan tidak mampu menjamah kekayaan batin yang diproyeksikan pengarang mungkin karena tingkat pengalaman batin pengkritik belum sampai ke situ. Makna yang termaktub di dalam kata itu tidak terjangkau karena 'ketergesaan?. Betapa pun, pengalaman intensitas harus dijangkau pula demikian. Arief Budiman mengharapkan kritik yang bertolak dari totalitas dengan melemparkan jauh-jauh segala yang ada dalam pemikiran sebelumnya. Hemat kita, orang mencapai tingkat seperti ini harus bergumul lebih dahulu dengan nilai-nilai sehingga nilai-nilai itu sudah menjadi sebagian daripada dirinya, barulah keluar daripadanya. Hal ini menuntut pengetahuan yang luas, disiplin, keterbukaan terhadap segala kemungkinan. Pengarang menerjemahkan kehidupan dan kritikus kemudian menerjemahkan bobotnya. Kedua wajah yang saling berhadapan ini mempunyai jarak tertentu --wibawa. Masalahnya lagi, bagi pengarang-pemikir, masalah istilah teknis tertentu. Misalkan, bagi George Santayana ”Beauty” itu positif sedangkan ”'Moral” itu negatif. Ada sementara pengkritik yang suka menyebut-nyebut humanisme universil” "aesthetic” dan lain sebagainya tanpa memahami maknanya yang sebenarnya, sehingga membaca kritik semacam ini, terutama bagi kaum awam, hanyalah memperkenalkan lagak snob, yang membingungkan. Kesulitannya lagi, pengetahuan referensial orang semacam ini menonjol kekurangannya. Lalu, terpukau pada selera. 

Di beberapa esai tertentu, ada pengkritik (belum mencapai tingkat kadar 'kritikus”) yang latah dengan kutipan. Dari awal sampai akhir dimulai dan ditutup dengan kutipan. Lho, orang jadi bertanya, "Pikiran pengkritiknya, di mana? Di mana pendapatnya?” Orang semacam ini berlindung di balik nama orang lain (dan sering disalahgunakan karena tidak membaca konteks masalah). Kutip-mengutip bukanlah hal yang menjemukan, yang jelek, karena hal ini juga diakui secara ilmiah. Masalahnya ialah, apakah sang pengkritik itu punya landasan pikiran sendiri yang bisa dipertanggungjawabkan, dan kutipan itu hanyalah sekadar pelengkap. Pembaca yang arif akan segera dapat membedakan dua jenis pengolahan semacam ini.

Misalnya, pengkritik itu berkata, "Bacalah majalah anu, itulah yang dikatakan bermutu.” (Artinya, pengkritik ini membaca dan mengetahui isi dari majalah tersebut.) Hal ini berlainan sekali bila kemudian dikutip oleh seseorang, yang lain, yang sama sekali tidak pernah membaca majalah itu. Hanya karena membaca bahwa orang lain mengatakan demikian. Dan jika orang yang dianjurkan membaca majalah itu membaca majalah tersebut dan menemukan yang buruk di dalamnya --sebab tidak selamanya bobotnya tinggi --maka yang buruk itulah dianggapnya baik. Atau berkata, "Karya pengarang anu baik, tirulah dia!” Karya yang mana? Semuakah? Ataukah yang menganjurkan sudahkah membacanya? 

Di sinilah bedanya pengarang dengan kritikus. Seorang pengarang bisa saja tidak membaca karya orang lain, tidak peduli kepada orang lain tetapi berbobot, ada juga pengarang yang membacai semua karya bidang apapun (misalnya Saul Bellow) dan berbobot karena luas pengetahuannya. Tetapi, seorang kritikus atau pengkritik, harus menjadi pembaca yang cermat, luas bidang bacaannya. Tahu betul apa yang diucapkan dan dituliskannya. 

Akhirnya, perlu juga kita renungkan bahwa review harus kita bedakan dengan resensi. Review meminta tanggung jawab yang dalam dan adalah juga masuk dalam kritik-sastra, sedangkan resensi lebih bersifat informatif. Kalau kita bisa bandingkan, opini dengan berita untuk sekedar pendekatan istilah saja. 

Suatu hal yang pasti, bahwa pengarang bukanlah sekadar medium seperti kini digemari di negeri Barat (automatic writing'nya Ruth Montgomery yang berkaitan dengan dunia spiritualisme. Ruth mengetik 15 menit. dalam sehari secara otomatis, tangannya dikendalikan oleh 'roh' pengarang yang sudah almarhum, dan menyelesaikan bukunya dalam waktu 4 bulan, dan kemudian laku keras). Sementara itu, 1lmu 'kutip” yang berupa sinyalemen dan tanda kegenitan atau keangkuhan belaka, tidak akan menolong. Betapapun, kritik beragam tetap diperlukan, diharapkan, tentu saja yang luas pengetahuannya, wawasannya mendalam tidak sekedar ingin ramai-ramai belaka. Kritik yang cuma kutip sana kutip sini pendapat orang lain adalah sejenis. penyakit busung lapar, yang tampaknya besar tetapi kurus. Kritik dan sejenisnya, jika hanya memberitahukan apa yang sudah diketahui orang sama sekali tidak memperkaya jiwa.
MARI BERBAGI:
Editor

TAMBAHKAN KOMENTAR

5700840368070671462