BLANTERVIO103

Kahlil Gibran (1883 – 1931)

Kahlil Gibran (1883 – 1931)
11/13/2019
Kahlil Gibran (1883 – 1931)
Kahlil Gibran (1883 – 1931)

SASTRADUNIA.COM | Kahlil Gibran dilahirkan di Bechari, Libanon, pada tahun 1883 dengan nama asli Jibran Khalil Jibran. Ketika ia berusia dua belas tahun, keluarganya hijrah  ke Amerika Serikat dan tinggal di kota Boston. Gibran dimasukkan ke salah satu sekolah dasar di kota itu. Namun demikian, ia mendesak ibunya, agar mengizinkannya pulang ke Libanon. karena ia ingin bersekolah pada madrasah Al-Hikmat (“Perguruan Kebijaksanaan”) yang masyhur. Keinginannya ini akhirnya dikabulkan juga dan ia dikirim kembali ke Libanon dan menurut ilmu pada madrasah tersebut. Setelah lulus sekolah, Gibran berkelana di tanah airnya sendiri untuk memperdalam pengetahuan tentang kebudayaan nenek moyang atau kebudayaan Timur.

Pada tahun 1902 ia meninggalkan Libanon dan tidak pernah akan kembali lagi. Ia menuju ke Amerika Serikat. di mana ia mulai mengarang dalam bahasa Arab dan melukis. Lukisan-lukisannya untuk pertama kalinya dipamerkan di kota Boston dan pada kesempatan itulah ia bertemu dengan nona Mary Haskell, yang lalu menjadi pendorong untuk melanjutkan pelajaran dalam bidang seni lukis di kota Paris. 

Di tahun 1908 ia masuk Akademi Seni Rupa di kota Paris dan menjadi murid Auguste Rodin selama tiga tahun. Pemahat yang tersohor ini meramalkan bahwa masa depan Gibran akan gemilang. Setelah menyelesaikan pelajarannya, Gibran kembali ke New York City, tempat ia hidup dan berkarya sampai akhir hayatnya pada tahun 1931. Dari sanalah juga, namanya oleh dunia lebih dikenal dalam ejaan Kahlil Gibran daripada Khalil JIbran.

Gibran meninggalkan banyak karya sastra yang kemudian diterjemahkan ke dalam pelbagai bahasa. Karena latar belakang dan pendidikan kosmopolitan. Kahlil Gibran mempelajari, dan kemudian menjadi ahli dalam soal-soal yang menyangkut Timur-Tengah, Eropa dan Amerika. 

Dalam pribadinya Timur dan Barat berpadu dengan gemilang. Karangan-karangannya dalam bahasa Arab memperkenalkan kesederhanaan pengutaraan yang khas Inggris, kebebasan berpikir yang menyegarkan, serta yang sekaligus menuntut perubahan secara terus-terang. 

Gaya dan konsep itu sungguh revolusioner dalam kesusasteraan Arab. Di lain pihak para pembaca karangan-karangannya dalam bahasa Inggris diperkenalkan pada kesusasteraan, adat kekeluargaan, kebijaksanaan dan falsafah Timur Tengah. Sebuah perpaduan yang menakjubkan antara agama Kristen, Islam dan Yahudi serta asal-usul kebudayaan-kebudayaan tersebut. Karya-karyanya kaya akan simbolisme, dan seringkali berisikan curahan emosi yang ter kadang hampir terlampau dalam untuk dapat diutarakan dengan kata-kata. 

Madah-madah Kahlil Gibran memuja bumi, ia mencintai sesamanya, ia mengobarkan api kemerdekaan untuk semua bangsa: "Aku mencintaimu, Saudara,” demikian ditulisnya, "di mana pun kau berada, baik kau berlutut di Gereja, menyembah di Sinagogal ataupun sembahyang dalam Masjid.” 

Esai, sajak dan karangan prosa Gibran ditaburi mutiara-mutiara kebijaksanaan, oleh karena itu karangan karangannya — sekalipun sederhana — luar biasa dan abadi. Sebagai contoh, dalam sebuah kisah cinta ia menulis: 

"Ciuman yang pertama ialah awal lagu kehidupan suatu kata yang diucapkan oleh dua pasang bibir untuk memproklamasikan cinta sebagai raja dan hati sebagai singasananya. Ciuman yang pertama adalah bunga pertama yang merekah pada pohon kehidupan.” 

Mengenai soal memerintah ia menganjurkan, lama sebelum John F. Kennedy mengutip kata-katanya: "Janganlah bertanya, apa yang dapat dilakukan oleh negaramu untukmu, melainkan tanyakanlah apa yang dapat kamu lakukan untuk negaramu.” 

Tentang tiran ia menulis: "Kau dapat mengikat kedua belah tanganku, kau dapat merantai kedua belah kakiku, malahan kau dapat pula melempar aku ke dalam penjara gelap, namun pikiranku tidak dapat kau kuasai, sebab pikiranku bebas.” 

Dalam masa mudanya Kahlil Gibran jatuh cinta kepada seorang gadis cantik, tetapi karena ia seorang pemuda miskin lamarannya ditolak orang tua gadis itu. 

Melalui surat-menyurat di kemudian hari ia jatuh cinta kepada seorang wanita lain, tetapi uangnya tidak cukup dan kesehatannya tidak mengizinkannya untuk menempuh perjalanan ke Libanon untuk dapat menikah dengannya. Kemiskinan yang dideritanya menyebabkan Gibran dua kai gagal dalam percintaan, namun di kemudian hari honor buku-bukunya menghasilkan uang lebih dari dua juta dolar. 

Hidupnya sebagian besar dilewatkan dalam sebuah ruang kerja kecil di tingkat empat di kota New York, tetapi hatinya selalu mendambakan gunung-gunung yang indah di Libanon, tanah tumpah darahnya. Tanah Libonon digambarkannya sebagai berikut: 

"Untuk para penyair Barat, Libanon adalah sebuah negeri idaman yang berhenti memegang peranan dengan berakhirnya riwayat raja Daud, Sulaiman dan para nabi — kurang lebih sama halnya seperti Taman Firdaus sesudah jatuhnya Adam dan Hawa, Libanon adalah sebuah pengertian puitis dan bukannya sekadar nama sebuah gunung.” 

Ia menulis pula: "Musim semi di mana-mana indah, tetapi musim semi di Libanon lebih indah daripada indah. Musim semi sana ialah roh dewa yang mengembara di dunia, yang pada saat tiba di Libanon berhenti untuk istirahat karena telah bertemu dengan roh para sinagoga (gedung ibadah agama Yahudi) Nabi dan Raja yang melayang di atas negeri ini, yang bersama sungai-sungai di Yudea melagukan madah-madah Sulaiman sambil mengenang kembali kekayaan masa lalu bersama dengan pohon-pohon sedar Libanon.” 

Jasad Kahlil Gibran kini terbaring di bawah naungan pohon-pohon Sedar Suci, rohnya — sebagaimana ia telah melukiskan musim semi di Libanon — melayang dan menyanyikan lagu ciptaannya sendiri: 
"Air sungai akan tetap mengalir ke laut, walaupun ada rintangan apa pun!”
MARI BERBAGI:
Editor

TAMBAHKAN KOMENTAR

5700840368070671462