DUKA DI KOTA
Mereka sedih:
Juga dahan-dahan pohonan,
Jendela-jendela di kedua tepi jalan,
Tetesan hujan, air mata,
Yang jatuh,
Dalam arus sepi.
Burung-burung dara sedih karena sarang-sarang mereka:
Bagi langit mereka awan-awan. membisu
Duka menggembungkan layar-layar
Namun tak seorang pun meratap
Kapal, dermaga dan teratak terpencil:
Tak seorang pun meratapi kuburan-kuburan, menegakkan
punggung.
Adakah kesedihan telah. mengilhami bayi-bayi mungil itu
Untuk menangis begitu tenang dan tanpa sosok?
Mereka sedih.
Juga angin pagi musim gugur
Yang bertiup dari rahim musim,
Tanpa alasan alami
Mengapa darah mesti membeku:
Namun sebuah jeritan di wajah nasib terdengar:
Tuhanku, ini tak tertahankan!
Mereka sedih.
Warna matahari terbit:
Mereka tak punya daya:
Mereka tak dapat menyepuh padang-padang
Atau mencoreng puncak-puncak pohon palma.
Mereka sedih, aku tahu.
Matahari terbenam menggulung
Tak dapat melilit di jalanan petang
Atau berpadu di waktu sore
Buat mencium pipi sungai.
Mereka sedih.
Anting-anting jagung begitu pucat:
Burung bulbul:
Mereka tak bisa bangkit
Cangkul, bajak, sabit.
Mereka sedih.
Patung-patung pabrik.
Menara-menara masjid,
Angin dan taman dan laporan meriam.
Mereka sedih.
Juga senapan-senapan yang kokoh
Tergenggam tangan para pahlawan di parit-parit:
Juga kembang-kembang anggrek,
Nyanyian di bibir anak-anak,
Bunga narsis dan tulip.
Dan serambi luas itu
Membentuk kerutan kening asing,
Mengerang dan merintih,
Sebab ia akan tenggelam
Dalam air mata yang mengalir
Turun dalam rahasia.
Duka memiliki kuku-kuku jari hitam
Dan cakar-cakar berdarah.
Ya Tuhan! Jika ia meninggalkan kami sendiri.
Begitu sedih dan malang,
Membisu dan membingungkan,
Dan penduduk di kota
Tak bisa memikirkan apa-apa
Kecuali diam,
Dalam malam gelap tanpa bulan.
Mereka sedih.
: Tulang rusuk batu.
Nadi-nadi pohonan
Kesedihan lebih manusiawi kini
Dari hati manusia.
Penerjemah: Abdul Hadi W.M.
