BLANTERVIO103

Elitisme dalam Sastra Sangat Berbahaya - Anwar Ridwan

Elitisme dalam Sastra Sangat Berbahaya - Anwar Ridwan
9/24/2019
Elitisme dalam Sastra Sangat Berbahaya
oleh Anwar Ridwan*
Elitisme dalam Sastra Sangat Berbahaya - Anwar Ridwan

SASTRADUNIA.COM | Sastrawan, karya dan pembacanya adalah tiga unsur yang saling berkaitan. Pendapat tentang kaitan akrab unsur-unsur ini, sama tuanya dengan pendapat Plato. 

Dalam hal kesusastraan Malaysia modern, sebagaimana juga kesusastraan negara-negara lain, hubungan sastrawan-karya-pembaca turut ditentukan oleh sejarah sosial, budaya dan politik. Sejak kemerdekaan Malaysia dalam tahun 1957, pengaruh bahasa Inggris, yaitu bahasa penjajah yang sudah ratusan tahun berakar dalam pemerintahan dan pergaulan orang-orang elit, mulai dikurangi dengan cara memperkuat dan memperluas penggunaan bahasa Malaysia.

Dalam proses nasionalisasi ini, saya berpendapat bahwa periode antara tahun 1969 hingga 1983 adalah tempo yang penting dalam pembinaan kebudayaan modern bangsa Malaysia. Selepas kerusuhan kaum (rasial) 1969 yang memalukan dan memilukan itu berbagai pihak melakukan introspeksi. Namun introspeksi pihak kerajaanlah yang nampaknya amat menyeluruh, dengan menghasilkan beberapa dasar nasional, untuk menyeimbangkan dan mengeratkan lagi perpaduan antara kaum. Tahun 1983 menjadi tahun penting karena mulai tahun tersebut semua universitas di Malaysia menggunakan bahasa Malaysia sebagai bahasa pengantar, melengkapi Dasar Pelajaran Kebangsaan yang mengutamakan bahasa Malaysia dari peringkat rendah hingga ke universitas. 

Latar belakang sosial dan politik di atas perlu dicatat di sini karena akan ada pengaruhnya terhadap para pengarang, bahasa yang mereka gunakan dalam karya dan pembacanya. 

Pada umumnya, para pengarang Malaysia terdidik dalam bahasa Malaysia dan bahasa Inggris, atau kedua-duanya. Pilihan bahasa yang mereka gunakan dalam karya akan menggambarkan pembaca karya mereka yang sebenarnya, atau lebih tepat golongan pembaca yang mereka (sastrawan) harapkan. 

Sesudah tahun 1983, satu kesimpulan yang dapat diambil berhubung dengan persoalan ini ialah bahwa jumlah warganegara yang mahir dalam bahasa Malaysia akan dapat mengatasi jumlah mereka yang menguasai bahasa Inggris di banding dengan masa sebelum 1983. Dengan itu juga, golongan elit yang dahulu hanya menguasai bahasa Inggris, menerima 'ahli-ahli baru' dari kalangan yang menguasai bahasa Malaysia, yaitu golongan baru yang muncul dengan agak mendadak, yang segera dapat menyerap gaya hidup kelas menengah dan tinggi. 

Sepanjang yang berhubungan dengan kesusastraan, golongan elit di Malaysia belum boleh dibanggakan sebagai golongan yang gemar membaca. Memang benar, sebagian kecil dari mereka dapat dianggap sebagai 'ulat buku' (kutu buku) , tetapi kebanyakan mereka, yang kehidupan sehari-harinya dikungkung oleh lambang dan status sosial, hanya bergerak dalam kungkungan kemewahan (dan kadangkala keangkuhan). Dalam keadaan seperti ini, di mana pemujaan terhadap bahasa Inggris masih tetap hidup, maka saya meragukan bahwa sebagian besar di antara mereka turut membaca puisi Inggris oleh penyair Malaysia, katakanlah puisi-puisi Cecil Rajendra dan lain sebagainya.

Karya-karya Inggris oleh sastrawan-sastrawan ' Malaysia sebenarnya sudah lama berada di bawah bayang-bayang kesusastraan Inggris. Betapa pun sastrawan-sastrawan ini bekerja keras, atau mencoba membawanya ke hadapan pihak-pihak tertentu, saya tetap berpendapat bahwa mereka belum dapat menembus 'lingkaran setan' itu. Keadaan ini menyebabkan karya-karya Inggris oleh pengarang Malaysia hampir tidak dikenal (baca: hampir tanpa pembaca), tetapi karya-karya seperti The Delta Star (Joseph Wambough), Anciet Evening (Norma Mailer), Lace (Shirley Conran), Celebrity (Thomas Thompson) Floating Dragon (Peter Straub), Hollywood Wives (Jackie Collins) dan lain sebagainya mendapat sambutan yang menggembirakan, walaupun kebanyakan karya seperti menuturkan kekejaman san seks secara terang-terangan. 

Budaya kesusastraan seperti itu membuat saya berkeyakinan bahwa jika pengarang Malaysia ingin berkarya, maka karya dalam bahasa Malaysia akan mendapat lebih banyak pembaca. Pembacanya bukan satu bangsa saja, juga dari kaum-kaum (ras) yang lain. Suatu sikap elitisme pengarang dan seniman Malaysia sangar membahayakan, karena “elitisme' lebih merupakan istilah sosial daripada istilah kesusastraan dan seni. Semakin elitis suatu karya, semakin kecillah pembacanya, yaitu pembaca terpilih di kota-kota, padahal pengucapan atau karya seniman, pada hemat saya, sepatutnya dapat dinikmati serta dihayati oleh kebanyakan anggota masyarakat. 

Pelajar-pelajar Malaysia sebagai anggota masyarakat yang muda mulai diberikan pendidikan kesusastraan sejak di tingkat sekolah menengah rendah. Pendidikan kesusastraannya berkembang hingga ke tingkat menengah, dan jika mereka mau, boleh meneruskan ke tingkat universitas. Di tingkat menengah mereka diperkenalkan kepada karya-karya pengarang Malaysia, di tingkat yang lebih tinggi diperkenalkan kepada karya sastra negara tetangga, sastra Afro-Asia, sastra dunia. 

Keadaan di atas menggambarkan suatu perkembangan sastra nasional yang menggembirakan, sebagaimana juga penerbitan karyanya. Sepanjang tahun Jalu (1984) setiap bulan tersiar kira-kira 77 cerita pendek, 220 puisi, satu naskah drama dan dua novel yang diterbitkan dalam koran, majalah atau buku bahasa Malaysia. Jumlah ini amatlah besar jika dibandingkan dengan jumlah-jumlah karya-karya Inggris oleh sastrawan-sastrawan Malaysia.

***
Tadi saya sebutkan bahwa pengucapan atau karya seniman sepatutnya dapat dinikmati serta dihayati oleh kebanyakan anggota masyarakat. Dengan memberikan keutamaan kepada massa, tidaklah berarti bahwa nilai-nilai seni terpaksa dikorbankan. Hanya sastra lisan yang dapat berkompromi dengan penggemarnya, yang suatu saat merendah kepada tuntutan pendengar karena reaksi antara penutur dan pendengar adalah spontan. Apabila karya sastra sudah ditulis seperti di zaman tradisional, atau dicetak seperti di zaman modem ini, pada hemat saya seperti yang telah dan sedang saya alami pengarang tidak sekali-kali merendahkan mutu karyanya semata-mata karena ANGGAPAN bahwa masyarakat tidak mempunyai citarasa yang tinggi dalam bidang kesusastraan dan kebudayaan. 

Hal utama yang harus diingat apabila kita mengutamakan masyarakat dalam penciptaan karya kita, ialah tema karya itu sendiri. Temanya tidak muncul dari suatu vakum atau kita turunkan dari bulan dan bintang. Tema karya harus sesuatu yang kontekstual, yang ada hubungan langsung dengan, sejarah, hati nurani, impian dan harapan mereka, kita semua. 

Dalam kesusastraan, pada hemat saya tema berperanan seperti "benang gaib” yang menghubungkan keragaman pengalaman pengarang dengan keaneka-ragaman pengalaman pembaca. “Teknik-teknik yang lain (kalau dalam cerpen, novel atau drama) — seperti plot, gaya bahasa, latar, perwatakan dan sudut pandangan, membantu memberi makna tema itu, dan pengarang wajib mengolah teknik-teknik Itu sebaik mungkin dalam usaha menghasilkan karya yang bermutu tinggi. Kesenimanan seseorang diukur melalui kebolehannya menghasilkan kekayaan pengalaman intelektual yang benar melalui hasil karya yang indah. Kualitas inilah yang membedakannya dengan masyarakat karena inilah kualitas 'kenabian” para seniman. 

Kesusastraan, sebagaimana juga manusia, terus berhadapan dengan tantangan-tantangan budaya dan ideologi. Ideologi atau aliran falsafah terus muncul, dan para pengarang harus mengambil sikapnya tersendiri berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang tertentu. 

Budaya populer memang suatu 'wabah' modern yang amat cepat menular, sebahagian besarnya disebarkan oleh sistem komunikasi dan media yang revolusioner. Pengarang perlu teliti menghadapi tantangan budaya populer ini, karena soal penting dalam budaya adalah nilai-nilai kemanusiaan yang mulia, Menurut John Cowper Powys "Kebudayaan tanpa nilai-nilai kemanusiaan yang mulia mempunyai dampak yang sangat merusuhkan. Hal itu menakutkan dan mengerikan. Memang dampak itu mengingatkan kita kepada contoh yang populer, yaitu ketika Nero tetap bersyair sementara kota Roma terbakar.” 

Dalam usaha mencari pembaca, kesusastraan dan budaya populer bersaing dengan hebatnya. Situasi ini terjadi hampir di semua negara yang sedang membangun atau separuh maju, yang kebanyakan anggota masyarakatnya belum mempunyai tradisi gemar membaca yang teguh. Untuk 'menerjemahkan’ karya modern ke dalam seni rakyat, bukanlah suatu usaha yang mudah karena seperti yang pernah saya ungkapkan melalui novel pertama saya Hari-hari Terakhir Seorang Seniman seni rakyat ini mengalami periode erosi oleh modernisasi dan teknologi dengan cepatnya. Satu jalan yang boleh menjamin penggemar sastra yang luas ialah melalui pendidikan kesusastraan yang meluas dan mendalam kepada kanak-kanak remaja dan orang dewasa, yang akan dapat menimbulkan suasana kesusastraan dalam masyarakat modern.

___
*Anwar Ridwan, lahir tahun 1949, di Sungai Besar, Selangor. Cerpenis: esais dan penyair. Novelnya Hari-hari Terakhir Seorang Seniman telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Harry Aveling dengan judul The Last Days of An Artist. 


>Sumber: Majalah Sastra Horison, No. 3 Tahun XX, Februari 1986

MARI BERBAGI:
Editor

TAMBAHKAN KOMENTAR

5700840368070671462