BLANTERVIO103

Tempat Berteduh - R.K. Narayan

Tempat Berteduh - R.K. Narayan
12/27/2021

Tempat Berteduh
R.K. Narayan

HUJAN tiba-tiba turun. Satu-satunya tempat berteduh yang bisa dicapai olehnya hanyalah pohon banyan yang besar di pinggir jalan. Pohon itu memang sangat besar dan cabang-cabangnya membentang lebar bagaikan payung.

Dengan perasaan hampa, ia mengamati derai-derai hujan yang tempiasnya sesekali memercik ke arahnya. Sambil tak acuh ia melihat seorang lelaki blasteran sedang berlari-lari kecil, mantelnya basah-kuyup, dan sepasang kerbau di pinggir jalan sedang menggerogoti kulit pisang yang dilemparkan orang.

la tiba-tiba sadar, ada orang lain yang juga berdiri di bawah pohon itu, di balik sebelah sana. Samar-samar ia mencium wangi bunga yang berhembus ke arahnya dan ia
tidak dapat menahan rasa ingin tahunya. Ia melangkah pelan mengitari batang pohon itu dan tiba-tiba ia berhadapan dengan wanita itu. Reaksinya yang pertama adalah teriakan "Oh!" dan wanita itu tampaknya sangat tidak senang serta bingung. Wanita itu melihat dan ia menahan diri untuk tidak berteriak. Ketika lelaki itu telah menguasai dirinya kembali, ia berkata, "Jangan khawatir, aku akan pergi." Kedengarannya aneh mengapa ia berkata begitu kepada istrinya sendiri setelah berpisah sekian lama. Lelaki itu kembali ke tempatnya semula, yang jaraknya cukup jauh dari wanita itu. Tetapi kemudian ia kembali lagi menghampiri wanita itu sambil bertanya, "Mengapa kau ada di sini?"

Lelaki itu khawatir, wanita itu tidak akan menjawab pertanyaannya, tetapi wanita itu ternyata menjawab, "Hujan."

"Oh!" Lelaki itu mencoba menganggap jawaban itu sebagai canda dan berupaya menyenangkan wanita itu dengan tertawa. "Hujan itu juga yang membuatku ada di sini," ujar lelaki itu karena merasa pertanyaannya tadi cukup bodoh. Wanita itu tidak mengatakan apa pun. Karena cuaca bisa membantu kelancaran pembicaraan,
lelaki itu berusaha menggunakannya untuk melanjutkan obrolan itu dengan berkata "Tiba-tiba saja hujan ini datang." Wanita itu tidak memberikan reaksi apa pun bahkan ia menatap jauh ke depan. Lelaki itu memancing-mancing masalah cuaca ini lebih jauh.

"Kalau saja aku tahu akan hujan, aku akan tinggal di rumah saja atau membawa payung." Wanita itu tidak mempedulikan ucapan lelaki itu. Mungkin ia merasa apa pun alasan lelaki itu, hal itu bukanlah urusannya. Lelaki itu ingin bertanya, "Apakah kau tuli?" tetapi ia khawatir wanita itu akan melakukan sesuatu yang tidak wajar nanti. Dan tampaknya wanita itu bisa melakukan apa saja kalau ia sedang dalam keadaan nekad. Lelaki itu tidak pernah mengetahui kekuatan perasaan wanita itu sebelum terjadinya krisis malam yang terakhir itu.

Selama hidup bertahun-tahun sebagai suami-istri mereka berkali-kali bentrok: hampir setiap hari mereka bedapendapat tentang semua yang ada di muka bumi ini; setiap hal menimbulkan perdebatan yang tak satu pun dapat dianggap remeh untuk dilewatkan begitu saja. Perang mulut bisa terjadi tentang apa saja -- misalnya, apakah perlu mendengarkan Radio Ceylon atau Radio All-India, apakah harus menonton film Barat atau film Tamil, apakah keharuman bunga melati terlalu menyengat atau tidak, apakah bau bunga mawar terlalu mencolok hidung dan sebagainya: apa saja bisa menimbulkan perdebatan dan menimbulkan ketegangan, dan mengganggu hubungan suami-istri itu selama beberapa hari, kemudian rukun kembali dan tampaknya begitu mesra walaupun hanya berlangsung sesaat saja.

Suatu ketika, ketika mereka sedang rukun-rukunnya, bahkan mereka membuat perjanjian persahabatan dengan ketentuan-ketentuan terinci, dan menandatangani perjanjian itu di hadapan dewa-dewa di ruang Puja dengan harapan tidak akan ada lagi yang akan mengganggu
mereka dan semua kesukaran akan berakhir. Ternyata perjanjian itu tidak bertahan lama dan ketentuan pertama dari kontrak itu, "mulai saat ini kita tidak akan lagi bertengkar” adalah ketentuan pertama yang dilanggar dalam waktu dua puluh empat jam setelah perjanjian itu ditandatangani, dan semua ketentuan-ketentuan lain yang mencakup kemungkinan terjadinya perbedaan pendapat tentang belanja rumah tangga, celaan makanan, diskusi anggaran belanja, segala urusan yang terhadap berkaitan dengan sanak-saudara istri atau suami (adanya saling pengertian telah ditetapkan), ternyata tidak berarti apa pun.

Kini, sambil menunggu hujan reda lelaki itu merasa bahagia karena wanita itu terpojok. Ia tidak pernah lagi mendengar kabar tentang wanita itu setelah ia menutup pintu rumahnya bagi wanita itu, seakan-akan peristiwa itu telah terjadi lama sekali. Seperti biasa, mereka bentrok tentang makanan dan wanita itu mengancam akan kabur dari rumah dan lelaki itu menyahut, "silakan," sambil membukakan pintu lalu wanita itu meninggalkan rumah mereka menembus malam. Untuk beberapa lama ia membiarkan pintu rumahnya itu tidak terkunci dengan harapan wanita itu akan kembali. Tetapi ternyata tidak.

"Aku sama sekali tidak mengharapkan akan bertemu kembali dengan kau," ujar lelaki itu. 
Dan wanita itu membalas, "Apa kaupikir aku akan pergi dan menenggelamkan diriku?"
"Ya, itulah yang kukhawatirkan," sahut lelaki itu.
"Apakah kau mencariku di sumur-sumur terdekat, atau di kolam?”
“Atau di sungai?" sambung lelaki itu. “Tidak.”
"Pasti aku terkejut kalau kau begitu mengkhawatirkan aku."
Lelaki itu berkata, “Kau sama sekali tidak menenggelamkan diri, bagaimana kau bisa menyalahkanku, karena tidak mencarimu?” Lelaki itu, dengan suara sedih, mencoba memohon pengertian wanita itu. Wanita itu hampir saja merentakkan kakinya ketika berkata, "Itu sama saja kau sama sekali tak punya perasaan."
"Alasanmu tidak kuat," sahut lelaki itu.
"Ya, Tuhan, kau mulai membaca watakku. Karena sedang siallah aku ada di sini. Hujan inilah pangkal celakanya."
"Justru sebaliknya, kupikir hujan ini membawa kebaikan. Hujan ini telah mempertemukan kita. Bolehkah aku sekarang bertanya apa saja yang kaulakukan selama ini?"
"Haruskah kujawab?” Dalam nada suara wanita itu ja merasakan semacam kekhawatiran dan lelaki itu merasa senang. Dapatkah ia membujuk wanita itu untuk kembali kepadanya? Kalimat yang akan diucapkannya hampir saja telanjur ke luar di ujung lidahnya, namun ditahannya. Ia hanya bertanya, "Apakah kau tidak khawatir dengan nasibku? Tidakkah kauingin tahu apa saja yang kulakukan selama beberapa bulan ini?” Wanita itu tidak menyahut. Ia bahkan terus memperhatikan derai-derai hujan. Tiba-tiba arah angin berubah dan hembusan angin melemparkan air ke wajah wanita itu.

Lelaki itu merasa mendapat alasan untuk cepat-cepat menghampiri wanita itu dengan menawarkan sapu tangannya. Tetapi wanita itu menghindar. "Jangan pedulikan aku," teriaknya.

"Kau kena hujan..." Sepotong cabang di pohon itu bergoyang dan menjatuhkan tetesan air ke rambut wanita itu. Lelaki itu menudingkan jarinya kepada wanita itu dengan perasaan cemas sambil berkata, “Kalau kau terus di situ nanti kaubasah-kuyup. Kau bisa bergeser sedikit ke sini. Kalau kau tidak keberatan aku akan pindah ke tempat kau berdiri." Lelaki itu berharap dengan kecemasannya ini wanita itu akan tersentuh. Wanita itu ternyata hanya menjawab, “Kau tak perlu repot-repot memikirkan aku." Wanita itu tetap berdiri dengan wajah cemberut sambil menatap hujan yang mengalir deras di jalan raya.

“Perlukah aku segera mengambil payung atau memanggil taksi?" tanya lelaki itu. Wanita itu membelalak dan berpaling. Kemudian lelaki itu mengatakan sesuatu lagi dengan tujuan yang sama dan wanita itu bertanya, "Apakah aku ini bonekamu?"

"Mengapa kaukatakan boneka? Aku tidak mengatakan begitu."
"Kaupikir kau dapat mengambilku sesukamu dan melemparkan aku kalau kau tidak menyukaiku lagi. Hanya boneka yang diperlakukan begitu.”
"Aku tak pernah memintamu pergi!" ujar lelaki itu.
"Aku tak ingin mendengar tentang hal itu lagi," sahut wanita itu.
"Aku tak dapat menggambarkan betapa menyesalnya aku," kata lelaki itu.
"Mungkin, tetapi cobalah katakan itu kepada orang lain.”
"Kepada siapa lagi harus kukatakan begitu," ujar lelaki itu.
"Itu urusanmu sendiri. Iya, bukan?" kata wanita itu.
"Aku tidak tertarik mendengarnya."
“Di mana perasaanmu?" tanya lelaki itu menghiba.
"Kalau kukatakan aku menyesal, percayailah ucapanku itu. Aku yang sekarang bukan aku yang dulu lagi."
"Begitu juga aku," jawab wanita itu, "Aku juga bukan yang dulu. Aku tidak mengharapkan apa-apa dari orang lain dan aku tidak pernah merasa kecewa."
"Kau tidak mau mengatakan apa yang sedang kaulakukan sekarang ini?" tanya lelaki itu memohon. Wanita itu menggelengkan kepalanya. Lelaki itu melanjutkan, “Ada yang mengatakan bahwa kau mengerjakan sesuatu yang seharusnya dilakukan oleh orang-orang Harijan, atau pekerjaan yang sejenis dengan itu. Begitulah, aku terus mengikuti apa yang kaulakukan."

Wanita itu tidak menjawab. Lelaki itu bertanya lagi, "Apakah selamanya kau tinggal di sini atau ...?" Jelas sekali bahwa lelaki itu ingin mengetahui alamatnya. Wanita itu terus menatap hujan dan kemudian memandang lelaki itu dengan wajah masam. Lelaki itu bersuara, "Ya, aku tidak pernah meminta datang hujan ini, bukan? Kita harus menghadapinya bersama-sama."

"Tidak perlu. Dengan begitu tidak ada yang dapat menahan aku." Begitulah ujar wanita itu sambil menerobos hujan dan segera berlari. “Tunggu, tunggu. Aku berjanji tidak akan bicara lagi. Kembalilah, jangan biarkan dirimu basah-kuyup seperti itu!"

Tetapi wanita itu tidak lagi di sana, ia lenyap di balik tirai derai-derai hujan.

Penerjemah: Sori Siregar





MARI BERBAGI:
Editor

TAMBAHKAN KOMENTAR

5700840368070671462