BLANTERVIO103

Nonga, Kisaeng yang Jelita

Nonga, Kisaeng yang Jelita
8/04/2020

Nonga, Kisaeng yang Jelita
Mencintai Negeri Tanpa Batas  

Pagi itu rakyat Korea gempar mendengar kapal-kapal perang Jepang mulai merapat di pantai mereka. Hari itu pula dimulailah suatu masa sedih, berupa penjajahan yang memporakporandakan kedamaian di negeri ginseng itu. 

Para serdadu dengan kejam merampok harta benda rakyat, memaksa mereka berpeluh dalam kerja paksa, bahkan membawa para mudanya ke Jepang. Semua penghuni negeri jelas menggeliat memberikan perlawanan. Para pemburu harimau turut ambil bagian dalam perlawanan, tetapi akhirnya dapat dipukul mundur. Para pansu dan mudang mengerahkan segenap ilmu, namun belum mampu melemahkan musuh. Mereka yang masih hidup, terus bertahan di bukit-bukit sambil melancarkan serangan. 

Sejarah pun mencatat penjajahan Jepang atas Korea tergelar selama 35 tahun, mulai tahun 1910 hingga 1945. Suka cita para penjajah makin tak tertahankan setelah berhasil menguasai kota terakhir di Korea, yaitu Chinjoo. Sebuah kota dengan panorama indah, hamparan batu karang, dan danau bening yang penuh ikan warna-warni. Warna yang terakhir membias di kota Chinjoo adalah merah darah dari seorang hakim. Jenderal yang memimpin pasukan Jepang telah membunuhnya tanpa ampun. 

Kematian sang hakim langsung memicu sorak-sorai kemenangan dari seluruh pasukan. Selesai sudah invasi yang telah melibatkan kedua belah pihak dalam banyak peperangan besar. Untuk merayakan kepemilikan terhadap Semenanjung Korea, pasukan sang jenderal mengadakan pesta meriah. Makanan lezat disajikan dengan minuman memabukkan. Kisaeng, penghibur yang jelita pun berseliweran melayani para serdadu. 

Salah seorang kisaeng bahkan menemui sang jenderal, langsung ke tempatnya beristirahat. Nonga, begitulah penghibur yang jelita itu kerap disapa orang. Sang jenderal sempat terkesima melihat Nonga dengan geraknya yang gemulai penuh rayuan dan tutur kata yang halus semerbak. Namun, demi menjaga kewibawaan, bukannya menyambut hangat kedatangan Nonga, sang jenderal menyalak dengan penuh kemarahan. 

"Berani benar kau datang kemari! Para laki-laki saja bersembunyi di hutan, tak berani menampakkan diri di hadapanku. Apa maumu?" seru jenderal itu. 

"Maafkan atas kelancangan saya, Tuan," kata Nonga tak terpancing dengan kemarahan jenderal itu. "Saya mengucapkan terima kasih, karena Tuan telah membalaskan dendam ayah saya. Hakim kota yang jahat itu, dengan kejam telah menjatuhkan hukuman mati pada Ayah. Padahal beliau tidak mempunyai kesalahan apa pun. Semua tuduhan terhadap Ayah adalah fitnah belaka. Saya bersumpah, akan memberikan apa saja kepada pada orang yang telah berhasil membunuhnya. Orang itu adalah Anda, sang jenderal perkasa." 

Kepala sang jenderal terasa membesar oleh rasa bangga mendapat pujian setinggi langit itu. Sikapnya langsung berubah menjadi begitu ramah terhadap penghibur itu. Ia mempersilakan Nonga duduk, dan membiarkannya memberikan pelayanan terbaik. Nonga dengan jari lentik dan terlatihnya menuangkan anggur banyak-banyak untuk sang jenderal. Ia bahkan mengajak jenderal ke atas karang yang tinggi untuk menyaksikan tariannya. 

Pemimpin pasukan itu tak berdaya menghadapi bujuk rayu Nonga. Setiap cangkir minuman memabukkan yang diangsurkan kepadanya, diteguk sampai tandas. Di atas karang, dengan hamparan pemandangan yang memesona, para serdadu turut menyaksikan pertunjukan Nonga. Sama seperti sang jenderal, mereka terpesona dengan gerak dan lagu yang diperlihatkan olch Nonga. 

Keindahan alam yang berpadu dengan kecantikan sang penghibur juga anggur memabukkan, makin membuat mereka melayang sampai ke langit mimpi. Di udara terbuka, Nonga menari dengan gerakan menawan. Perlahan sang jenderal berdiri dan ikut menari. Mereka bergerak makin dekat ke tepi karang. Sekali sentak, Nonga melompat ke dalam air dengan membawa sang jenderal yang mabuk bersamanya. Mereka akan menari bersama di dasar air, dalam kematian. Wanita pemberani itu berhasil membinasakan musuh paling berbahaya bagi negerinya. 

Berkat Nonga, pasukan Korea kembali mengangkat senjata dan mengusir Jepang dari negeri mereka selama-selamanya. Sebuah kuil untuk menghormati Nonga pun didirikan di Chinjoo. Batu karang tempatnya menari dan meloncat dikenal dengan sebutan Uiam, Karang Bunga Gugur. Konon setahun sekali, tepat pada hari kematian gadis itu, air danau berubah menjadi semerah darah.  

Penerjemah: Rinurbad
MARI BERBAGI:
Editor

TAMBAHKAN KOMENTAR

5700840368070671462