BLANTERVIO103

Seprai Linen - Dacia Maraini

Seprai Linen - Dacia Maraini
6/29/2020






Seprai Linen

SASTRADUNIA.COM |PAGI ini aku menemukan seonggok benda besar di atas seprai linen. Pasti itu Elena dengan rokoknya yang menyebalkan. Ia tahu betapa berartinya benda itu bagiku. Seprai linen itu adalah sisa perlengkapan pengantinku. Ia tahu aku tak akan bisa marah. Dan karena itulah ia sengaja melakukan hal itu untuk menggodaku. 

Giorgio, terjaga dari tidurnya untuk kedua kalinya, seperti biasa berteriak meminta secangkir kopi. Aku sedang menyiapkan sarapan didapur. "Sebentar...," sahutku, bergegas mengambil cangkir dari lemari. 

Aku memanaskan susu,  mengiris empat potong roti, meletakkannya di atas baki dan bergegas ke kamar tidur. Giorgio dan Elena berbaring di atas ranjang, memandangiku berjalan ke arah mereka dengan kedua tangan memegang baki. Giorgio beringsut duduk, kepalanya yang kelihatan kusut bersandar pada Dacia Maraini bantal, bagian atas piyamanya terbuka, menampakkan dadanya yang berbulu. Elena menggeliat malas. 

Wajah bulatnya masih tampak mengantuk, menyembul di balik selimut. Mata birunya yang besar memandangi gerakanku dengan malas. 

"Kamu ingin aku meletakkannya di mana?" 
"Di sini saja, Sayang." 
"Di sini di mana?" 
"Di atas pangkuanku." 
"Elena masih tidur," kataku, cuma sekedar asal bicara, sebab kulihat dengan jelas matanya telah terbuka. 
"Tidak. Aku sudah bangun. Apakah kamu membawakan susu untukku?" "Ya, di atas baki. Oh, aku lupa gulanya." 
"Cepat ambillah, Mousy." 

Aku sudah bilang padanya ratusan kali agar jangan memanggilku dengan sebutan itu. Tapi ia tak pernah mempedulikannya. Aku berbalik ke dapur, mengambil gula, lalu menaruhnya di atas baki, di dekat tempat susu. 

"Masak apa buat makan siang, Mousy." 
"Jangan panggil aku Mousy." 
"Aku suamimu ʼkan?" 
"Memangnya kenapa?" 
"Seorang suami boleh memanggil istrinya dengan panggilan yang dia suka." 

Elena duduk dengan malas, tersenyum dikulum. Ia meraih baki, membuatnya bergoyang di atas lutut Giorgio. Lalu diambilnya seiris roti dan dicelupkannya ke dalam susu. 

"Duduklah, Mousy." 
"Aku sudah makan. 
"Duduk sajalah dan ceritakan padaku apa mimpimu tadi malam." 
"Aku tak pernah bermimpi." 
"Tak mungkin." 
"Tak pernah, tak pernah, tak pernah..." 
"Itu pertanda buruk." 
"Kenapa?" 
"Itu berarti jiwamu kosong."

Elena tertawa berderai Aku tak mengerti apa yang lucu dari perkataan Giorgio. Tapi Elena biasa tertawa tanpa alasan yang jelas. Ia menggoyangkan kepalanya hingga rambutnya tergerai menutupi mata dan pipinya. Giorgio senang melihatnya tertawa. Ia memperhatikan cara Elena menggoyangkan rambutnya lalu tersenyum lebar. 

Dalam beberapa bulan terakhir banyak hal berubah dalam pernikahan kami. Tepatnya sejak Elena tinggal bersama kami. Aku belum pernah melihat Giorgio bertingkah seaneh itu sebelumnya. Di permuknan, kehidupan kami tampak seperti biasanya, tapi kenyataannya semua telah berubah. 

Aku tak akan pernah melupakan hari saat dia membawanya ke rumah. Giorgio membuka pintu sambil memeluknya. Dia tampak gembira dan bahagia. 

"Ada, aku membawakanmu seorang teman," katanya. 
"Teman siapa?" 
"Temanku dan temanmu. Mulai sekarang dia akan tinggal dengan kita." 
"Tapi aku tak mengenalnya." 
"Kamu punya banyak waktu untuk berkenalan. 
"Dia akan tidur di mana?" 
"Di ranjang besar, denganku. Kamu keberatan?" 
"Di ranjang besar? Di atas seprai linenku?" 
"Kalau kamu mau, aku akan membelikanmu seprai yang baru."
"Tidak, tidak. Simpan saja buatmu." "Kamu bisa tidur di ruang tamu, di atas sofa." 
"Permukaannya keras sekali..." 
"Elena akan membantumu memasak dan mengurus rumah. Ia akan meringankan bebanmu." 
"Apa dia bisa masak?" 
"Aku tak tahu. Elena memang agak manja, tapi dia akan segera terbiasa dengan rumah barunya. Dia akan membantumu mengerjakan pekerjaan rumah" 
"Manja? Apa maksudmu?"
"Maksudku, di rumahnya dia tak biasa bekera hanya tiduran sepanjang hari. Tapi dia cukup menyenangkan dan baik hati. Kamu pasti akan menyukainya." 

Saat itu aku belum betul-betul melihatnya. Pikiran bahwa dia akan mengambil seprai linenku membuatku merasa terganggu. Dalam hati aku berharap agar dia lenyap dari hadapanku jika aku tak melihat padanya. Tapi ternyata ia masih berdiri di situ, tinggi dan pirang, mengangguk-anggukkan kepalanya setiap kali Giorgio bicara. Kumajukan kepalaku untuk memperhatikan- nya lebih jelas. Hal pertama yang menarik perhatianku adalah sepasang mata birunya yang bening dan besar. Mata itu menatapku penuh rasa ingin tahu. Selain itu, tak ada yang istimewa dari wajahnya. Wajah itu bulat dan bersih, dengan bentuk Tubuhnya mirip dengan wajahnya: montok dan mulus, dengan potongan yang serasi. 

Sore itu Giorgio tinggal di rumah membantu kami biasa-biasa saja. mengupas sebiji apel sambil mengobrol dengan Elena Saat itulah aku menyadari bahwa ternyata Elena tak becus mengerjakan apa pun. Waktu dia mencoba membantu, yang dilakukannya justru menghambat pekerjaanku. Sejak itu aku tak pernah memintanya membantuku lagi di dapur. Aku lebih suka bekerja sendirian; tanpanya aku bisa mengerjakan semuanya membuat kue apel. Dia mengambil sehelai celemek lalu lebih cepat. 

Kami membuka sebotol sampanye sore itu untuk merayakannya. Elena minum dua gelas dan mabuk. Giorgio membimbingnya ke kamar dan membaringkannya di ranjang. Lalu dia memanggilku untuk membantunya melepaskan pakaian Elena. Aku melihatnya terbaring tanpa busana. Dengan pakaian ja tampak berusia sekitar dua puluh delapan; tanpa itu ia kelihatan lebih tua sepuluh tahun. Entah mengapa hal itu membuatku merasa nyaman, merasa bahwa ia lebih tua dari padaku. Aku menatap seprai linen sulaman tanganku lalu pergi, meninggalkan mereka berdua. 

Benar apa yang dikatakan oleh Giorgio, Elena memang manis dan penuh perhatian. Hanya saja ia mudah bosan dan, untuk melewatkan waktu, ia selalu menemukan cara untuk menggodaku. Biasanya dia menghabiskan harinya dengan tidur-tiduran di ranjang sambil membaca komik atau memoles kuku atau menyisir rambutnya. Kadang-kadang ia tertidur dan aku akan berhenti mendengar suaranya hingga pukul tujuh, saat Giorgio pulang kerja. Menjelang dia tiba, Elena akan berpakaian dengan terburu-buru, merias wajahnya, merapikan rambut dan mengenakan sepatu tumit tingginya. Saat Giorgio membuka pintu, Elena akan menghambur ke arahnya dengan gembira. 

Sesekali kami bertiga pergi bersama. Kami pergi ke bioskop atau sekedar berjalan-jalan. Saat-saat seperti itu, harus kuakui, Giorgio bersikap amat manis. Dia memperlakukanku selayaknya seorang istri; menggandeng tanganku, membisikkan kata-kata mesra di telingaku atau membukakan pintu untukku saat kami pergi ke suatu tempat. Dan Elena mengikuti di belakang kami, berjalan pelan-pelan dengan sedikit merajuk. Jika kami bertemu dengan kawan-kawannya, Giorgio akan memperkenalkannya sebagai sepupuku. 

"Ia bercerai dari suaminya," katanya,"dan kini tinggal bersama kami. Ia tak punya siapa-siapa lagi, betapa malang nasibnya." 

Elena tak pernah berbicara. Ia hanya tersenyum. Atau meminta dibelikan es krim. Benda itu adalah hobinya, es krim. Terkadang Giorgio menggodanva dan meledeknya bahwa menyantap es krim di musim dingin akan membuatnya sakit parah.

Begitu kami tiba di rumah, semuanya berubah dengan cepat. Giorgio tak menghiraukanku lagi; dia jarang berbicara padaku, kecuali untuk membuat Elena tertawa, seperti saat ia memanggilku Mousy. Elena kembali merasa percaya diri, mulai berceloteh tentang hal-hal yang membosankan, atau berbaring di ranjang sambil menceritakan lelucon-leluconnya dan memintaku mengambilkan segelas susu dingin saat dia merasa haus. 

Elena tak ingin aku pergi dari rumah itu. Tanpaku bagaimana mungkin dia hidup seperti itu? Apa yang dilakukannya untuk menggodaku hanyalah sekedar lelucon kecil seorang perempuan manja. Tapi ia tak menyadari bahwa aku tak bisa mentolerir lelucon yang melibatkan seprai linen kesayanganku. 

"Jika kamu tetap melubangi seprai linenku dengan abu rokokmu, aku akan pergi," kataku padanya suatu kali karena begitu jengkel. 
"Jangan bilang begitu. Giorgio akan sangat marah." 
"Itu urusan dia." 
"Tapi dia suamimu!" 
"Apa yang akan dilakukannya padaku?" 
"Dia akan bilang pada semua orang bahwa kau telah minggat dari rumahnya." 
"Apakah dia akan sakit hati?" 
"Aku tak tahu. Tapi kalau kamu pergi, aku tak bisa tinggal dengannya lagi." 
"Kenapa tidak?" 
"Kami kan tidak menikah." 
“Apa bedanya?" 
"Orang-orang akan segera tahu bahwa kami adalah sepasang kekasih." 
"Lalu?" 
"Aku tak mau itu terjadi. Apa kata tetangga nanti."
"Siapa yang peduli dengan mereka?"
"Aku peduli. Aku tak mau mereka menganggapku tidak bermoral." 

Akhirnya aku tak jadi pergi. Aku bosan sendiri dengan kejadian-kejadian menjengkelkan itu. Dan juga, sejujurnya, Giorgio adalah suamiku dan aku merasa bahwa tempatku adalah di sampingnya. Jika aku berkata hendak pergi, itu hanya untuk menggertak Elena saja. Aku cuma inginagar dia serius sekali waktu dan menghargaiku saat aku bicara padanya. 

Sebentar lagi Giorgio akan pulang. Hari ini aku telah membuat sebuah keputusan besar. Aku akan bilang padanya agar ia membeli sebuah seprai katun untuk ranjang yang ditidurinya bersama Elena. Aku tak mau seprai linenku yang indah bolong-bolong. []

(Dacia Maraini, diterjemahkan oleh Anton Kurnia)
MARI BERBAGI:
Editor

TAMBAHKAN KOMENTAR

5700840368070671462