Eugenio de Andrade (1923 - 2005)
SASTRADUNIA.COM | Eugenio de Andrade (1923 - 2005) setelah Fernando Pessoa, dialah penyair Portugis yang karyanya paling banyak diterjemahkan dan tersebar. Eugénio de Andrade lahir di Póvoa da Atalia (Beira Alta) pada tahun 1923. Dia menghabiskan masa-masa terakhir hidupnya di Porto, dan wafat pada tahun 2005.
Karyanya yang kaya berisikan tulisan-tulisan berbentuk prosa dan puisi. la menulis beragam antologi. la menjadi terkenal oleh gaya dan komposisinya: transparan, sederhana, mencari cahaya vital dari sesuatu yang sederhana dan mempunyai hubungan kuat dengan daratan.
Dalam Rosto Precário (Wajah Tak Nyaman) si penyair menggabungkan semua unsurnya:
"berjalannya waktu dalam suatu permainan antara cahaya dengan bayangan; kenaikan dan kejatuhan Eros yang tidak dapat direndahkan sebagai seksualitas biasa; pertemuan dengan wajah sejati sendiri di antara wajah lainnya yang telah ditentukan lingkungan kepada kita; memberi harga diri kepada manusia dalam dunia yang terlibat dalam penyangkalan tubuhnya, dibanding penyangkalan jiwa - kekhawatiran terbesar terlihat di puisi saya tanpa melupakan wajah rupawan dan aternal yang berada di berbagai imaji kehidupan yang secara naluriah bahagia dan terbuka."
SASTRADUNIA.COM | Eugenio de Andrade (1923 - 2005) setelah Fernando Pessoa, dialah penyair Portugis yang karyanya paling banyak diterjemahkan dan tersebar. Eugénio de Andrade lahir di Póvoa da Atalia (Beira Alta) pada tahun 1923. Dia menghabiskan masa-masa terakhir hidupnya di Porto, dan wafat pada tahun 2005.
Karyanya yang kaya berisikan tulisan-tulisan berbentuk prosa dan puisi. la menulis beragam antologi. la menjadi terkenal oleh gaya dan komposisinya: transparan, sederhana, mencari cahaya vital dari sesuatu yang sederhana dan mempunyai hubungan kuat dengan daratan.
Dalam Rosto Precário (Wajah Tak Nyaman) si penyair menggabungkan semua unsurnya:
"berjalannya waktu dalam suatu permainan antara cahaya dengan bayangan; kenaikan dan kejatuhan Eros yang tidak dapat direndahkan sebagai seksualitas biasa; pertemuan dengan wajah sejati sendiri di antara wajah lainnya yang telah ditentukan lingkungan kepada kita; memberi harga diri kepada manusia dalam dunia yang terlibat dalam penyangkalan tubuhnya, dibanding penyangkalan jiwa - kekhawatiran terbesar terlihat di puisi saya tanpa melupakan wajah rupawan dan aternal yang berada di berbagai imaji kehidupan yang secara naluriah bahagia dan terbuka."