BLANTERVIO103

Membaca Sastra, Menjelajah Dunia - Anton Kurnia

Membaca Sastra, Menjelajah Dunia - Anton Kurnia
4/11/2020
Membaca Sastra, Menjelajah Dunia 
Sekadar Pengantar: Anton Kurnia

Membaca Sastra, Menjelajah Dunia - Anton Kurnia

“Membaca itu seperti menyalakan api. 
Setiap kata yang tereja adalah letupan bara.” 
-Victor Hugo 

SASTRADUNIA.COM |  Sekitar 4.000 tahun lampau, karya sastra pertama ditulis dalam bentuk prosa liris, antara lain The Epic of Gilgamesh dan Mahabharata yang bermula dari tradisi lisan. Sejak itu hingga kini, pada awal abad kedua puluh satu, sastra dunia telah berkembang begitu rupa, melahirkan beragam aliran dan gaya, serta puncak-puncak karya dan para pengarang agung dari berbagai zaman dan negeri. 

Setelah melalui dua perang dunia yang menorehkan luka amat dalam bagi psike umat manusia, sastra dunia saat ini hadir dengan beragam karya dan suara. Para penulis pascakolonial muncul dari pelbagai pelosok dunia yang semula dianggap sebagai pinggiran-Nigeria, Afrika Selatan, India, Mesir, Albania, Amerika Latin, bahkan Asia Tenggara. Para pengarang posmodern "menemukan" teknik-teknik dan bentuk-bentuk "baru" yang dianggap lebih menantang bagi para pembaca yang bosan disuguhi narasi realis. Novel dan prosa pendek hadir dengan tokoh-tokoh yang ikut meramu plot, kala yang tak lagi linear, serta akhir cerita yang menawarkan bercabang pilihan. 

Di sisi lain, perubahan peta perbukuan global, perkembangan penerbitan independen, revolusi digital, keajaiban internet, dan upaya-upaya lebih serius dalam penerjemahan teks-teks sastra membuat pertukaran karya dan wacana menjadi lebih meluas dan tanpa batas, sekaligus amat intens. 

Di tengah perkembangan dunia yang begitu pesat itu, buku Ensiklopedia Sastra Dunia ini hadir sebagai revisi edisi sebelumnya yang terbit untuk kali pertama dua belas tahun silam, tepatnya pada Oktober 2006. Selang waktu lebih dari satu dekade tentu mencatat begitu banyak perubahan dan perkembangan. 

Buku ini sejak mula disusun untuk membantu mereka yang berminat membaca dan menyingkap khazanah sastra dunia, serta mencari tahu tentang riwayat hidup dan karya sejumlah sastrawan penting yang menulis dalam beragam genre-cerpen, novel, puisi, esai, drama. 

Sebagai sebuah ensiklopedia sederhana dan pengantar menjelajah khazanah sastra dunia, buku ini memuat ikhtisar sejarah sastra dunia sejak ribuan tahun lampau, profil 335 sastrawan terkemuka dari pelbagai penjuru dunia dan zaman-dari pujangga Yunani Kuno Homer hingga pemenang Hadiah Nobel Sastra 2017, Kazuo Ishiguro-dilengkapi informasi tentang proses kreatif dan karya mereka, termasuk yang telah diterjemahkan ke bahasa Indonesia. Juga terdapat beragam data tentang karya-karya terbaik sepanjang masa dan sejumlah hadiah sastra terkemuka di lima benua-di antaranya Hadiah Nobel Sastra, Man Booker Prize, Pulitzer Prize, Premio Romulo Gallegos, Hadiah Sastra Akutagawa, Wole Soyinka Prize, dan Miles Franklin Award-termasuk daftar para pemenangnya. 

Sebagai seseorang yang suka membaca dan mencintai karya sastra, pada masa lalu saya merasa kesulitan menemukan semacam peta sederhana yang cukup komprehensif tentang khazanah sastra dunia dalam bahasa Indonesia. Saya kerap dipenuhi beragam pertanyaan: dari manakah saya mulai membaca, buku manakah yang layak saya beri prioritas, siapakah sastrawan penting yang perlu saya baca karya-karyanya, apa yang istimewa dalam proses kreatif dan kisah hidup mereka? 

Buku ini mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan sederhana semacam itu. Oleh karenanya, buku ini bisa dibaca dan digunakan oleh beragam kalangan secara luas: pencinta buku, peminat sastra, penulis, kaum akademisi, atau pembaca awam. 

Di tengah terbatasnya buku semacam ini yang ditulis dalam bahasa Indonesia, saya berharap sedikit banyak buku ini dapat memberi manfaat bagi para pembaca serta menyumbang andil bagi perkembangan dan kemajuan sastra kita sendiri.

Sebagai bahan renungan, sejak Hadiah Nobel Sastra diberikan pertama kali pada sastrawan Prancis Sully Prudhomme lebih seabad silam hingga saat ini tak ada orang Indonesia yang pernah menjadi kandidat pemenang hadiah sastra paling terkemuka itu selain Pramoedya Ananta Toer, apalagi menjadi pemenangnya. Hadiah Nobel Sastra tentu saja bukan segala-galanya. Banyak sastrawan terkemuka dan berpengaruh yang sepanjang hayatnya tak pernah meraih hadiah bergengsi itu, sebutlah Jorge Luis Borges, James Joyce, atau Franz Kafka. Sebaliknya, tak sedikit pula pemenang hadiah tersebut yang namanya perlahan-lahan menghilang dari perbincangan. Namun, bagaimanapun, Hadiah Nobel Sastra adalah sebuah tonggak pencapaian yang harus diakui wibawanya dalam peta sastra dunia. 

Saya melihat, di balik keberhasilan para sastrawan dunia menciptakan karya-karya besar, terbentang tradisi sastra sebuah bangsa yang berakar dan tumbuh sejak berabad-abad. Tradisi itu dalam wujud sederhana bisa berupa kebiasaan membaca dan menerbitkan karya sastra, serta mewariskan pustaka sebagai pusaka yang terus dimaknai dan pada saatnya mewujud dalam karya-karya besar. 

Lalu, bagaimana dengan kita? Apakah kita telah memiliki sebuah tradisi sastra yang kuat dan sejarah yang panjang? Berapakah buku sastra yang kita terbitkan dalam setahun? Berapa banyak perpustakaan yang kita miliki sebagai sarana persemaian kepala dan hati anak-anak bangsa? 

Lihatlah sesama bangsa Asia yang sejak mula memang memiliki tradisi sastra yang kuat. India yang pernah melahirkan karya besar semacam Mahabharata dan Ramayana, tak hanya punya Rabindranath Tagore- orang Asia pertama yang meraih Hadiah Nobel Sastra (1913), mereka juga melahirkan pendekar-pendekar sastra masa kini yang diperbincangkan dunia: Salman Rushdie, Arundhati Roy, Vikram Seth-untuk menyebut beberapa nama saja. Jepang yang melahirkan salah satu novel tertua di dunia, Genji Monogatari, memiliki dua peraih Hadiah Nobel Sastra seperti Yasunari Kawabata (1968) dan Kenzaburo Oe (1994), serta para novelis terkemuka dunia seperti Haruki Murakami. Dan kini, Cina yang di masa silam pernah melahirkan kitab-kitab sastra klasik telah melangkah lebih jauh dalam pergaulan sastra dunia melalui Gao Xingjian, pemenang Hadiah Nobel Sastra 2000, dan Mo Yan-peraih Nobel Sastra 2012. 

Melihat kenyataan yang membentang, mereka memang memiliki tradisi sastra yang kuat dan sejarah yang panjang. Mereka juga mau belajar dengan menyalin karya-karya asing dari khazanah sastra dunia ke bahasa mereka, menerbitkannya sebagai buku, serta menelaah dan menarik manfaat darinya. Kemudian, bila saatnya telah tiba, mereka kembali melahirkan karya-karya yang setara dengan karya-karya terbaik dunia lainnya. Mereka menyumbangkan karya besar bagi umat manusia, bukan sekadar merayakan perdebatan hampa dan kebanggaan kosong. 

Sesungguhnya, kita memiliki warisan sastra klasik yang amat kaya dan tak kalah unggul dari bangsa-bangsa lain. La Galigo, misalnya, adalah teks sastra tertulis terpanjang di dunia yang memiliki kompleksitas luar biasa. Namun, untuk kembali melahirkan karya-karya besar di zaman yang melaju amat cepat ini kita harus mau banyak belajar. Khalayak pembaca sastra kita perlu mendapatkan lebih banyak pengalaman membaca karya-karya utama dalam jagat sastra kontemporer, misalnya melalui karya karya sastra terjemahan, baik melalui penerbitan buku maupun publikasi di media massa. Saya kira hal-hal kecil semacam itu dapat bermakna luas bagi perkembangan sastra dan kebudayaan kita. Paling tidak, semua itu akan memperkaya khazanah literatur sastra kita. 

Upaya seperti itu sekaligus akan menjadi jendela bagi terciptanya dialog antarbudaya tanpa perlu terhalang oleh sekat-sekat perbedaan bangsa dan bahasa. Melalui teks-teks sastra, terkadang kita disadarkan bahwa apa yang terjadi jauh di ujung dunia sana ternyata pada hakikatnya memiliki makna yang relevan dengan apa yang terjadi dekat di sini, dalam kenyataan hidup kita sehari-hari, dan bahwa yang global itu kerap berkaitan erat dengan yang lokal. Semua itu menyadarkan kita akan adanya sebuah pijakan bersama di balik perbedaan yang tampak: sesungguhnya kita satu dalam semesta kemanusiaan. 

Seturut uraian di atas, penyusunan dan penerbitan buku ini adalah sebuah langkah kecil untuk mewujudkan segala hal indah tersebut. 

Namun, buku semacam ini tentu juga akan memicu kontroversi- mengapa penulis ini tidak dimasukkan, mengapa karya itu tidak disebut? Saya sedapat-dapatnya menyusun buku ini dengan memperhatikan pencapaian para sastrawan dan pengaruh karya-karyanya dalam peta sastra dunia dengan menimbang konteks masa, wilayah, dan ragam karya. Diupayakan jejak-jejak penting sastra dunia terekam dan terwakili dalam buku ini-setidaknya secara garis besar. 

Beberapa nama sastrawan yang tak tercantum profilnya dalam bab Tentang Sejumlah Nama dapat ditemui dalam bab Tentang Sejumlah Karya dan Tentang Sejumlah Hadiah Sastra. Maka, untuk memudahkan pencarian satu nama-misalnya-penggunaan indeks atau senarai nama di bagian akhir buku ini akan sangat membantu pembaca. Namun, perlu digarisbawahi, buku ini tidak disusun sebagai semacam daftar hadir yang memuat semua pengarang dari seluruh penjuru dunia. Seperti yang saya tulis di awal pengantar ini, buku ini lebih serupa kawan membaca dan pengantar menjelajah khazanah sastra dunia yang bisa pula dimaknai sebagai semacam kunci pembuka pintu menuju semesta sastra dunia. Selebihnya, silakan bertualang sebebas-bebasnya. Salam dan selamat membaca. 

Jakarta, 23 Juni 2018
MARI BERBAGI:
Editor

TAMBAHKAN KOMENTAR

5700840368070671462