BLANTERVIO103

Ciuman Anna Szegi - Pál Szabó

Ciuman Anna Szegi - Pál Szabó
4/07/2020
Ciuman Anna Szegi
oleh Pál Szabó 

SASTRADUNIA.COM | Gadis itu datang dari ujung desa yang satu, sedang si pemuda dari ujung lainnya, maka bertemulah mereka di tengah padang rumput. Siang itu ditandai oleh mengeringnya bekas rerumputan di ladang dan sela-sela rumput menyelinap cahaya musim panas.

"Cintakah kau padaku, Anna Szegi?" tanya pemuda itu, dan dalam darah serta jiwanya terdengarlah nyanyian memesonakan seakan-akan menjanjikan tibanya saat akan terpenuhinya hasratnya. 

"Baik, mengapa aku tak akan mencintaimu, Mihály Galgóczi!" ujar gadis itu seraya tertawa bahagia dan riang, sementara dadanya, bahunya, seluruh perilakunya seperti mengimbau: "Nah, pandanglah aku, inilah ... satu langkah lagi... tapi semak dan meaku, aku milikmu." 

Dua langkah berduri di pinggir jalan mengait langkahnya yang sangat cepat meninggalkan goresan pada kakinya. Tetesan hangat mirip mutiara merah muncul sepanjang goresan itu. Ia membungkuk, ketakutan dan oh, betapa padang rumput dan musim ini panas itu tiba-tiba lain tampilnya pada Anna Szegi. Bagi pemuda itu goresan yang seolah menyala berwarna merah itu ibarat merananya warna fajar yang tiba tak terduga. Meskipun demikian, pemuda itu berlutut di samping si gadis dan berkatalah ia dengan harapan yang tenggelam, 

"Tuhanku satu, jiwaku satu, dan kau tentunya akan mencium aku sekarang, bukan, Anna Szegi?" 
"Sekarang?" 
“Sekarang. Mengapa, bukankah kemarin kau katakan besok." 
“Jangan sekarang, sebab aku baru kesakitan sekarang," bisik Anna Szegi lirih, sedih, sambil mengusap halus bagian kakinya yang tergores duri tadi. 

Segumpal awan berarakan di atas padang rumput sambil membentangkan bayangan atas mereka berdua. Tak ada yang bisa mengesankan kesedihan di padang rumput pada musim panas seperti halnya dengan bayangan awan berarakan. Ladang-ladang seperti dilanda kesepian yang memesonakan, dan dunia seolah menahan hasratnya untuk bergembira dan berciuman. Gumpalan awan masih saja berarakan di atas mereka seakan-akan tak ada hentinya. Bayangannya yang gelap menyelimuti ladang maupun gadis dan pemudanya. Keduanya duduk berdampingan, tanpa berkata-kata. Beberapa saat yang lalu padang rumput ini seperti pusat dunia, tapi sekarang telah bergeser menjadi tepinya. Ciuman selalu mati manakala sakit datang menyelinap. 

"Sudikah kau besok datang pada waktu yang sama? Sudikah kau datang besok siang di sini, Anna Szegi?" tanya pemuda itu perlahan suaranya dan sedih, sambil mempertaruhkan segenap semangat dan kebahagiaannya pada hari besok. 

"Pasti, aku akan datang, Mihály Galgóczi," jawab gadis itu menurutinya, maka berdirilah ia kemudian. Dirapikannya gaunnya menutupi lututnya, dan mulailah ia menuju desa dengan langkah yang lambat dan hati-hati, mirip seorang yang baru saja menemukan jalannya menuju kesedihan. Awan kemarin itu niscaya datang khusus untuk gadis dan pemuda itu, sebab hari ini semua ladang kering di bawah terik matahari. Bahkan jangkrik pun bersiul. Kemerik jangkrik dan pancaran sinar matahari adalah dendang perkawinan padang rumput, dan tatkala tengah hari tiba pemuda itu menancapkan garpu jeraminya sekuat tenaga. Tidak, padanya tak terpikirkan hal itu, melainkan sudah menjadi darah dagingnya dan meresapi jiwanya bahwa padang rumput itu adalah serambi rumah Tuhan. Terang benderang oleh sinar matahari, harum oleh jerami, sejuk oleh uapan air, begitulah serambi tadi. Manakala lonceng berbunyi, berbarengan dengan melimpahnya keindahan, Anna Szegi tiba memasuki serambinya.

Hari sudah siang dan di desa lonceng tengah hari berbunyi. Matahari sepenuhnya tercurah pada padang rumput, dan dalam liputan sinarnya, diiringi bunyi lonceng, Anna Szegi muncul. Ia datang dari arah matahari, dan pemuda itu lekas-lekas menanggalkan topi untuk menyambutnya. Padang rumput di kawasan itu seolah-olah berubah menjadi nyanyian suci dan ladang-ladang kering berubah menjadi sengkala-sengkala yang riuh rendah bunyinya. Segala sesuatu merebah di kaki Anna Szegi. Nyanyian suci serta keharuman jerami meratakan jalan Anna Szegi, dan oh, betapa indahnya matahari kecermelangan pada bahunya! 

"Lihatlah, aku datang, karena aku cinta padamu." Pada langkah-langkahnya yang akhir gadis itu lari sambil menghindari bentangan tangan pemuda itu seraya melampauinya sedikit. Gadis itu duduk di atas tumpukan jerami sambil menyembunyikan kedua tangannya di dalam jerami. 

Sadar akan perasaannya yang kacau-balau sehari sebelumnya, pemuda itu mulai menghampirinya, tapi gadis itu sudah lebih dulu berdiri sambil mengarahkan pandangannya ke langit. Di antara langit dan kedua matanya terbentanglah kedua tangannya. 

Seekor burung camar tampak terbang berputar-putar di kejauhan, terbangnya seperti membekaskan tulisan rahasia, tulisan burung camar dan burung-burung lainnya tatkala terbang. Di musim panas mereka saling menuliskan pesan di udara sebagai yang mereka lakukan sekarang, demi burung-burung lain yang menyusul kemudian. Hanya manusia di bumi yang kagum dan menerka-nerka menyaksikan aksara-aksara itu. Tampaknya Anna Szegi cukup memahaminya, dan dengan rasa sedih ia berusaha menemukan arti seluruh tulisan itu. Seperti bertanya-tanya dan mencari-cari sesuatu ia menoleh pada pemuda itu. 

"Aku sangsi, apakah burung camar bisa bicara, Mihály Galgóczi?" 

Dengan kesangsian pula pemuda itu mencari-cari burung camar kemudian mengalihkan pandangannya pada kedua mata gadis yang tampak menyimpan banyak rahasia. Bayangan burung-burung camar yang terbang melingkar-lingkar terpantul sebagai lingkaran-lingkaran kecil pada mata gadis itu dan mirip-mirip payung surgawi, sedang dengan warna dan kecemerlangan yang luar biasa pula terpantul pula garis-garis ladang. Sepasang mata ini adalah cermin tempat seluruh jagat terpantul lebih indah, sebab, nah lihatlah, dia sendiri pun tampak di dalamnya. Setelah lama diam, ia menjawab. 

"Tidak, burung camar tak bisa bicara, Anna Szegi." 

Lalu ia merasa sedih. Kalau saja burung camar bisa bicara, demi Anna Szegi... 

"Bisa, tentu mereka bisa bicara. Dan seandainya aku sekali saja bisa memahami bahasa mereka...," desak gadis yang sekarang memandang Jauh melampaui burung-burung camar dan padang rumput. la melemparkan pandangan ke arah matahari yang memancarkan sinarnya yang menakjubkan. 

Pemuda itu menutupi matanya, sebab ia sadar benar bahwa gadis itu mungkin akan menciumnya bila ia sedang terpesona oleh rahasia-rahasia surgawi. Sesuatu yang sangat diidamkannya, sesuatu yang membuatnya begitu merana, sesuatu yang demikian kuat mendorongnya, Sesuatu yang mendesak-desaknya jalah untuk mendapatkan ciuman yang tak pernah dikecupnya dari Anna Szegi. Sekarang menjadi jelas baginya bahwa tanpa ciuman itu dunia ini kehilangan arti baginya. Dengan rendah diri disentuhnya bahu gadis itu dan berkatalah ia, 

"Aku mendapat kesan bahwa kau ini tak cukup cinta padaku, Anna Szegi." 
"Hidup tiba, maut tiba; segala nasib kita di tangan Tuhan, dan aku cinta padamu. Aku hanya ingin tahu lebih dahulu di mana awal terbangnya burung camar tadi dan di mana pula akhirnya...." 

Pemuda itu sangat murung ketika memberikan jawabnya. 

"Tak seorang pun tahu tentang hal itu, Anna Szegi. Itu tak mungkin diketahui, sebagaimana juga tak mungkin bagi kita untuk tahu benar tentang segala sesuatu. Aku hanya tahu bahwa musim panas ini baik sekali, tumpukan jerami ini pun sangat baik. Coba lihat. Padang rumput ini adalah serambi rumah Tuhan yang diberkati, tempat kupu-kupu melangsungkan perkawinan bermadu. Akan kutangkapkan untukmu seekor kupu-kupu yang berbintik cerah." 

la meraih tangan gadis itu sambil mengajaknya menuju bagian padang rumput yang bermandi sinar matahari.

Gadis itu agak enggan. 

"Tidak, tinggalkan aku sendiri, Mihály Galgóczi. Lebih baik kita amati bangau kini mengambil alih tempat burung camar serta burung gereja yang berkicau di atas tumpukan jerami.” 

Pucat dan gemetar, pemuda itu melepaskan tangan Anna Szegi. Maka, duduklah mereka, keduanya terdiam, meskipun berdampingan. Pada bagian-bagian berair di padang rumput itu, seekor bangau kecil tiba-tiba muncul, mula-mula tak sering, lalu makin sering ketika cuaca siang melampias atas padang rumput itu. Mata gadis itu berkaca-kaca ketika berdiri. Berkatalah ia kemudian, 

"Dan sekarang aku akan pulang, jika tidak aku pasti dipukul oleh Ibu. Aku tak tahu apakah aku bisa datang lagi untukmu besok, Mihály Galgóczi."

Pemuda itu terjerat oleh kata-katanya itu seakan-akan orang yang sedang tenggelam. Gadis itu melangkah pulang. dan sekali ia menengok ke belakang sambil terus berjalan menuju ke arah desa, melintas padang rumput di bawah sinar matahari. 

"Kebenaran Tuhan ada tiga," pikir pemuda itu sendiri, dan didambakannya hari ketiga, sambil membabat ladang dan menghimpun jeraminya. Tapi jika hari ketiga pun tidak menghasilkan sesuatu, hanya begini-begini saja, maka tak ada lagi kenyamanan apa pun kecuali maut...kecuali maut .... Sebab, di padang rumput, suratan cinta itu hanya dua: mulai mekar atau menjelang pudar. 

Pada hari ketiga gerimis turun di waktu fajar, dan himpunan jerami seolah bermandi perak. Buluh dan rerumputan tumbuh dari utara ke selatan. Menjelang tengah hari, gadis itu sudah berada di padang rumput lagi. 

"Kemarin aku dipukul Ibu," katanya lupa mengucap salam, lalu dengan lincahnya memeluk batang pohon hawar tempat mereka sekarang bertemu. 

Pemuda itu merasa kehilangan satu denyutan jantungnya, satu denyutan saja, tapi dalam deritanya itu satu denyutan yang terlewat itu seakanakan masa keabadian kecil. Pandangannya terpikat pada batang pohon, dan pada kedua lengan yang memeluk bagian batangnya yang berlumut. Tiba-tiba, gairah yang dipendamnya selama dua hari terasa bergejolak dalam dirinya. Hampir memberontak ia bertanya. 

"Kau dipukuli benar oleh ibumu?" 
“Sangat. Sekarang mereka akan kawinkan aku pula." 

Hanya itu saja yang dikatakan gadis itu. Kedua lengannya merosot lepas dari batang pohon yang dipeluknya, lalu menengadah ia menengok ke puncak pohon yang mengesankan sebuah payung serba tangisan sementara dahan-dahannya menaburkan riwayat-riwayat yang aneh. 

“Lalu mau berbuat apa kau sekarang, Anna Szegi? Apakah kau akan kawin tanpa satu kali pun mencium aku?" 

"Aku akan kawin, Mihály Galgóczi. Sebab, demikianlah keputusan kemarin dan kemarin dulu, dan begitu pula keputusan ibuku. Kemarin malam aku telah mencium tunanganku. Sekarang aku datang menemui kau, kalau-kalau masih ada beberapa kata manis yang ingin kau sampaikan padaku.."

Pemuda itu membeku pada tempatnya berdiri seperti orang dungu yang terpukul. la memandangi gadis itu, dipandangnya juga pohon hawar; keduanya begitu mustahil untuk dimengerti, begitu dingin, begitu kejam. 

"Ya, kejam...," ia tersedu-sedu dan di kedalaman lubuk jiwanya ia terus menangis; tanpa sepatah kata yang diduganya berair dalam. 

Jejak kaki pemuda itu diliputi oleh sinar matahari serta kesedihan yang tak menentu dari gadisnya. Pemuda itu menuju ke air yang kelam. Gadis itu berdiri dan beberapa kali menengok ke atas pada puncak pohon yang mengesankan tangisan, lalu tanpa menoleh ke belakang lagi, berlari pulang. Di rumah ia sudah ditunggu untuk menerima pukulan ibunya serta pelukan tunangannya.. Tapi penduduk desa itu sia-sia menunggu-nunggu kembalinya penggarap ladang yang muda itu. 

Sehari berlalu, dua hari berlalu, ladang-ladang jerami sepi tak terurusi. 
"la menenggelamkan diri," kata penduduk desa itu.

"Ciuman Anna Szegi menggiringnya menuju maut," kata orang lain, karena, sayangnya, musim panas itu telah menyebarluaskan rahasia semua pertemuan mereka di padang rumput itu. 

Burung-burung camar serta awan datang dan pergi sepanjang waktu, sementara rahasia demi rahasia berhimpun di perjalanan menuju surga. Himpunan rahasia itu berubah menjadi badai yang dahsyat, dan guntur melampiaskan marahnya di atas padang rumput dengan gemuruh yang hebat. Langit pun menggelegar suaranya, sedang bumi menggeluduk seakan-akan hari kiamat telah tiba. Di tengah prahara dan kiamat itu, Anna Szegi berlari dalam gaunnya yang kuyup menuju padang rumput. Semak-semak berduri sepanjang jalan melukai kakinya Burung-burung camar, bangau, dan burung-burung lainnya melintasi udara yang sedang mengganas itu. Bagaimanapun segala sesuatu akan berlalu dan segala sesuatu akan punya tempat yang telah ditentukan; hanya mata Mihály Galgóczi yang murung itu tak akan pernah melihat gadisnya dengan harapan yang manis, baik di serambi rumah Tuhan yang sejuk maupun di mana pun. 

Maka, datanglah Anna Szegi, berlari melintas padang rumput yang diberkati curahan hujan; wajahnya dibasuh air hujan dan disapu halilintar, kakinya dipacu angin, maka berhentilah ia di muka pohon hawar itu. Kali ini kesan menangis pada pohon itu tak lagi tampil kepadanya, tidak juga pohon itu membungkuk padanya. Dahan-dahannya menjadi ibarat piatu yang menangis dan bernapas sendirian, pohon itu sepertinya merosot layu dan pasrah menyeluruh, meskipun tidak biasanya orang bisa melihat jejak dosa pada batang pepohonan. 

"Hanya dosaku yang tertulis di atas air dan di dahi pepohonan," begitulah perasaan yang timbul pada Anna Szegi, sambil berlari sekencang-kencangnya menuju air yang pasang di padang itu. Suaminya, ibunya, dan semua orang lain yang datang mencarinya hanya sempat melihat Anna Szegi melewati semak-semak kemudian menghilang dari pandangan. 

Tapi mereka yang datang kemudian, oh, mereka bisa melihat lebih banyak, lebih banyak lagi! 

Badai kini mereda, awan masih ada yang bergantung seolah-olah melekat pada cakrawala, hampa dan tak indah bentuknya, dan matahari masih melemparkan seutas sinar yang berbekas sebagai sekeping cahaya seukur-an tangan manusia. Sekeping cahaya itu gemetar di langit seperti menyuarakan kengerian yang dicanangkan badai, padang rumput, atau siapa saja kesadaran bahwa segala sesuatu di dunia ini begitu tak berkepastian.... tak peduli. 

"Lihatlah, wahai semua orang! Ada ciuman Anna Szegi!" Seorang pria yang juga mencari Anna Szegi kini menunjuk ke langit, dan sambil mengikuti ucapannya setiap wajah di desa itu memandang ke arah sekeping cahaya yang bergetar itu. 

Yang kaya dan yang miskin, yang tua dan yang muda, semua berdiri dengan menanggalkan topi menghadap mukjizat yang indah itu, maka lihatlah, langit telah mengembalikan ciuman Anna Szegi yang hilang itu sebagai pelajaran bagi seluruh warga desa itu.

1939 
a.b. J.E. Szollosy
-Penerjemah: Fuad Hassan



MARI BERBAGI:
Editor

TAMBAHKAN KOMENTAR

5700840368070671462