BLANTERVIO103

Tiga Puncak Drama Amerika - Wiratmo Sukito

Tiga Puncak Drama Amerika - Wiratmo Sukito
9/26/2019
Tiga Puncak Drama Amerika 
oleh Wiratmo Sukito

SASTRADUNIA.COM | Boleh jadi memang benar apa yang dikatakan oleh kritikus drama Amerika David Denby bahwa Broadway — maksudnya adalah teater Amerika yang paling terkenal di seluruh negara itu — kini tinggal merupakan tontonan para turis dan anggota keluarga belaka, tontonan kaum pseudo.[1] Akan tetapi, seni drama di Amerika pernah mencapai puncak kejayaannya dalam masa setelah berakhirnya Perang Dunia Kedua, terutama dalam tahun-tahun lima-puluhan, dengan munculnya Eugene Gladstone O'Neill (1888—1953), Arthur Miller (Lahir tahun 1915), dan Thomas Lanier Tannessee Wiliams (lahir tahun 1911). Martin Gottfried melukiskan dasawarsa pertama setelah berakhirnya Perang Dunia Kedua itu di Amerika sebagai awal dari abad emas seni drama.[2] Akan tetapi, ia tidak memasukkan O'Neill ke dalam puncak-puncak drama Amerika, melainkan, Miller, Williams, dan William Inge (1913—1973). Hal ini dapat dimengerti, karena Miller, Williams, dan Inge lahir dalam dasawarsa yang sama, sedang O'Neill lahir tiga dasawarsa sebelum mereka, sehingga ia tidak seangkatan dengan mereka. Dan ketika dalam tahun 1955 Amerika melahirkan anti-lembaga teater (theatrical anti—institution) yang disebut Off Broadway, O'Neill telah dua tahun meninggal, meskipun gerakan ini boleh dikata lahir terlambat 40 tahun. Sebab, sebenarnya bukan saja karya Williams Summer and Smoke yang dipentaskan di Circle-in-the Sguare dalam tahun 1952, tetapi juga karya O'Nelll satu babak setelah berakhirnya Perang Dunia Pertama[3] di Greenwich Village boleh digolongkan ke dalam gerakan Off Broadway. 

Perang Dunia Kedua yang melibatkan Amerika sejak Jerman menyerang Rusia dalam tahun 1941 telah mendekatkan Amerika kepada Eropa. Sebagai konsekuensi logis dari keterlibatan Amerika ini adalah pementasan-pementasan drama karya-karya Eropa di Broadway. Walaupun jelas bahwa tanpa Amerika mungkin hasil kesudahan Perang Dunia Kedua di Eropa akan berlainan dengan apa yang kini telah terjadi, namun situasi di Amerika setelah Perang Dunia Kedua menunjukkan bahwa angkatan muda terpelajar seolah-olah secara mendadak merasa tidak puas dengan bukan saja kebijaksanaan politik luar negeri pemerintah mereka, tetapi juga mereka, terutama para mahasiswa, menganggap teater. terlalu kuat namun asing, sehingga, tidak memungkinkan perubahan biarpun hanya dalam rupa pikiran saja. Amerikanisme sudah tidak dianggap ideal lagi. Mereka menginginkan perubahan radikal. Hal ini mendorong lebih banyaknya pementasan-pementasan drama Eropa. Sebelum Perang Dunia Kedua, memang Amerika sudah menerima pengaruh realisme Ibsen seperti yang dapat dilihat dari pementasan-pementasan di Broadway dalam tahun-tahun tiga-puluhan. Akan tetapi, dalam tahun-tahun lima-puluh-an, untuk memenuhi tuntutan kalangan mahasiswa radikal yang sudah tidak lagi tertarik kepada idealisme Amerika, Broadway mementaskan karya-karya Beckett, Ionesco, dan Genet, yang oleh Martin Esslin[4] disebut dramawan-dramawan absurd. Waiting for Godot karya Beckett untuk pertama kalinya dipentaskan di Broadway dalam tahun 1956. 

Walaupun begitu, kalangan mahasiswa yang tidak puas dengan Broadway masih tetap tidak puas. Manifes teater yang disebut Off Broadway itu, yang dimaksudkan sebagai suatu pembaharuan untuk menghidupkan kembali drama tradisional Amerika, menampilkan avant-gardisme Eropz dan experimentalisme pribumi itu, terbukti hanya merupakan suatu state of mind, suatu keinginan yang harus dinyatakan tanpa kemungkinan untuk diwujudkan, tetapi, keinginan tersebut kemudian dapat dipenuhi oleh seni film, dan bukannya oleh seni drama. "'Kecewa oleh karena tidak mampu mempengaruhi perkembangan teater,” kata Gottfried dalam tahun 1967, "angkatan baru balik jalan daripadanya, mencari suatu bentuk seni yang cocok dengan zamannya. Dan bentuk seni ini didapat dalam bioskop-bioskop.[5] Lalu 19 tahun kemudian Denby menulis, "Sepekannya saya pergi ke bioskop empat atau lima kali, ke opera dan konser-konser sesering mungkin, ke klub-klub, ke konser-konser rock, ke drag gueens dalam kandang-kandang burung merpati -kesemuanya bagus. Akan tetapi, pergi ke teater -Broadway, Off Broadway. Off-Off Broadway, boleh saja -tak menyenangkan bagi saya. Tak senang saya di sana. Namun saya merasa salah karena jarang pergi (ke teater)... Saya seorang kritikus film, -bagaimana mungkin saya benci kepada teater? Ini hampir tak wajar.[6] 

Dengan latar belakang inilah kita dapat mengerti mengapa drama-drama Amerika yang bermutu -termasuk karya O'Neill Desire Under the Elms (1924), karya Miller Death of a Salesman (1949), dan karya Williams Cat on a Hot Tin Roof (1955) tidak hanya dipentaskan, tetapi juga difilmkan. Padahal, kita mengetahui bahwa pentas memiliki kondisi yang berbeda dengan film. Berbeda dengan drama, film (kino) merupakan drama media, di samping drama televisi dan drama radio. Sifat drama (pentas) adalah hic et nunc (di sini dan sekarang), artinya suatu pementasan yang diulang hasilnya bakal berbeda, betapa pun kecilnya perbedaan itu. Sifat film bukan saja tidak hic er nunc, tetapi juga fokus penonton terpimpin, karena mata penonton diwakili oleh mata cameraman. O'Neill mulai menulis drama dalam dasawarsa kedua dari abad ini ketika ia, sebagai wartawan sebuah surat kabar, dirawat selama enam bulan di sebuah sanatorium. Karyanya yang pertama adalah The Web (Jaringan). Sejak mula pertama ia langsung dipengaruhi oleh Strinberg, tetapi dengan karyanya Anna Christie (1922) dan Desire under the Elms (1924), ia menampilkan suatu elemen yang sangat berarti, yaitu penggunaan gaya bahasa pribumi yang hidup seperti yang dimiliki oleh para dramawan Irlandia. Gaya bahasa pribumi inilah yang telah memberi ciri khas kepada drama O'Neill dan drama-drama Amerika lainnya sejak dasawarsa ketiga bila dibandingkan dengan drama-drama dari Eropa. Menurut Raymond Williams[7] dalam tahun-tahun dua-puluh-an, di Amerika telah terdapat teater ekspresionis dari O'Neill sampai Elmer Rice.[8] Teater ekspresionis adalah sebuah teater protes -gerakannya dimulai di Jerman di sekitar tahun 1910 -terutama protes terhadap tata sosial dewasa itu dan dominasi keluarga. Akan tetapi, pada O Neill, teater ekspresionis ini tidak dicerminkan dalam karyanya Desire under the Elms, melainkan, pada Emperor Jones (1921) dan The Hairy Ape (1922).

Latar belakang cerita Desire under the Elms adalah tanah peternakan milik Ephraim Cabot, yang mempunyai tiga orang anak lelaki, Simeon, Peter, dan Eben. Ketiga anak lelaki peternak ini memperoleh seorang ibu tiri yang jauh lebih muda daripada suaminya. Walaupun merupakan sebuah keluarga, namun masing-masing anggotanya saling merasa asing, termasuk Ephraim Cabot sendiri yang karena kuatnya dan terlalu mau kuasa, terperangkap ke dalam jaringan yang sama dengan jaringan orang-orang lainnya. Hidup di dunia peternakan, seolah-olah setiap anggota keluarga peternak itu merupakan hewan-hewan juga, Jadi. terbalik bila dibandingkan dengan dongengan-dongengan La Fontaine yang mengambil hewan untuk melukis- kan manusia. O'Neill mengambil manusia untuk melukiskan hewan. Jelas sekali dalam percakapan ketiga bersaudara itu babak pertana adegan keempat. Oleh sebab mereka itu laksana hewan, wajarlah Abbie Putnam, ibu tiri merayu Eben, anak tirinya. dan menciumnya. Setelah Eben memberikan ciuman balasan, keduanya berdiri membisu dan tak menarik nafas, terengah-engah seperti dua ekor binatang. (Babak Kedua Adegan Kedua). 

Akan tetapi, masalahnya adalah bagaimana kita sebagai hewan dapat melampaui batas alamiah kita. Simeon dan Peter tetap berada di dalam batas-batas alamiah mereka yang hewani, tetapi, Eben dan Abbie berhasil melampaui batas alamiah mereka, karena cinta yang berkobar di dada mereka masing-masing. Justru oleh karena Simon dan Peter sedikit-sedikit selalu bicara tentang dosa. Drama ini berakhir dengan apotheosis cinta murni yang dilambangkan dengan terbitnya matahari dan dimulai dengan pemandangan terbenamnya matahari. Adalah khas Amerika, berakhir dengan optimisme mengenai masa depan. SA WI 59

Kalangan kritik drama, misalnya saja Williams[9] setuju bahwa O'Neill merupakan dramawan terpenting di Amerika, tetapi di masa setelah berakhirnya Perang Dunia Kedua, adalah Arthur Miller yang tampaknya paling menjadikan tradisi Amerika paling hidup dan paling subur. Dengan karya-karyanya yang lebih komunikatif, seperti yang misalnya dapat dilihat dari Death of a Salesman, Miller telah merangsang membanjirnya penonton teater sedemikian rupa, sehingga mereka seolah-olah diilhami untuk tertarik kepada drama yang lebih sulit seperti karya-karya O'Nelll. Pengalihannya dari pentas ke film membuat karyanya lebih mudah lagi dimengerti. Desire under the Eims juga telah difilmkan dengan skenario Irwin Shaw dan disutradarai oleh Delbert Mann, tetapi, tidak sekomunikatif Death of a Salesman

Walaupun Miller mengatakan bahwa perluasan imajinasi penonton itu tak ada batasnya selama apa yang disebutnya internal logic of the play tetap tidak langgar[10], namun suatu kali ia merasa seolah-olah memperoleh hadiah ketika penonton sesuai dengan harapannya diam terharu pada suatu adegan. Kepuasan hati seorang dramawan (penulis naskah drama), seperti Miller, tercapai bukan saja apabila ia berhasil melihat pementasannya sesuai dengan apa yang diharapkannya, tetapi, juga berhasil memperoleh apa yang diinginkannya dari penonton. Dan tidak setiap dramawan sebahagia Miller. Akan tetapi Death of a Salesman sendiri merupakan suatu tragedi. Yaitu, tragedi seorang ayah yang dengan kematiannya mengorbankan diri untuk anak-anaknya, namun, tidak dihargai. Protagonisnya adalah Willy Loman, tetapi tidak sebagai orangseorang, melainkan, sebagai citra seorang pedagang yang sentral dalam tragedi ini. Seperti diterangkan sendiri oleh Miller pada ulang tahun pertama pementasannya, Death of a Salesman adalah ”'tragedi seorang manusia yang berpendapat bahwa ja sendirian saja tidak memenuhi persyaratan yang dituntut bagi umat manusia oleh orang-orang belum berpengalaman yang terbatas pengetahuannya yang menempati kantor-kantor siaran radio dan periklanan.[11] Tragedi ini masih tetap sentral bahkan hingga kini bahwa seorang tua yang dengan niat suci untuk mengabdi kepada angkatan muda yang dilahirkannya tidak dapat dimengerti. Pada hal, menurut kalangan kritik teater Amerika, Miler sangat komunikatif. Barangkali justru oleh karena itu. 

Apa yang dalam pada itu perlu diketahui ialah bahwa Miller tidak bebas dari pengaruh ekspresionisme. Seperti pernyataannya yang dikutip oleh Williams, "Saya selalu tertarik dan bertolak oleh kecemerlangan ekspresionisme Jerman setelah Perang Dunia I, dan satu tujuan dalam Salesman adalah memakai tangan pendek yang cukup mentakjubkan bagi perwatakan-perwatakan 'merasai' kemanusiaan daripada tujuan-tujuan pertunjukan yang orang-orang Jerman tidak menggunakannya.[12] Ekspresionisme teater telah pula mempengaruhi O'Nelll. 

Di dunia teater, ekspresionisme mula-mula dipelopori oleh Strindberg dalam karya-karyanya yang terakhir. Akan tetapi, sebagai gerakan, dilancarkan oleh Jerman menjelang tahun 1914, menjelang pecahnya Perang Dunia Pertama. Pengaruh Strindberg juga sudah terasa pada Tennessee Williams, setidak-tidaknya pada karyanya Cat on a Hot Tin Roof yang tema sentralnya, dengan protagonis Brick, adalah reform yang dicerminkan dengan reform seks. Para kritik teater pasti akan teringat kepada Frau Julia karya Dtrindberg (1888), dimana tampak menyolok alienasi (perasaan asing dan terasing) timbul oleh masalah seks. Dibandingkan dengan Miller (Death of a Salesman), karya Williams ini (Cat on a Hot Tin Roof) terbalik. Yang pertama melukiskan idealisme sang ayah yang tidak dimengerti oleh sang anak, sedang yang terakhir melukiskan idealisme sang anak yang tidak dimengerti oleh sang ayah. Walaupun begitu, kedua-duanya mempunyai latar belakang krisis kapitalisme Amerika setelah berakhirnya Perang Dunia Kedua, tetapi bukannya kapitalisme Amerika sebagai sistem ekonomi, melainkan kapitalisme sebagai sistem kebudayaan. Menurut pendapat Miller!2, Williams tidak berhasil meyakinkan penonton kebangkitan kembali daya seksual Brick sebagai sukses reform yang hendak diperjuangkannya. Dengan perkataan lain, yang tinggal tetap cita-cita, karena angkatan muda Amerika yang kemudian bergolak tidak tahu dengan pasti mereka hendak kemana. 

Hal ini kemudian terbukti dari Peristiwa Watergate dalam tahun-tahun tujuh-puluh-an mengingatkan kita kepada kebenaran kesimpulan Henrik Ibsen dalam karyanya Vildanden (Bebek Liar), 1884, bahwa kebenaran itu berbahaya bagi siapa yang tidak siap untuk menerimanya. Dalam tahun 1973 kelihatannya rakyat Amerika siap untuk menerima kebenaran Watergate, tetapi, sesungguhnya mereka hanya berlagak telah siap, sehingga, akibatnya adalah hilangnya keyakinan kepada diri sendiri sampai tiba saatnya ”Amerika is back”.***

Endnote:
1. David Denby, Stranger In A Strange Land: A. Moviegoer at the Theatre, dalam At/antic Monthly, January 1985.
2. Martin Gottfriend, A Theatre Divided: The Postwar American Stage, Little, Brown and Company, Boston—Toronto, 1957, hal. 19.
3. Sebuah artikel CSMNS yang ditandatangani oleh Melvin Maddocks, "Off Broadway'' - Frontier of Amerika Theatre, dimuat di harian Indonesia Observer, Jakarta, 14 Juni 1985.
4. Martin Esslin, The Theatre of the Absurd, 1961 dan An Anatony of Drama, 1976.
5. Gottfried, op.cit. hal. 20
6. Denby, op.cit. hal. 37.
7. Raymond Williams, Drama from Ibsen to Brecht, 1968 hal. 304
8. Elmer Leopold Rice (1892-1967) adalah seorang dramawan Amerika yang sebagaimana O'Neilt, menulis naskah dramanya yang pertama, On Trial, dalam thn 1914. Ia edalah dramewen Amerika pertama yang menggunakan teknik Bachbank film. Karyanya The Adding Machine (1923) merupakan contoh sebuah tetater protes yang menyindir pengotak-kotakan manusia dalam abad mesin.
9. Raymond Williams, op. Cit. Hal 304
10. Robert A. Martin (editor dan pengabtar), The Theater Essay of ARTHUR MILLER, Penguin Books, 1978. Hal. 14.
11. Ubid, hal. 15
12. The theater Essays, op.cit, hal. 191.

MARI BERBAGI:
Editor

TAMBAHKAN KOMENTAR

5700840368070671462