BLANTERVIO103

Sinkichi Takahashi, Penyair Besar yang Berangkat dari Zen Budhisme - Abdul Hadi W.M.

Sinkichi Takahashi, Penyair Besar yang Berangkat dari Zen Budhisme - Abdul Hadi W.M.
9/19/2019
Sinkichi Takahashi, Penyair Besar yang Berangkat dari Zen Budhisme
oleh Abdul Hadi W.M.
Sinkichi Takahashi, Penyair Besar yang Berangkat dari Zen Budhisme - Abdul Hadi W.M.

SASTRADUNIA.COM | Sinkichi Takahashi mungkin merupakan satu-satunya penyair mistis-religius Jepang yang muncul di abad ke—20 dengan reputasi internasional, Sebagai penyair mistis-religius namanya bisa dijajarkan dengan tiga rekannya dari Asia, yaitu Kahlil Gibran dari Lebanon, Tagore dari India dan Mohammad Igbal dari Pakistan. Makoto Ueda, kritikus dan ahli sastra Jepang terkemuka, mengatakan bahwa memang banyak penyair dan pengarang Jepang yang tertarik pada Zen Budhisme, dan karya-karyanya memancarkan nilai-nilai Zen, termasuk Yasunari Kawabata dan Yukio Mishima. Namun hanya Sinkichi Takahashi sajalah yang benar-benar mengikuti disiplin Zen yang ketat itu dan melahirkan karya-karyanya dari jantung renungan dan ajaran Zen Budhisme. 

Lahir di sebuah desa nelayan di Shikoku pada tahun 1901, masa mudanya dilewati dengan berbagai kesulitan dan petualangan. Menjelang tamat sekolah dagang di kota kelahirannya pada usia 18 tahun, dia pergi ke Tokyo tanpa pamit kepada orang tuanya. Dia patah hati karena gadis yang dia cintai digaet dan dikawini oleh pemuda lain. Karena tak punya sangu yang cukup, dia benar-benar terlunta selama di Tokyo. Berkali-kali dipindah kerja dan kerap pula berurusan dengan polisi. Tapi tekadnya untuk mengembangkan kariernya. Namun karena typus, dia harus mendekam di rumah sakit selama beberapa bulan. Setelah sembuh dia bekerja sebagai pesuruh kantor sebuah surat kabar. Usianya pada waktu itu hampir dua puluh tahun. 

Suatu peristiwa tak terduga yang membuka lembaran hidupnya di bidang sastra, terjadi. Pada suatu hari dia membaca sebuah artikel di surat kabar mengenai gerakan Dada yang dipelopori oleh penyair Tristan Tzara, Dia sangat tertarik dan mulailah dia menulis puisi-puisi Dada dan karangan tentang Dadaisme. Karangan-karangannya ini sangat mengguncangkan publik sastra, sebagaimana kegemparan yang dibuat Chairil Anwar ketika membaca sajak ?”Aku” nya pada usia 20 tahun. Seorang kritikus waktu itu menyebut Sinkichi Takahashi sebagai Rimbaud Jepang. – 

Namun begitu masih sedikit perhatian yang dia peroleh dari para kritikus dan hidupnya sendiri masih terlunta-lunta, penuh kegelisahan. Konon dia juga pernah bergabung dengan kelompok sosialis dan komunis. Pada tahun 1928, ketika usianya telah 27 tahun, dia mulai terpikat pada Zen Budhisme, dan mendadak meninggalkan Dadaisme dan Marxisme. 

Sajak itulah dia mengikuti latihan-latihan kerohanian Zen yang terkenal keras itu dengan tekun. Tapi malang, belum seperempat jalan, dia terjatuh dari tangga dan pingsan. Selama beberapa hari dia tidak sadar, lalu dipulangkan ke rumahnya di Shikoku. Di sana dia tinggal di kamar yang sempit selama tiga tahun sambil menunggu kesembuhannya, dan mulai lagi menulis puisi. 

Pada tahun 1932 dia kembali ke Tokyo. Di sana dia bertemu dengan seorang pendeta Zen yang sangat terkemuka dari sekte Rinzai, Shizan Ashikaga. Shinkichi sangat tertarik pada ceramah-ceramah Shizan Ashikaga, khususnya tentang sator atau pencerahan. Pada tahun 1935 Sinkichi memutuskan untuk menjadi muridnya dan tinggal di kuil sang pendeta, Shogenji. Hal itu berlangsung selama tujuh belas tahun. 

Berbeda dengan murid-murid yang lain, Sinkichi Takahashi berkali-kali memperoleh satori atau pencerahan. yaitu semacam kasyf (tersingkapnya tirai) di dalam tasawuf. Pengalaman misterinya ini dia uraikan dalam dua buah esainya yang terkenal. Pertama kali ketika dia mengalami satori pada usia 40 tahun, selama masa nyepi atau khalwat di kuil yang terletak di lereng gunung. Dia memasuki ruang gurunya untuk mendengarkan keterangan tentang koan (masalah meditasi yang biasanya mengandung paradoks-paradoks). Ketika hendak mengandung paradoks-paradoks). Ketika hendak masuk, seperti biasa, dia harus membunyikan lonceng yang tergantung di pintu. Tapi suara lonceng kali ini kedengaran lain dari suara yang biasanya dia dengar. Pengalaman lain adalah ketika dia hendak mencuci tangannya di bak air. Dia heran, dia sama sekali tak melihat bayang-bayang dirinya. Itu adalah pertanda bahwa dia telah mengalami satori, semacam keadaan kosong atau fana. 

Tahun 1952 dalam usia 51 tahun Shinkichi baru memperoleh ijazah dari gurunya. Waktu itu dia telah kawin setahun yang lalu. Sejak itulah karya-karyanya, berupa puisi dan esai, mengalir dengan deras. Khusus puisi-puisinya lahir dari meditasi yang dia praktikkan dengan ketat. Di antara karya-karyanya yang terkenal adalah Puisi dan Zen (1969) dan Zen dan Kesusasteraan (19170) yang menjelaskan tentang estetika dan puitika Zen. 

Keadaan terbaik bagi seorang Zen untuk melahirkan karya seni ialah keadaan yang disebut zenki. Dalam keadaan zenki jiwa seseorang bebas dari bentuk, karyanya mengalir spontan dari diri yang tanpa wujud. Bagi seorang penyair Zen, seperti diuraikan oleh guru Zen terkemuka Ikemoto, segala sesuatu yang indah dan segala sesuatu di dalam alam ini adalah Mutlak. Ia bebas dari rasionalitas. Berangkat dari persepsi semacam inilah seorang penyair dapat memberikan gambaran yang konkret terhadap pengalamannya. Imej-imej yang diambil dari alam dengan demikian menunjuk pada keadaan jiwa si penyair. Seperti tujuan meditasi, puisi-puisi Zen diciptakan untuk memperterang persoalan yang ingin dijawab oleh sang pencari, yaitu untuk menghapuskan perbedaan antara objek dan subjek. Atau perbedaan antara si pencari dan hal yang dicari. Dilihat dari titik pandang ini sajak-sajak Zen tidak Obskur, juga jika kita temui lompatan-lompatan imej dan simbol sebagaimana puisi-puisi sufi. 

Puisi, seperti alam semesta, bisa dilihat dari empat sudut. Yaitu dari sudut fenomena, noumena (barang yang dilihat dengan pemahaman), identitas noumena dan fenomena dan terakhir, bisa dilihat dari hubungan timbal balik noumena dan fenomena. Signifikansi dan keindahan puisi terletak pada penyajian ungkapannya tentang dunia di mana fenomena dan noumena beridentifikasi satu sama lain. Pada umumnya puisi-puisi semacam itu ringkas, kuat, tegar dan mengandung keterangan. Emosi sangat terkendali dan imej memainkan peranan penting hingga kerap disamakan dengan puisi-puisi imajis. 

Sebagai contoh adalah sajak Shinkichi Takahashi yang bersahaja, namun mengandung kedalaman ini:

Angin berembus kencang antara pepohonan
cemara Menuju awal
Dari saat-saat lewat yang tak kunjung berakhir.
Dengar: kau telah mendengar segala hal.

Bagi seorang Zen sebenarnya, seperti halnya ag1 seorang Sufi kata-kata tidak sanggup menyatakan pengalaman dan inti ajaran mistik dengan sempurna, Pengalaman mistik tak bisa diungkapkan secara deskriptif. Ia hanya bisa ditunjukkan dengan imej-imej dan simbol-simbol. Bandingkan pandang: an Ini dengan pandangan Ibn 'Arabi atau Jalaluddin Rumi, atau dengan pandangan Lao Tze, penganjur yang menjadi sumber ajaran Zen. Dalam Pe bunya Sastra Jepang Modern dan Zen, Shinkichi Takahashi juga berpendapat serupa. Namun begitu, dia juga menyatakan, bahwa, "Seseorang mungkin bisa memasuki dunia Zen melalui jalan sastra, namun tak terelakkan harus melalui jalan yang berliku-liku.” 

”Puisi,” katanya, "amat dekat dengan kebenaran, walaupun itu bukan sepenuhnya kebenaran.” Dengan kata lain, puisi hanya merupakan substitusi verbal dari kebenaran, dan kebenaran itu haruslah dicari secara terus menerus. Peralatan yang terbaik untuk menangkap simpul-simpul kebenaran, menurut pendapatnya, adalah intuisi. Bagi seorang Zen hal ini bisa didapatkan dengan meditasi dan latihan-latihan kerohanian. Pandangan ini ternyata diakui oleh seorang ilmuwan besar abad ke—20 Einstein, dan banyak ilmuwan lain. 

Contoh lain dari puisinya yang mencerminkan filsafatnya sebagai seorang Zen adalah yang berjudul "Tak seorang pun pernah mati”. Puisi yang bersahaja ini tentu sulit diterima oleh logika, tapi bagi seorang Zen logis saja. Di alam semesta ini sebenarnya tak ada yang mati, sebab jiwa itu kekal. 

Pandangan Sinkichi tentang jiwa dilukiskan dalam sajaknya "Awal dan Akhir”, Sajak ini menjelaskan lebih jauh pandangannya yang diutarakan dalam sajaknya "Tak Seorang Pun Pernah Mati”.

Kita tak bisa berkata di mana jiwa maujud.
"Ia maujud di mana-mana. Semesta penuh dengannya:
Jiwa berada di balik wujud besar dan kecil.
Ja tak pernah sirna.
Selalu maujud setelah jazad mati.
Karenanya tiada jiwa yang mati.
Jiwa ada sebelum kita lahir.
Jiwa tak pernah dilahirkan.

Kandungannya tentang kekekalan jiwa dan hubungan tubuh dengan keluasan semesta bisa dilihat pada sajaknya ”Tubuhku”:

Aku telah pecah berkeping-keping:
daun-daun hijau yang menebal di pohon persimmon
adalah kedua tanganku dan kaki gemeresik di angin. 
Kupu-kupu indah yang menggelepar
menaruh mataku di bintik-bintik sayapnya.
Masa depan dikelilingi
oleh dinding bumi yang berputar.
Seekor anjing hamil oleh bumi,
roh-roh suci menetek buah dadanya.
Puting susu itu menonjol seperti titik pada
Potlot merah.
Aku telah berenang di api dan ar.

Jalan datar mengalir antara kakiku yang
mengangkang.
Langit adalah tubuhku.

Dalam sajaknya "Musim Semi” kita lihat kembali pandangannya yang optimistis terhadap hidup:

Musim semi seratus tahun silam
begitu hangat: hidup, rasa riang
terpampang di telapak tanganku.
Masa depan adalah seekor burung
Yang menggores iseng, masa silam adalah
ampas –

segalanya ada di sini, sekarang ini.
Pikiran memercikkan api pada pikiran
memercikkan api: tanah semenanjung
bengkak oleh waktu, timbunan gelombang.
Karang muncul, karang tenggelam.
Tak ada ruang, tak di mana pun ---
seratus tahun hadir di sini,
musim semi akan sehangat dulu.

Sinkichi Takahashi yang kini berusia 85 tahun sekarang tinggal di sebuah rumah mungil dengan jalan yang sempit di daerah Nakano, Tokyo. Di situlah dia menikmati hari-hari tuanya ditemani istrinya yang setia, dan putri tunggalnya yang cantik dan pemalu, berusia 29 tahun. Kehidupan mereka tampak damai dan tenang di tengah gemuruh kota Tokyo yang hibuk. 

Dunia penyair baginya adalah dunia yang penuh ketakjuban dan persoalan. Ketika ditanya apakah —sebagai penyair dia tidak mengalami konflik dengan menulis filsafat, dan apakah dia benar-benar puas sebagai penyair ketika menulis buku-buku tentang Zen, dia menjawab: '"Tak ada konflik sama sekali.” 

Dia kemudian merujuk pada apa yang dikatakan oleh Nagarjuna di dalam buku Worldsof the Buddha, bahwa kebenaran ada dua macam: mutlak dan relatif. Penyair, katanya, mesti bertalian dengan kebenaran yang mutlak, memberikan kesaksian tentang kebenaran mutlak itu, mengalaminya. Filosof bertalian dengan kebenaran yang relatif, menggunakan segala macam siasat dan strategi untuk meyakinkan pembacanya. Dan ragu-ragu Zen telah lama paham akan kedua hal ini serta perbedaannya. 

Ketika ditanya apakah dia menulis puisi untuk segelintir pembaca, dia menjawab: "Saya tak tahu, tak bisa mengatakan dengan pasti. Ketika saya menulis puisi tak ada beban pada diri saya. Pikiran bahwa puisi sulit tak pernah mengganggu saya, karena saya tak pernah mengalami bahwa membuat puisi itu sulit.” Dia juga menyatakan bahwa sampai kini dia terus melakukan meditasi, sebab dalam meditasi dia selalu menyaksikan dunia lahir kembali dan lahir kembali dengan mata telanjang.
MARI BERBAGI:
Editor

TAMBAHKAN KOMENTAR

5700840368070671462