BLANTERVIO103

Peranan Sastrawan dalam Krisis Dunia - Kanjana Spindler

Peranan Sastrawan dalam Krisis Dunia - Kanjana Spindler
9/23/2019
Peranan Sastrawan dalam Krisis Dunia 
oleh Kanjana Spindler 


Peranan Sastrawan dalam Krisis Dunia - Kanjana Spindler

Karangan ini tidak disusun di atas sebuah mesin tik tua, tergeletak di hadapan saya, yang terpencil sendirian dan sedang bergulat untuk melahirkan kekuatan kreatif. Karangan ini dicetak di atas layar hijau, dihimpun secara elektronis, disemburkan melalui ruang dan waktu, kemudian dimunculkan kembali, diatur bingkainya, dihalau ke kiri, geser ke kanan dan akhirnya dimuntahkan baris demi baris yang rapi dengan ketepatan mekanis. 

Anda lihat bahwa saya seorang wartawan dan bukan seorang sastrawan. Di kantor saya, satu dari beberapa kantor surat kabar di Bangkok yang dilengkapi dengan keampuhan elektronik mutakhir, para wartawan telah dijejalkan ke muka terminal input masing-masing. Di Fleet Street, yang dahulu pernah menjadi tuan rumah bagi sebuah tradisi besar dalam jurnalisme Inggris, peralatan ini masih belum diterima secara luas. Tapi di Thailand yang memiliki pendapatan per kapita di bawah US$900 setahun, perlengkapan semacam ini sudah dianggap biasa. Dengan uang senilai harga terminal yang saya pakai, saya bisa memberi makanan, pakaian, rumah dan pendidikan buat lima keluarga miskin di Thailand selama setahun. 

Satu hal lagi, saya telah menjadi salah seorang korban format, yang saya yakin keadaan itu akan menghasilkan omong kosong saja. Jika anda diliputi keraguan, maka kutiplah seseorang yang punya otoritas. Pertama-tama saya tawarkan beberapa kutipan yang akan mengambil sebagian dari seluruh karangan ini. 

Dalam Speaking and Language: Defense of Poetry, Paul Goodman berbicara tentang dampak dari format suatu media: ”Yang saya maksud dengan menerapkan format adalah menetapkan pada proses kesusasteraan suatu ragam yang sebetulnya bukan merupakan hakekat karakter kesusasteraan. Format tidak memiliki kekuatan sastra bahkan menghancurkan kekuatan sastra. Format sangat merusak ragam-ragam lain yang sudah menjadi patokan umum, karena walaupun format mengatakan ragam-ragam umum namun sambari melucuti unsur-unsur perasaan yang dikandungnya ...”

Jadi, seorang penyunting memenggal satu kalimat di sini dan satu kalimat di sana dan juga alinea yang terakhir, karena. 3.000 kata adalah batas ukuran yang tepat menurut format majalah. Seperti halnya seorang asisten penyunting yang menyusun kembali tulisan saya, ternyata itu hanya supaya dia punya kesibukan dan mendapatkan gaji. Kolom-kolom dalam harian harus tetap muncul walaupun si kolumnis hari itu tidak punya pesan untuk disampaikan...Pada majalah yang lain jelas-jelas menjiplak ragam majalah Time...

Jelas sekali, pengaruh format menjadi lebih parah jika seorang sastrawan harus menyesuaikan dirinya pada ukuran format dahulu dan baru menulis, bukannya sebaliknya. Oleh karena mengarang adalah pekerjaan yang bersifat spontan dan orisinal, maka seorang sastrawan, akibat batasan format, tidak bakal menghasilkan karya aslinya dan akhirnya semangat patah, luluh lantak. Inilah kontradiksi-kontradiksi jaman sekarang. Melaju ke arah utopia teknologi atau ke arah masa kegelapan dan kehancuran? 

Saya memperkirakan, seorang wartawan itu semacam sastrawan dari kelompok papan-bawah. Memang begitu di Thailand, meskipun kami boleh dibilang mempunyai pers yang paling bebas di Asia, Jurnalisme maupun profesi, sementara para sastrawan Thailand dapat dikatakan mempunyai status yang terbatas dan beberapa yang ternama bahkan menikmati pengakuan masyarakat kami, yang sejajar dengan lektor.

Dengan memandang citra-diri yang begitu miskin, tiap wartawan Thailand akan ragu-ragu menawarkan pikirannya di muka suatu kumpulan sastrawan-sastrawan tulen. Tetapi bagaimanpun juga, saya sudah terikat oleh perjanjian untuk ikut melihat ke masa mendatang. Jikalau saya lebih banyak bertanya daripada menawarkan jawaban-jawaban, maka sudilah anda menganggapnya sebagai siswa yang menanyai guru-gurunya. 

TENTANG BAHASA

Saya tawarkan lagi empat kutipan. Yang pertama dari prakata sebuah buku oleh Neil Postman dan Charles Weingartner berjudul Teaching as A Subversive Activity: 

"Buku ini didasaykan pada dua asumsi. Yang satu tidak kami sangsikan lagi kebenarannya, yang lain masih sangat dipertanyakan. Yang kami maksud adalah kepercayaan bahwa (a) pada umumnya kelangsungan hidup masyarakat kita terancam oleh masalah-masalah yang sebelumnya tidak pernah terjadi, yang jumlahnya makin meningkat dan sampai kini tidak terpecahkan, dan (b) bahwa sesuatu dapat dilakukan untuk memperbaiki situasi. Jika anda tidak mengetahui mana asumsi yang tidak kami sangsikan dan mana yang masih dipertanyakan, maka anda baru saja selesai membaca buku ini...” 

Yang kedua disebutkan oleh seorang pria yang meninggal pada tahun 1677 yang lebih baik namanya tidak saya sebut . Cukup diterangkan bahwa dia seorang Amerika: 

"Bersyukurlah pada Tuhan bahwa tidak ada sekolah atau percetakan yang bisa didapat dengan cuma-cuma, ....karena pengajaran telah mengakibatkan ketidakpatuhan serta pembangkangan dalam dunia ini dan cetak mencetak telah menyebar-luaskannya...Tuhan menjaga kita dari keduanya.” 

Kutipan ketiga sama kekalnya seperti juga umurnya yang sudah tua. Saya yakin apa yang dikatakannya masih akan berlaku untuk seribu atau sepuluh ribu tahun lagi, meskipun pada saat itu hampir pasti tak ada orang yang akan membacanya: 
"Tatkala seorang murid bertanya tentang apa yang harus pertama-tama dikerjakan untuk membangun kembali Negara, Confusius menjawab: ...Perbaikilah bahasa...Kalau bahasa tidak benar, maka apa yang dikatakan bukan seperti apa yang dimaksudkan, maka apa yang harus dikerjakan akan tetap terbengkalai. Kalau ini dibiarkan. begitu saja, maka akhlak dan seni akan merosot. Kalau akhlak dan seni merosot, keadilan akan sesat. Kalau keadilan tersesat, rakyat akan terperangkap dalam kebingungan. Oleh karena itu jangan berkata-kata semaunya. Ini hal terpenting di atas segala-galanya."
Kutipan terakhir diambil dari ajaran seorang pendeta Budha, Budhadasa yang tinggal di sebuah pertapaan di rimba sebelah selatan Thailand: 

”Kita memiliki diri kita sendiri, kita memanfaatkan diri kita, kita melatih diri kita, dan kita mengerjakan hal-hal yang berhubungan dengan diri kita tiap hari tanpa mengetahui sesuatu pun tentang diri kita itu, tanpa secara memadai sanggup menangani masalah-masalah yang berkenaan dengan diri kita itu. .. Marilah kita mulai mempelajari ajaran Budha dengan mula-mula mengenali kodrat alamiah kita sendiri yang sebenarnya.” 

KRISIS GLOBAL 

Pada hemat saya, gagasan-gagasan pokok yang terdapat dalam empat kutipan tersebut mengajukan batu-batu pijakan yang kita perlukan dalam usaha melihat masa mendatang. 

Kutipan yang pertama memaparkan skenarionya. Kita menghadapi krisis dalam dimensi-dimensi baru yang mengancam kelangsungan hidup masyarakat keseluruhan. Tema dari krisis ini adalah bahwa perubahan yang terjadi terus-menerus , dengan suatu percepatan, yang makin merata penyebarannya, merupakan karakteristik yang paling menonjol dari bumi kita ini. Masalah ini timbul karena kita tampaknya telah gagal memahami isyarat-isyarat perkembangan itu. Peranan kebanyakan pranata-pranata kemasyarakatan kita masih dalam rangka mempertahankan status guo, dan bukannya untuk membentuk sesuatu yang sesuai dengan keadaan saat ini atau keadaan yang mungkin akan berlaku. 

Teknologi merupakan segala perubahan yang makin cepat ini. Saya akan menggaris-bawahi sifat sHat percepatan ini dengan sebuah contoh mengenai perubahan teknologi dalam media komunikasi suatu wilayah yang menerima dampak teknologi yang paling mendalam. Contoh ini diambil dari buku yang sama karangan Postman dan Wiengartner: 

”Bayangkan sebuah jam dinding yang memperlihatkan enampuluh menit pada wajahnya. Umpamakan saja jam dinding itu mewakili waktu yang sudah dilalui manusia untuk memperoleh sistemsistem penulisannya. Jam tersebut misalkan mewakili 3000 tahun dan setiap menitnya mewakili 50 tahun. Pada skala ini tidak ada perubahan berarti di bidang media sampai dengan sembilan menit yang lalu ketika alat cetak mencetak tiba. Kemudian tidak ada apa-apa sampai dengan hampir tiga ' menit yang lalu ketika telegraf, foto dan lokomotif tiba. Kurang dari dua menit berikutnya telepon, mesin cetak rotary, pesawat terbang dan radio muncul . Satu menit yang lalu muncul film yang bersuara. Televisi tiba kurang dari 60 detik yang lalu, komputer dalam 30 detik terakhir, satelit-satelit komunikasi yang paling potensial di banding lainnya menampakkan diri dalam lima detik yang lewat . .. Kita mungkin dapat menempatkan hampir seluruh wilayah pengetahuan di wajah jam dinding ini dan menjumpai ukuran-ukuran yang kira-kira sama. Inilah yang dimaksud dengan ledakan pengetahuan.” 

Saya bicarakan konsep tingkat percepatan perubahan ini kepada ayah saya. Ia berpendapat bahwa perubahan bukan barang baru, tetapi permisalan dengan wajah jam dinding menjelaskan kepada saya bahwa sekitar tiga menit yang lalu telah timbul suatu perbedaan kualitatif dalam karakter perubahan. Tingkat perubahan itu telah bergerak secara dramatis. 

Karena kemungkinan kita akan bolak-balik melalui titik ini dalam setiap diskusi mengenai sastrawan dan masa mendatang, maka saya benarbenar ingin kembali lagi dengan cara memakai satu kutipan lain, kali ini dari salah seorang filsuf besar abad ini Alfred North Whitehead. Pada tahun 1932 dia mengatakan begini dalam bukunya The Adventures of Ideas:

"Teori-teori sosiologi kita, filsafat politik kita, pepatah-pepatah praktis dalam usaha kita, ekonomi politik kita, dan doktrin-doktrin pendidikan kita semuanya berasal dari satu tradisi para pemikir besar yang sambung menyambung dan dari contoh-contoh praktis sejak zaman Plato.... sampai akhir abad yang telah lewat, Keseluruhan tradisi ini telah dibelokkan oleh asumsi jahat yang menyatakan bah wa tiap generasi akan tumbuh secara kokoh di antara kondisi-kondisi yang berpengaruh atas kehidupan generasi sebelumnya, dan generasi tersebut meneruskan kondisi-kondisi itu yang selanjutnya akan melingkupi kehidupan anak-anaknya pula. Kita hidup dalam periode pertama sejarah umat manusia di mana asumsi itu ternyata salah.” 

Saya tidak tahu berapa banyak dari kita pada pertemuan ini yang menyetujui skenario kelumpuhan global yang suram dan binasa. Ini tidak jadi soal sebenarnya. Apa yang harus menjadi perhatian kita semua adalah bahwa kekuatan-kekuatan yang betul-betul berbeda daripada yang pernah ada di masa lalu, hari ini tengah beraksi di muka bumi. Pria Amerika tanpa nama yang saya sebut sebelumnya mengatakan hal yang tepat sekali. Karena pengajaran telah mendatangkan informasi serta pengetahuan. Hal-hal inilah yang membawa serta apa yang dia sebut sebagai "ketidakpatuhan dan pembangkangan ke dunia ini” 

Para sastrawan, paling tidak sejak usainya Perang Dunia kedua, telah dipaksa bekerja dalam lingkungan masyarakat yang terhanyut dari fondasinya. Bahwa masalah-masalah yang dihadapi negeri-negeri yang cepat berkembang sangatlah rumit, namun itu masih dapat diperdebatkan. Tetapi derajat penempatan dan perubahan serta tingkat keruntuhan skala waktu merupakan masalah yang lebih besar lagi bagi dunia kita. Tambahan lagi, kebanyakan dari kita masih harus membebaskan diri dari kungkungan kolonialisme dalam bentuk lain, sebelum kita dapat melakukan pencarian akar-akar kepribadian kita. 

Di dalam suasana lingkungan seperti itu tampak bagi saya, seorang sastrawan hanya bisa dianggap sebagai sebuah perahu penyelamat. Saya kira seorang Sastrawan tidak diancam bahaya sehingga dapat menjadi lapuk, tenggelam oleh dampak teknologi baru dan media baru. Tapi saya pikir ada bahaya nyata yang bisa membuat para sastrawan, seperti juga mahluk-mahluk hidup lainnya, menjadi kehilangan kendali diri. Sepanjang sejarah Umat manusia sumbangan khas dari para sastrawan berbentuk sebagai cermin bagi anggota-anggota masyarakat lainnya. Tetapi sekarang semakin sulit saja buat setiap orang yang waras dari tiap masyarakat untuk tetap dekat berhubungan dengan kenyataan atau bahkan untuk tetap mengenali kenyataan, 

Kebutuhan kita akan sastrawan-sastrawan yang besar dan, saya tambahkan lagi, juga pendidik-pendidik yang besar, belum pernah sedemikian mendesak. Biarpun ada jutaan buku yang terbit setiap tahunnya, dan juga televisi, radio, dan alat komunikasi berteknologi tinggi, seorang sastrawan yang menyodorkan sesuatu yang sah untuk dikatakan, sastrawan yang menyentuh kebenaran, akan selalu didengar. Masalahnya bukan hanya, apakah seorang sastrawan akan tenggelam dalam tetek-bengek komersial, tetapi masalahnya apakah anda sebagai sastrawan-sastrawan masih memiliki sesuatu yang berarti untuk dikatakan. 

Alat utama seorang sastrawan adalah bahasa. Ini sebabnya mengutip ucapan Confusius. Dia berkata, jika bahasa tidak dipakai secara benar maka rakyat akan berdiri kebingungan. Saya kira bahasa yang benar memerlukan dua hal: yang pertama, sesuatu yang sah dan tulus untuk dikatakan, dan yang kedua, menggunakan ketrampilan serta alat-alat kesusastraan secara tepat untuk menyatakan apa-apa yang ingin dikatakan. Sebagai seorang tukang atau ahli-kata dalam ragam bahasa, seorang sastrawan mampu menghapuskan warna sayap seekor kupu-kupu. Sastrawan mampu berbuat seperti orang Eskimo yang bisa memilih satu kata dari 45 kata-kata untuk menguraikan satu ciri khusus atau kualitas salju. Tidak ada ganti buat suatu keahlian pertukangan semacam itu seperti juga tidak ada gantinya buat bahasa yang benar. 

MENGUNJUNGI BAYANG-BAYANG YANG MENGHILANG

Krisis dalam masyarakat global ini tampak sedemikian besarnya. Dunia dibanjiri oleh lautan informasi dan pengetahuan, tetapi tidak mempunyai saling pengertian. Seorang sastrawan dengan keahliannya tetap menyajikan harapan. Tetapi untuk memelihara integritasnya sendiri, karya sang sastrawan haruslah bersandar pada pengetahuan tentang diri sendiri, kesadaran tentang diri sendiri. Meningkatnya kerumitan dan dehumanisasi dalam dunia yang fana ini membuat kita sukar memahami krisis dunia, kecuali kalau kita sebagai individu mengenal dengan baik diri kita sendiri. 

Dalam esainya yang hebat tentang estetika “In Praise of Shadows” novelis Jepang ternama Jun Ichiro Tanizaki menerjunkan dirinya dalam pertempuran sia-sia melawan serangan gencar era teknologi baru ini. Dia menutup esainya dengan kata sebagai berikut: 
“Saya menyadari dan sangat bersyukur akan manfaat yang dapat dihasilkan masa sekarang ini. Bagaimanapun keluhan yang mungkin kita kemukakan, Jepang telah memilih untuk mengikuti jejak Barat, dan tidak ada lagi yang dapat dilakukannya kecuali bergerak maju dengan berani dan meninggalkan kita yang tua-tua di belakang. Tetapi kita juga mesti menerima kenyataan bahwa selama warna kulit kita tidak berubah, maka kerugian-kerugian yang kita derita tak bakal bisa tersembuhkan. Saya menulis semua ini karena saya pikir, di suatu tempat, mungkin dalam kesusasteraan atau kesenian, masih ada yang tersisa untuk kita selamatkan. Paling tidak buat kesusasteraan saya akan mencoba mengunjungi lagi dunia bayang-bayang yang kian menghilang. Dalam naungan rumah kesusasteraan saya akan membangun cucuran atap yang rendah dan dinding-dinding yang gelap, saya akan sorongkan ke dalam bayang-bayang itu hal-hal yang tampil terlalu jernih, saya akan lucuti semua hiasan rumah yang tak ada gunanya..Saya tidak memohon supaya pekerjaan ini diterapkan di mana-mana, tapi mungkin kita akan diijinkan untuk memiliki paling sedikit satu rumah di mana kita bisa memadamkan lampu-lampu listrik dan mengalami bagaimana rasanya hidup tanpa lampu-lampu itu.”

Sebagian besar dari kita mempunyai peluang ini, memadamkan lampu-lampu listrik itu, tetapi jutaan rakyat di wilayah ASEAN menjalankan kehidupannya sehari-hari tanpa perlengkapan yang memadai untuk mempertahankan hidup yang produktif dan berhasil dengan baik. Teknologi, selama dimanfaatkan untuk melayani umat manusia, menjanjikan utopia yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Saya percaya, tantangan masa kini bagi para sastrawan dari generasi kita adalah untuk menolong usaha mencapai utopia ini. 

Kemungkinan gagal besar sekali. Dari segi lahiriahnya, tujuan semacam itu tidak berkaitan dengan kesusasteraan, tetapi ada masanya tatkala seorang penulis harus memenuhi tuntutan masyarakat tempat ia berkarya. Kebetulan sekali kita hidup pada masa-masa semacam itu.
-Penerjemah: Perdana Alamsyah
Majalah Sastra Horison, No. 3 Tahun XX, Februari 1986

MARI BERBAGI:
Editor

TAMBAHKAN KOMENTAR

5700840368070671462