BLANTERVIO103

Menyeberangi Jembatan Kehidupan - Maria Lourdes Jacob

Menyeberangi Jembatan Kehidupan - Maria Lourdes Jacob
9/25/2019
Menyeberangi Jembatan Kehidupan
:Dari Retorika Menuju Aksi 
oleh Maria Lourdes Jacob
Menyeberangi Jembatan Kehidupan - Maria Lourdes Jacob


SASTRADUNIA.COM | Ketika undangan tiba, sebenarnya saya merasa ragu-ragu untuk menyajikan satu makalah bagi Pertemuan Sastrawan ASEAN ini. Memang saya seorang sastrawan. Saya menulis naskah drama, tetapi saya tidak terlalu gemar menulis makalah, bahasan sastra, atau tulisan ilmiah. Saya sudah tidak melakukannya lagi semenjak tahun-tahun terakhir di Perguruan Tinggi. Namun waktu saya membaca petunjuk yang menyarankan agar mengambil pokok masalah yang selaras dengan pengalaman masing-masing, maka keragu-raguan saya berubah menjadi rasa tertarik dengan minat yang meluap. Betapa menyenangkan untuk saling membagi pengetahuan, pengalaman, perasaan serta pemikiran-pemikiran mengenai masalah "Sastrawan sebagai seorang Pribadi”

Apa tujuan hidupku? Apa manfaat tulisanku? Aku bosan dan capek oleh bentangan jarak antara yang kukatakan dengan yang kulakukan : antara kesenianku dengan kehidupanku. Jalan pikiran ini bukan hal yang baru. 

Jalan pikiran semacam ini juga menghantui para seniman Dunia Ketiga dan Dunia Pertama, besar maupun kecil, sejak saat yang tak dapat diingat lagi, kapan. 


"Sebagian orang menjadi sangat marah, sebab mereka begitu sering menemukan ketidaksesuaian antara kehidupan seniman dengan karyanya. Orang masih belum bisa melihat keselarasan idealisme Beethoven dengan kepicikan jiwanya, pesona surgawi yang dipancarkan Wagner dengan tabiatnya yang mementingkan diri sendiri serta tidak jujur. Saya pikir Goethe-lah sastrawan pertama yang insaf akan adanya kepribadian ganda semacam ini dan dia menjadi cemas sepanjang hidupnya. Dia selalu membandingkan dirinya sebagai seorang sastrawan dengan dirinya sebagai seorang manusia, dan dia belum berhasil menyelaraskan keduanya.” (W. Somerset Maugham. The Summing Up hal. 152). 

Rasa terasing, tak berdaya dan kesia-siaan yang mengikuti kegagalan tersebut telah mengakibatkan sejumlah peristiwa bunuh diri di antara para seniman Dunia Pertama. ”Satu hal yang paling menonjol dari dunia seni abad ini ialah meningkatnya jumlah korban di antara kaum seniman. Dari tokoh-tokoh besar pra-modernis, Rimbaud menelantarkan puisi tatkala dia berusia dua puluh tahun. Van Gogh bunuh diri. Strindberg jadi gila. Sejak kala itu jumlah korban terus membukit. Pada awal mekarnya modernisme, Kafka mencoba mengubah kematiannya yang alamiah pada usia muda karena penyakit tuberkulosa menjadi suatu kematian seni, dengan cara menghancurkan semua hasil-hasil tulisannya. Virginia Woolf menenggelamkan dirinya sendiri, akibat kepekaan perasaannya yang mendalam. Hart Crane mengabdikan segenap upaya untuk memperindah jalan hidupnya yang kalang kabut karena homoseksualitas dan kecanduan alkohol tetapi setelah menganggap dirinya gagal lalu meloncat dari sebuah kapal uap ke dalam Laut Karibia. Dylan Thomas dan Brendan Behan minum-minum sampai mati. Antonin Artaud bertahun-tahun menghuni rumah sakit jiwa. Delmore Schwartz ditemukan tewas di sebuah hotel di Manhattan... Cecare Pavese dan Paul Celan, Randall Jarrel dan Sylvia Plath, Mayakovsky, Esenin dan Tsvetayeva bunuh diri. Di antara para pelukis yang bunuh diri termasuk pula Modigliani, Arshile Gorki Mark Gertler, Jackson Pollock dan Mark Rothko. Beberapa generasi kemudian muncul Hemingway. Pada akhirnya dia mengikuti jejak ayahnya dan menembak dirinya sendiri.” (A. Alvares, The Savage God hal. 232). 

SENIMAN DUNIA KETIGA

Barangkali seniman Dunia Ketiga, khususnya sastrawan Asia Tenggara lebih beruntung daripada rekan-rekan di Dunia Pertama. Kita sekarang berada dalam zaman yang mengalami perubahan besar luar biasa. Kita memiliki satu peluang emas untuk memberi arti serta arah pada dunia seni melalui kehidupan ini, yaitu dengan menyeberangi jembatan kehidupan dari retorika menuju aksi! Suatu peluang yang mungkin sukar didapat oleh rekan-rekan kita di Dunia Pertama. 

Negeriku telah kandas. 
Saya dapat melihatnya dalam upacara pembunuhan kanibalistis yang dilakukan Manero Bersaudara dari Mindanao, melalui hidup Joel Abong yang singkat dan menyedihkan di Negros, dia seorang korban Marasmis, melalui pelacuran anak-anak, melalui beban utang nasional yang mencapai AS $25,6 miliar, melalui pemberitaan ”San Jose Mercury News” kita tahu tentang harta karun para pejabat Filipina yang disembunyikan di luar negeri.

Negeriku telah kandas. 
Saya dapat merasakannya lewat lemari-lemari kosong para petani yang menanam padi sampai berlimpah-ruah, tebu, kelapa, pisang, lewat jala-jala hampa para nelayan yang terkepung Pukat Harimau (Trawl) raksasa, lewat tinju-tinju para buruh ' pabrik yang terkepal, lewat teriakan protes penghuni-penghuni kampung kumuh di perkotaan. 

Hari ini negeri saya, besok giliran negeri anda. Kita bukan saja tinggal di wilayah geografi yang sama tetapi mempunyai masa lalu yang sama pula, yaitu masa penjajahan. Dalam catatan sejarah negeri kita pernah dijajah oleh kekuatan asing, sehingga bekas kehancuran di bidang ekonomi, sosiopolitik dan kebudayaan masih dapat kita rasakan. Karena itu, bagaimana pun majunya suatu negeri di Asia Tenggara ini, paling-paling hanya sementara saja sifatnya. Rakyat harus diberitahu mengenai apa yang sebetulnya sedang terjadi, mengapa bisa terjadi dan apa yang dapat mereka lakukan untuk memperbaikinya. 

Dalam keadaan ini peranan seniman dalam negara berkembang tak dapat diremehkan. Seniman dapat memberikan pengaruh yang besar dalam menetapkan arah perkembangan negerinya. Tetapi "Pengaruh tersebut hanya akan benar-benar terwujud jika seniman mempunyai pemahaman yang kuat tentang tanggung jawab kepada masyarakat.” (Jay Leyda). 

Ya, marilah kita menulis tentang keprihatinan masing-masing, tetapi marilah kita meluaskan jangkauan. Marilah kita berusaha menyentuh dan membiarkan diri tersentuh oleh kehidupan rakyat. Mari kita pusatkan diri pada tema-tema manusia kontemporer selaku mahluk sosio-politik dalam Dunia Ketiga. 

"Seni untuk seni, ya atau tidak?” Masalah ini bisa kita diskusikan tanpa ada akhirnya. Kita bisa berdebat sampai muka kita biru dan yang dihasilkan cuma menghindar dari pokok persoalan tentang keberadaan diri kita dan dari alasan penciptaan diri kita. Jangan kita buang-buang waktu dengan percuma. 

HARUSKAH JADI POLITIS?

Haruskah kita jadi politis? Ya. Kita harus menjadi politis dalam tulisan-tulisan serta segala hal yang dapat memberi kedalaman pada tema-tema, penokohan serta cerita kita. Tetapi walaupun karya-karya itu jadi politis, tidak seharusnya kita ikut berurusan dalam politik praktis. Jika kita berurusan dengan politik praktis maka kita akan selalu dimangsa persekongkolan dan kecurangan para politisi. 

Demikianlah yang terjadi atas diri saya beberapa tahun lalu ketika mengambil kesarjanaan dalam bidang TV/Film di New York. Saya menjadi sangat terlibat dalam politik terbawa oleh sekelompok orang Filipina dan oleh kebebasan arus informasi — lewat surat kabar, majalah, diskusi-diskusi dan pertemuan-pertemuan. Saya sangat terpengaruh pada saat pertama kali mengetahui apa yang tengah menimpa negeri saya. Saya membaca kekejaman yang sama sekali saya tidak tahu dan itu sedang berlangsung. Demikian berang, sehingga saya menyusun rencana membuat dokumentasi video mengenai suatu pawai demonstrasi yang akan diadakan di depan Philipine Center di Fifth Avenue. Saya pinjam sebuah kamera video dan sebuah kamera biasa dari suatu pusat televisi di Chinatown, saya beli beberapa pita, saya liput demonstrasi itu dan saya wawancarai setiap orang yang tidak keberatan pulang kerja lebih sore daripada biasanya. 

Pada hari-hari dan malam-malam berikutnya saya pulang balik dengan kereta bawah tanah dari Brooklyn ke Chinatown atau dari Greenwich ke Chinatown, dengan risiko dirampok orang di jalan, hanya untuk menyelesaikan konseptualisasi, penulisan dan penyuntingan pita-pita rekaman itu. Hasilnya adalah suatu dokumentasi yang mendebarkan dan memukul. Kira-kira begitulah apa yang mereka katakan. Saya pikir mereka lalu akan berbaris antre meminjam pita rekaman itu. Ternyata tak lama kemudian mereka melupakannya Bayangkan, segenap waktu, upaya dan uang yang sudah saya curahkan (kala itu saya belajar sambil bekerja) nyatanya sia-sia saja. 

Tidak lama berselang, saya tahu apa sebabnya saya tidak sadar, saya bisa sedemikian naif. Saya terperangkap dalam suatu jaring politik antara kaum Nasional Demokrat dan kaum Sosial— Demokrat. Kesalahan saya ialah menjejaki semua pihak dalam satu pita rekaman, dari mulai Manglapus sampai para aktivis yang radikal, padahal mereka saat itu saling bermusuhan dengan sengit! Pikir saya waktu itu persoalan sebenarnya adalah mengenai rakyat. 

Tidak lama berselang, saya merasa sebagai seseorang yang dipermainkan dalam pertemuan itu. (Ataukah saya terlalu diburu oleh ketakutan?). Seolah-olah masing-masing kelompok sudah bersepakat sebelumnya mengenai apa yang akan mereka katakan, Dan di tengah-tengah merekalah saya menumpahkan pendapat dan saran yang muncul di benak saya. Seringkali dengan bersemangat, saya sampaikan saran-saran itu dan dengan senang hati kelompok-kelompok tersebut melahapnya. Tentu, saya belum menyadari sementara hal itu terjadi. 

Saya pikir, setelah saya menyadari kepolosan saya, saya mulai tambah waspada dan cepat curiga. Selalu mempertanyakan lebih dahulu maksud dan tujuan. Tapi saya juga tidak menyukai akibatnya pada diri saya. Di samping itu, saya sungguh dibuat penat karena selalu harus waspada. Saya hanya ingin kembali kepada kepribadian saya yang sebelumnya terbuka, tulus dan terus-terang. 

HARUSKAH JADI PROPAGANDIS? 

Lalu, haruskah seniman seperti kita menjadi propagandis? Katakanlah untuk membuat keadaan lebih berimbang? Tidak. Kalau kita sudah menjadi propagandis, kita akan mati sebagai seniman. Kaum propagandis harus mau memanipulasi, penuh perhitungan, seniman lebih mengandalkan spontanitas. Kaum propagandis bekerja untuk memancing reaksi tertentu dari para pembaca/pendengar, seniman mencipta didorong oleh hasrat hati, oleh ilham yang bangkit sebagai tanggapan spontan terhadap peristiwa dan rakyatnya. Di sini mungkin terbentang suatu garis tipis antara karya-karya besar dengan yang buruk, bukan pada kandungannya yang politis seperti yang diyakini oleh kebanyakan dari kita, tetapi pada metodologinya, prosesnya. 

Dalam kondisi dan situasi seperti sekarang, dari semua sastrawan Dunia Ketiga barangkali para dramawanlah yang paling lancar menjalankan fungsinya. Sebari membangun sekumpulan karya-karya dramatis bagi kepuasan dirinya serta terutama untuk menyatakan perasaan dirinya, dia juga dapat mengambil bagian dalam sebuah Gerakan Teater Nasional. Seperti halnya bola salju yang berguling, gerakan-gerakan semacam itu kini bermunculan di setiap negeri Dunia Ketiga. Dari Bangladesh dan India sampai ke Afrika dan Amerika Selatan, ke Filipina, dan semakin lama semakin banyak saja seniman Dunia Ketiga yang menyadari betapa besar potensi sebuah Gerakan Teater Nasional dalam menghasilkan insan-insan baru yang tidak dijangkiti "kebudayaan bisu” (Paulo Freire): warga-warga negeri berpengetahuan cukup yang akan menuntut gambaran serta keikut-sertaan sesungguhnya dalam masyarakat mereka. 

Untuk masa sekarang, kebudayaan bisu membuat permukaan bumi. Dunia Ketiga kelam. Di Filipina, jika seseorang bertanya kepada seorang petani siapa dia barangkali dia tidak akan mengatakan siapa nama keluarganya. Dia cuma mau menjawab bahwa dia adalah seorang penyewa tanah milik seorang Don Vicente atau seorang Don Miguel: tuan tanahnya, penguasa yang berwewenang atas kehidupannya, yang memutuskan segalanya untuk kehidupannya dari mulai pendapatannya waktu panen sampai dengan untuk calon mana dia harus memberikan suaranya dalam pemilihan. 

Tetapi keadaan itu tidak akan lama lagi. Gerakan Teater Nasional seluruh Dunia Ketiga akan menumpahkan segala daya upaya, kemampuan serta harapan bagi golongan terbesar masyarakat yang kehilangan hak-haknya. Tambang emas yang berada di antara rakyat jelata bakal meledakkan segenap kandungannya dan menyebarkan cahaya serta kebahagiaan di bagian dunia yang kelam ini. 

KISAH NELAYAN YANG DITEMBAK 
PETA (Asosiasi Teater Pendidikan Filipina) membimbing kelompok-kelompok teater, baik yang berasal dari profesi, sekolah dan lingkungan kemasyarakatan, ke arah pandangan yang sama. Kaum seniman: para sutradara, aktor serta dramawan tidak hanya menerjemahkan dan mempergelarkan karya-karya klasik dunia atau menghasilkan karya-karya asli Filipina saja, mereka juga mempraktikkan Seni Teater sebagai satu bentuk pendidikan yang nonformal. 

Para dramawan berangkat ke desa-desa, mengadakan atau ikut serta dalam teater di lingkungan masyarakatnya, dan memanfaatkan bengkel-bengkel kerja Seni Teater. Para pesertanya adalah penduduk kampung itu sendiri: para petani, ibu-ibu rumah tangga, para pedagang jalanan, siswa-siswa dan seterusnya. 

Lokakarya semacam itu mencoba mendorong mereka agar berbicara tentang diri mereka atau masyarakat mereka sendiri. Mereka mencipta, menggubah dan memerankan cerita-cerita serta pengalaman mereka, masalah-masalah serta cita-cita mereka. 

Selama pergelaran berlangsung mereka bukan lagi duduk di kursi penonton, pasif, hanya menangkap apa yang diberikan. Tetapi mereka terlibat penuh dengan proses teater, ikut berfikir, merasa dan berperanan sebagaimana biasa mereka lakukan dalam drama kehidupan. 

Sang dramawan tetap berada di latar belakang. Tanpa terlalu menonjol. Tanpa mencoba ikut campur. Mendengarkan. Membimbing mereka secara Luwes. 

Saya takkan pernah melupakan satu lokakarya Seni Teater PETA tatkala seorang aktor, seorang aktris dan saya sendiri memanfaatkan suatu kelompok nelayan yang terdiri atas sekitar 25 orang, bersama para istri dan anak-anak remaja mereka. Saya menangani acara Menulis Kreatif. Acara menulis ini berlangsung tanpa kertas. atau pensil. Banyak cara lain untuk menulis. Mereka menulis dengan anggota badan, dengan suara, melalui mimik, gerak dan bunyi, lalu menggunakan improvisasi dan dialog. Anggota-anggota kelompok yang termuda (yang bisa menulis) mengikuti gagasan-gagasan yang mengalir dalam acara itu dengan cara menuliskan kata atau susunan kata di atas papan tulis. 

Mereka menampilkan suatu peragaan yang didasarkan pada pengalaman salah seorang rekan mereka yang sudah meninggal, yaitu seorang nelayan yang pada suatu malam mendayung perahunya ke laut. Sebagaimana biasa, tidak ada lagi ikan yang tersisa untuk ditangkap. Semuanya sudah berada dalam bagan-bagan yang mengelilingi daerah itu. Perahunya membawa dia ke dekat salah satu bagan ikan itu. Dia mengikatkan perahunya ke sebuah tiang dan lalu tertidur. Salah seorang penjaga bagan itu membangunkannya dan bertanya kepadanya, apa yang dikerjakannya di situ. 

Nelayan itu menjawab bahwa ia hanya beristirahat di dekat bagan. Lantas si penjaga mengajaknya minum kopi. Ajakan itu disambutnya dengan gembira. Tetapi kemudian, penjaga dan dua orang temannya membuat si nelayan itu sebagai hiburan, dengan cara memaksanya menyantap bunga-bunga Bakung dan menari-nari menurut irama tembakan senapan yang ditujukan di antara kakinya. Nelayan itu gemetaran, dia disuruh balik lagi ke perahunya sebelum pada akhirnya ia ditembak. Nelayan itu dituduh mencuri ikan dari bagan. Laut sekarang dibagi-bagi antara pemilik bagan. Laut sudah bukan hak para nelayan lagi. 

Kekuatan lakon yang mereka bawakan serta pertunjukkannya sungguh membuat saya terpikat, sebelum kemudian saya insaf, bahwa bagi mereka semua itu sama sekali bukan lakon atau pertunjukan. Malam itu tetap hidup dalam kenangan saya. Malam itu saya jadi saksi diperagakannya keluhuran kebijaksanaan dan bermunculannya bakat-bakat awam. Saya belajar banyak dari lokakarya itu, dari diskusi-diskusi mereka dan dari hasil karya | mereka. Saya harap mereka juga belajar banyak ai kita. 

Demikianlah, dengan mengindahkan kata-kata 'Aristophanes bahwa "penulis drama seharusnya tidak cuma menawarkan penghiburan, tetapi di samping itu juga mengajarkan tentang moralitas dan menjadi penasehat politik,” Para Dramawan Dunia Ketiga bukan hanya memperdalam kepekaannya dan pengertiannya akan kenyataan: bukan hanya memperkuat keterampilan artistiknya, tetapi lebih penting lagi ialah menjalin hubungan dengan mayoritas rakyatnya yang buta huruf. Dramawan meleburkan diri ke dalam arus kehidupan masyarakatnya seperti disebutkan Tao: belajar, saling membagi dan menjadi salah satu dari mereka. Seniman tidak lagi tersaing, terpisah sendiri. 

MELEBUR KARYA DENGAN KEHIDUPAN

Haruskah seniman menjadi penganjur dari salah satu ideologi? Kalau pertanyaan itu dilontarkan beberapa tahun lalu, saya akan menjawab ”Ya!” Tetapi sekarang, secara jujur saya katakan saya tidak tahu. Yang saya tahu hanyalah, seorang seniman harus menjadi pembela hak asasi manusia dan keadilan sosial. 

Yang saya tahu hanyalah, seorang seniman tidak boleh menomorsatukan kepentingannya sebagai anggota partai politik. Garis politik partai dengan demikian akan membatasi seniman, oleh karena itu omong kosong kalau ia berkata tetap bisa memelihara keluasan pandangannya. Seorang seniman harus terus terbuka, malahan juga harus mengetahui berbagai sudut pandang yang berbeda. Inilah satu-satunya cara seniman untuk tetap dinamis dan terus melangkah maju selaku seorang seniman. 

Yang saya tahu hanyalah, seorang seniman bukan masuk ke desa dengan tujuan menjual suatu gaya hidup tertentu, melainkan dengan maksud yang tulus untuk menggali suara rakyat yang sejati. Hak memilih ideologi masing-masing adalah hak istimewa yang dipunyai rakyat. Pasti rakyat akan menggunakan hak-haknya itu manakala saatnya tepat, jikalau mereka sendiri merasa memerlukannya. Seorang seniman tidak boleh memilihkan ideologi untuk rakyat. Ini adalah kepercayaan kepada rakyat dalam praktik. 

Barangkali permasalahan inilah yang dapat kita bahas sepenuhnya. Saya yakin kita hanya menjumpai lebih banyak pertanyaan daripada jawabanjawabannya, tetapi pasti kita dapat mengambil faedah dari nasihat Rilke kepada para penyair: 
Biarkanlah pertanyaan-pertanyaan terus berpijar barangkali setahap demi setahap nanti tanpa terperhatikan samasekali engkau akan hidup di hari-hari yang jauh menuju kepada jawabannya.
Kini, jika saya bisa mulai melangkah ke hari-hari yang jauh itu. Jika saja saya dapat mengerjakan. Jika saja saya bisa berhenti hanya berfikir secara cendekia dan berhadapan langsung dengan rasa gentar dan terlibat lebih dalam dengan rasa khawatir. Jika saja saya dapat berhenti berkata, "Tetapi saya hanya seorang sastrawan”. Jika saja saya dapat mulai melebur karya saya dengan kehidupan saya, maka mungkin tidak lama lagi, saya percaya pada integritas seni saya sendiri dengan menyatukan kesenianku dalam kehidupanku.


Tak ada yang lebih penting daripada hidup itu sendiri. Daripada kehidupan itu sendiri Tidak, tidak juga seni. Tidak juga kesusastraan Bahkan tidak juga bahasa (N. Joaguin) 

Tidak usah dikatakan lagi, sementara saya terpukau di meja tulis, kehidupan pun berlalu.***


-Penerjemah: Perdana Alamsyah
Majalah Sastra Horison, No. 3 Tahun XX, Februari 1986

MARI BERBAGI:
Editor

TAMBAHKAN KOMENTAR

5700840368070671462