oleh Sigit Susanto
Apakah aku mencintaimu, aku tak tahu
Aku hanya melihat wajahmu sekali saja
Aku memandang di matamu sekali itu
Akan membebaskan hatiku dari semua derita
Apakah aku mencintaimu, aku tak tahu
Penggalan
sajak di atas dari karya Johann Wolfgang von Goethe (1749-1832) berjudul: Liebesgedichte
für Friederike (Sajak Cinta untuk Friederike). Pada usia 20 tahun
Goethe melanjutkan belajar ilmu hukum dari universitas Leipzig ke Universitas
Strasbourg, Perancis. Tepatnya 2 April 1770 dia tiba di Strasbourg dan langsung
mengagumi katedral Notre-Dame di pusat kota itu. Strasbourg bukanlah
Paris, tetapi bukan pula Paris kecil, hanya Entrée ke Paris. Goethe
berada di Strasbourg selama 1 tahun 4 bulan (April 1770 - Agustus 1771). Lima
bulan berikutnya, tepatnya bulan September 1770 datang pula Johann Gottfried
Herder (1744-1803) ke Strasbourg. Goethe bertemu Herder dan bersahabat erat, pertemuan
dan persahabatan dua intelektual klasik Jerman di negeri rantau. Bahkan
keduanya hampir tiap hari selalu bertemu hingga tujuh bulan lamanya. Pertemuan ini
hampir mirip dengan pertemuan antara penyair Heinrich Heine (1797-1856) dan
Karl Marx (1818-1883) di Paris pada musim gugur 1843. Pada waktu itu Marx masih
berusia 25 tahun. Heine dan Marx juga hampir setiap hari bertemu untuk saling membicarakan
sajak-sajak. Hanya saja kemudian pertemanan antara Heine dan Marx mulai
renggang, setelah Marx bertemu Engels. Yang membedakan antara pertemuan dan
persahabatan antara Goethe dan Herder, dengan Heine dan Marx adalah, Goethe dan
Herder ke Strasbourg untuk belajar. Sedangkan Heine dan Marx ke Paris karena
bereksil dari kejaran Pemerintah Jerman (Prusia kala itu).
Di
Strasbourg, Goethe cepat menemukan pergaulan di lingkungan intelektual. Antara
lain dia berkenalan dengan Brion, seorang pastor desa Sesenheim yang punya dua anak
perempuan. Salah seorang anak Brion bernama Friederike kemudian ditaksir oleh Goethe.
Selama musim panas, Goethe senang tinggal di rumah Friederike. Dan lahirlah
sajak cinta untuk Friederike, seperti penggalan di atas. Lalu Goethe berkenalan
dengan Franz Christian Lerse (1749-1800), seorang teolog asal Elsass. Teolog
ini sering memanggil nama Goethe dengan sebutan "Götz". Mungkin
pengaruh bahasa Perancis, akan tetapi Goethe menikmati panggilan barunya. Di
samping itu, Goethe juga bersahabat akrab dengan seorang ahli sastra dan pendidikan
serta moral bernama Johann Daniel Salzmann (1772-1812).
Kembali
ke perihal kisah asmara Goethe, setiap kali Goethe mengunjungi rumah Brion,
hatinya berbunga-bunga, karena disambut hangat oleh kedua anak gadis Brion.
Pada buku berjudul Goethe, karangan Richard Friedenthal disebutkan,
pastor Brion mempunyai dua anak perempuan. Yang pertama bernama Salome dan yang
kedua bernama Friederike. Sifat Salome lebih periang, lucu dan pemberani.
Sebaliknya, sifat Friederike lebih tenang dan suka memakai topi dari bahan
jerami, serta mengenakan rok ala pakaian wanita Jerman. Rambut pirang
Friederike dikepang dua sepanjang bahu serta matanya berwarna biru. Pada 15
Oktober 1770 Goethe menulis surat cinta untuk Friederike berbunyi:
Pacar Baruku,
Aku tidak ragu menyebutmu sebagai pacar. Aku memahamimu
dari pandangan matamu, juga dari mataku. Pandangan pertama itu membangkitkan
harapan tali perkawanan. Hati ini ingin bersumpah. Kamu lemah lembut dan baik
seperti yang aku tahu. Inginkah kamu aku mencintaimu? Tentu, dara manis, Strasbourg
tak pernah sunyi seperti sebelumnya.
Gelora
cinta Goethe dengan Friederike mengilhami karya Goethe yang yang monumental
berjudul Dichtung und Wahrheit (Kepenyairan dan Kebenaran). Penyair yang
belakangan punya karya puisi panjang berjudul Faust itu,
mengilustrasikan cintanya dengan ucapan:
“Dapatkah
kamu terka, siapa aku?“ Goethe bangga dan menjawab sendiri: “Sekarang aku
adalah milikmu!“
Itulah sedikit kisah cinta Goethe di saat-saat awal
dia tinggal di Strasbourg.
***
Goethe sang Pencinta
Sabtu
pagi 20 September 2003 aku dan istriku berada di Strasbourg. Kami berangkat ketika
desaku di Swiss masih tertidur sepi, ketika lonceng gereja masih memukul jantung
sunyi dalam dentingan kecil lima kali. Di saat itulah, kami sudah berada di
atas kereta beroda besi. Sekitar tiga setengah jam, kami sudah di stasiun kota
Strasbourg. Belum banyak orang keluar, hanya beberapa anak muda meringkuk di
kursi. Kaki-kaki kami siap menapaki kota lama yang pernah dijuluki sebagai ibu
kota Eropa. Toko-toko berjejer dengan aneka ragam model bangunan kuno. Jalan
pun tertata dengan batu kali bundar hitam rapi. Aspal belum masuk, saat kota
itu mulai dibenahi. Jembatan menyambung perjalanan kami. Air kehijauan mengalir
lamban. Aku tengok ke samping kanan, terlihat beberapa orang bergerombol,
berjongkok, tiduran, berdiri di bawah jembatan. Di Paris pun ada gelandangan.
Mungkin Ali Sadikin pernah studi banding ke Paris ketika kemudian aku ingat
perkataan di koran saat Ali Sadikin masih menjabat sebagai gubernur DKI, “Tak
mungkin menghapus gelandangan di ibu kota Jakarta.“
"Lihat
itu orang-orang tidur di bawah jembatan. Di Indonesia, mereka tidur di
sela-sela timbunan sampah", kataku pada istri, "di Strasbourg, mereka
tak separah seperti di negeriku."
"Iya,
tapi kau ingat, di musim dingin di sini lebih parah. Bagaimana mereka harus
melindungi tubuh mereka dari sengatan udara dingin dan salju", bantah
istriku, "di Indonesia tak kenal musim dingin."
Kami
berlalu dari pemandangan yang merobek kemanusiaan itu. Belok ke kanan di
sepanjang sungai dan akhirnya naik sebuah atap gedung yang digunakan untuk
mengincar panorama kota tua. Tampak di depan mata, dua benteng kembar berdiri
sama tinggi dan sama gemuk. Bahan dua benteng tersebut dari batu padas besar.
Di antara dua benteng ada empat saluran air sungai. Beberapa kapal berbadan rendah
dan lebar serta beratap kaca tembus pandang saling datang dan kembali memutar
haluan. Tas hitam beroda dua aku tarik dengan tangan kanan dan sering
melompat-lompat di antara bukit-bukit batu jalanan. Sesekali berhenti dan
mengamati bangunan-bangunan yang agak miring ke kanan atau ke kiri, bangunan-bangunan
tembok dengan ruas-ruas dari bahan kayu coklat atau hitam. Mirip manusia kurus
yang terlihat tulang rusuknya. Atap rumah-rumah itu dibiarkan tampak antik,
juga ranting-ranting pohon tanpa bunga. Akarnya menjalar ke mana-mana, bak
cumi-cumi siap menerkam mangsa.
Ada
sebuah rumah bertingkat dari kayu di pinggir sungai. Pada bagian bawah dan
teras disulap menjadi restoran. Kami agak lama terdiam membayangkan keunikan
estetika restoran. Restoran itu dipoles dengan bunga warna-warni di pot yang digantung
di setiap sudut dan di luar jendela. Mungkin pemiliknya pemuja romantisme
klasik. Maka didirikanlah sebuah gubuk panjang di atas sungai. Arus air
berputar mengelilingi setiap pilar penyangga. Dari hari ke bulan dan ke tahun
selalu sama. Pilar hitam itu sudah berjaket lumut hijau. Arus gemericik bak air
terjun di tengah kota. Dari belakang, sebuah kapal pesiar bergerak lunglai,
melawan arus sungai. Kapal terhalang pada tanggul sungai. Akan jumping-kah
kapal itu? Tidak. Di samping kanan ada lorong sebesar kapal. Kapal masuk dan
mengeram beberapa menit. Kemudian pintu air sungai di belakang menutup sendiri.
Secara perlahan, pintu air bagian depan mengirim air beraturan. Kapal itu
tersentak naik setinggi tiga meter. Sejajar dengan permukaan pagar di tanah dan
dengan batas ketinggian air di depan. Setelah permukaan air di lorong itu
dengan di sungai bagian depan sama tingginya. Pintu air di bagian depan terbuka
perlahan. Kapal meloncak kegirangan dan membelah sungai yang dipenuhi guguran
daun-daun kuning.
Para
pejalan dan penikmat keindahan makin bergerak. Dari satu gang yang sempit ke
jalan yang longgar atau sebaliknya. Atau ada yang selalu suka meniti gang-gang
yang sempit. Mereka bernapas seperti diapit dua bukit. Ketika sampai di pusat
keramaian. Aku melihat ada mainan ayunan anak-anak yang berputar dengan iringan
musik piano otomatis. Ada yang berbentuk gajah, kuda dan sepeda motor. Mainan
itu berputar pelan dan beberapa anak kecil duduk mengendarai sendiri. Tak jauh
dari situ, berdiri meja-meja penuh buku bekas. Segera aku dan istri berunding
bilateral tentang pembagian tugas dan kesenangan. Satu jam kami berpisah
mencari kesenangan masing-masing dan kami akan bertemu kembali di sebuah meja
buku loakan itu. Kesenangan tidak harus dipersamakan secara paksa. Apalagi
dimatikan. Tapi kesenangan yang berbeda itu harus tetap diberi kelonggaran hak
hidup, agar masing-masing menemukan kepuasannya. Istriku terbenam di antara berjubelnya
orang dan pertokoan, sementara mataku meruncing memeriksa setiap buku di dasaran.
Pucat pasi wajah ini, semua berbahasa Perancis. Takluk tak berkutik. Aku tak
mengerti bahasa Perancis. Ada buku bergambar Victor Hugo. Ada juga buku
Napoleon yang gambar di sampul depan terpampang wajah dengan bibir digincu
merah. Topinya hitam seperti milik cowboy terbalik arah. Ah, aku segera
hengkang dari kerumunan orang-orang itu.
Di
antara deretan toko ada terselip tulisan: LIBRAIRIE. Ternyata itu toko
buku, yang mirip dengan bahasa Inggris Library. Sama saja toko buku itu
hanya menjual buku bahasa Perancis. Namun di depan toko cukup menghiburku,
karena ada meja panjang memajang berbagai kartu pos. Pertama aku temukan gambar
Tolstoi berjenggot putih lebat sambil memanggul ransel dan bertopi serta
memegang tongkat. Mirip pertapa di Himalaya. Beberapa lembar kartu pos aku
pungut.
Setelah
bertemu kembali dengan istriku, kami mengikuti arah gang kecil dengan
rumah-rumah yang lebih tinggi dari lebar tanahnya. Kami bermuara di sebuah
jembatan yang bisa dipinggirkan, ketika kapal akan lewat. Tepat di pinggir
jembatan itu terdapat rumah kuno yang di depannya tertulis: "Foundation
Johann-Wolfgang Goethe". Inilah rumah yang dulu ditempati Goethe. Sekarang
rumah tua itu menjadi kantor Yayasan Goethe. Tak hanya rumah itu yang banyak
menyisakan kenangan masa muda Goethe, tapi seluruh Strassbourg bagaikan tempat
lahirnya kehidupan baru bagi Goethe. Dua hari setelah ujian, Goethe menemui
pacarnya Friederike yang terakhir kalinya. Setelah Goethe berhasil memperoleh
gelar Lizentiät di bidang ilmu hukum. Kemudian dia mengikuti kehendak
ayahnya untuk berpraktik sebagai pengacara di kantor pengadilan di kota
kelahirannya Frankfurt. Sementara itu Friederike tak menyangka, kalau Goethe
tidak akan kembali lagi ke Strasbourg. Hingga kemudian sampai pada batas
kesabaran, Friederike melayangkan surat perpisahan pada Goethe. Surat itu membuat
Goethe sedih. Rasa kesedihannya itu dituangkan pada tulisannya sebagai berikut:
Jawaban surat perpisahan dari Friederike mengoyak hatiku. (…) Aku sekarang baru pertama
kali merasa kehilangan. Dia yang pedih dan tak ada kemungkinan mencari pengganti,
hanya untuk meringankan hatinya. Sekarang dia kurasakan, ada yang kurang. Parahnya
aku sendiri tak bisa mengampuni kemalanganku. Di sini aku lah pertama kali yang
bersalah. Aku sangat melukai pada hati yang begitu lembut. Itu sebuah epos
penyesalan yang suram, sangat memilukan, tak bisa dimengerti.
Adalah
Engelhardt, seorang sastrawan asal Strasbourg yang mencoba menuliskan buku
kenangan berjudul Goethes Jugenddenkmale In Strasbourg (Monumen Masa
Muda Goethe di Strasbourg). Goethe mengetahui hal itu dan menjawabnya dengan
diplomatis.
Sejak
terbitnya buku itu hingga Goethe meninggal, tak pernah terdengar lagi kabar tentang
kehidupan Friederike. Karier Goethe tak hanya sebagai penyair, namun juga
sebagai seorang menteri negara pada zaman Republik Jerman pertama kali berdiri.
Kemampuan intelektual dan karisma Goethe membuat dirinya dikelilingi banyak
perempuan. Setidaknya ada 9 perempuan yang dekat dengannya. Salah satu dari
kawan perempuannya bernama Christiane Vulpius yang akhirnya menjadi istrinya.
Pada usia 83 tahun, tepatnya pada 22 Maret 1832 Goethe meninggal di Weimar.
Dalam
sejarah kota Strasbourg disebutkan, meskipun kota tersebut termasuk wilayah
Perancis. Namun dulunya termasuk wilayah Jerman. Sebab itu banyak warisan
istilah bahasa dan nama jalan yang masih menggunakan bahasa Jerman. Sekarang
wilayah Strasbourg dan Jerman saling berdekatan.
Setelah
cukup lama berjalan, kaki-kaki ini akhirnya mulai lelah. Di sebuah deretan toko,
kami melihat sebuah warung milik orang Tunisia. Sepertinya sudah lazim, orang-orang
dari bangsa bekas jajahan mendatangi negeri penjajahnya. Tunisia merupakan
salah satu bekas jajahan Perancis di Afrika utara. Di warung itu, kami melihat
banyak kue warna cokelat dan sepertinya manis. Kami hanya memesan makanan khas
Tunisia yang bernama Couscous itu. Bungkusan Couscous itu
kami bawa ke pinggir sungai dan kami makan sambil duduk di tembok. Sementara
kami makan, berdatanganlah burung-burung gereja serta merpati yang masih
malu-malu. Mereka sepertinya meminta jatah makan. Lalu kami menebarkan Couscous
yang sebesar pasir kali itu. Mereka kabur dan merpati-merpati itu sembunyi di
lubang rumah bertingkat empat. Tapi kami juga dijadikan tontonan para pelancong
yang naik kapal. Mereka selalu menoleh ke kami. Mungkin mereka mengira kami
musafir yang biasa makan irit dengan bungkusan kardus. Memang begitu cara kami
berpelesiran. Makan dan penginapan bukan tujuan utama kami. Melainkan sejauh
mana kami bisa mempelajari sebuah tempat yang baru.
Setelah
perut tak ada rongga lagi alias sudah kenyang, kami berjalan melewati gang berbatu
ke arah katedral. Di belakang katedral ada plang bertuliskan: Rue Des
Ecrivains (Jalan Sastrawan). Tak jauh dari katedral terdapat taman dengan
air mancur yang airnya sering meloncat terputus-putus. Dari taman ini aku
mendengar suara musik melankolis. Aku datangi kerumunan musik itu dan duduk di
lantai menikmati lagu-lagu Karibia yang dimainkan oleh enam pemuda Indian asal
Equador. Seruling bambu enam belas biji ditumpuk dan ditiup bergantian. Semua pemuda
itu mengenakan pakaian khas suku Indian. Rambut mereka panjang terurai, dan di
antara gerai rambut itu terselip dua bulu burung elang. Wajah mereka dicoreng
warna merah, biru, hitam, dan putih. Kadang mereka membunyikan alat seperti
suara burung di hutan. Sungguh nikmat musik jalanan. Kilatan kamera berterbangan
mengabadikan pertunjukan gratis dengan latar belakang sebuah toko bertuliskan: France
telecom. Seorang gadis Indian dengan rambutnya yang panjang dan dikepang
dua lalu berkeliling menawarkan CD hasil rekaman mereka.
Strasbourg
menyimpan masa lalu. Seolah-olah masa lalu lebih indah dari masa kini. Awalnya,
kami tak bermaksud menginap di kota itu. Tetapi kami masih punya waktu sehari
lagi di hari Minggu. Sedang Strasbourg masih belum seluruhnya terjejaki. Hitung-hitung
daripada pulang dan balik lagi dengan jarak yang cukup jauh, maka kami putuskan
untuk mencari losmen sederhana. Akhirnya kami bermalam di situ. Pakaian yang
melekat ditubuh harus kami pakai lagi selama dua hari.
Kota
Strasbourg seperti punya dua wajah anggun. Siang kota itu terang, begitu kaya
dengan cahaya matahari. Sedangkan saat malam, kota itu remang-remang seperti sebuah
senja dimana seorang petani menyempurnakan kerjanya dengan membakar kelinci di
ladang.
Kami
tersesat di pinggir sungai. Aku kebelet ingin kencing, dan sialnya tidak ada WC
umum di sekitar tempat itu. Tapi untuk masuk ke restoran dan menumpang kencing,
aku merasa malu juga. Sehingga aku berniat kencing di kegelapan malam, di
sebuah pojokan rumah. Tapi niat itu lagi-lagi batal karena ada orang-orang
berderet hendak naik kapal malam. Kami pun akhirnya ikut naik kapal. Karena ingin
melihat malamnya kota dari sungai. Apalagi akan lewat bawah jembatan tempat
para gelandangan. Tentu bisa melihat mereka yang tersinkir dari kehidupan itu
dengan lebih dekat lagi.
Kapal
terus merangkak, mengelilingi kota. Baru kami sadari, sungai bernama Ill itu
melingkar bak sabuk yang melilit kota. Praktis Strasbourg seperti sebuah pulau.
Namun bukan pulau seperti di Nusantara yang dikelilingi air laut dengan
kedalaman ribuan meter. Kedalaman Sungai Ill ini hanya beberapa meter
saja. Ketika kapal sudah akan melewati jembatan, aku sorotkan mata ke samping
kanan. Tampak ada dua orang laki-laki. Seorang sedang berdiri sambil merokok dan
melambaikan tangan ke arah kami. Sedang yang lainnya tiduran di kasur busa.
Kasur itu kelihatan jelas terletak di atas beton bibir sungai. Tak jauh dari mereka
berdua ada panci di atas tungku dengan api yang masih menyala. Di seberang
bawah jembatan yang lain ada gerombolan orang-orang muda usia. Namun yang ini
pemandangannya agak lain. Tampak beberapa muda-mudi berpakaian bersih. Mereka
berdiri dan tangannya memegang botol minuman. Di sebelahnya ada dua tenda
cembung seperti para anggota pramuka sedang berkemah. Aku pikir, mungkin ini
petualangan anak-anak muda yang tak punya banyak uang. Sehingga penginapan mereka
cukup dengan cara mendirikan tenda di pinggir sungai. Mereka tak peduli di
seberang sungai ditempati para gelandangan. Meskipun sungai di dalam kota,
namun airnya bening dan tak terlihat ada limbah. Ada satu lagi gerombolan orang
tidur di bawah jembatan, tetapi terlalu jauh jaraknya, sehingga luput dari
pantauan. Aku pikir mereka benar-benar orang-orang yang tak punya apartemen.
Sebuah pemandangan yang paradoks, di mana beberapa menit saja kapal berlalu
melewati sebuah bangunan super modern berbentuk kubus melingkar dan semua
dindingnya dari kaca besar. Gedung yang tampak masih baru itu bernama: Palais
des Droits de l`Homme. Sebuah kantor pusat Komisi Kak Azasi Manusia khusus
bagi negara-negara Eropa. Sehabis keliling dengan kapal, kami kembali ke
losmen.
Minggu pagi, kami menyisir jalan yang belum
berpenghuni. Terdampar di sebuah daerah bernama Petite France. Mungkin
dimaksudkan sebagai miniaturnya Perancis. Tempat tersebut dengan kota
Strasbourg hanya dibatasi oleh jembatan. Lalu kami masuk ke katedral Notre-Dame.
Di sana, banyak orang sedang bersembahyang. Jendela kaca warna biru, merah,
kuning dan hijau tertatap awan dari luar mulai berkilau seperti pelangi. Arsitektur
katedral itu berciri gotik. Sayang menara katedral sedang direnovasi. Sehingga
pengunjung tak bisa naik. Dulu Goethe di saat punya waktu luang juga sering
naik menara. Aku mendekat katedral lagi dan aku tegakkan kepala, melucuti
runcingnya menara. Tinggi perkasa dengan warna batu alami.
Di luar katedral ada beberapa wanita muda mengemis
minta sedekah. Mereka menyodorkan kaleng bekas minuman Coca-Cola sambil
menyilangkan tangan kanan tanda salib. Sebelah kiri depan katedral berderet
seniman lukis wajah. Para pelancong yang ingin mengabadikan wajahnya, cukup duduk
di kursi mungil. Dalam tempo 15 menit lukisan foto itu sudah jadi. Aku juga
melihat ada seorang badut berjas hitam dan berhidung sebesar jeruk nipis warna
merah. Badut itu berdiri mematung di atas kotak kayu. Tentu saja tujuannya
menghibur pejalan sambil mengharapkan lemparan koin Euro. Tak terasa badut di
atas kotak itu tubuhnya memutar dengan sangat pelan. Sulit dilihat mata
telanjang, dan tiba-tiba tubuhnya sudah bergeser arah.
Matahari sudah mulai condong ke barat. Kami bergegas
pulang dan mampir ke sebuah kota kecil yang hanya 15 menit saja dengan kereta.
Sélestat, nama kota itu. Sepintas kota itu sepi dan tak tampak ada sisa
bangunan lama. Jalan beraspal dan trotoar masih baru. Makin jauh berjalan, kami
makin menemukan kekhasan kota Sélestat. Menara air menjulang dan pintu
masuk kota tampak kokoh dan tua. Di antara bangunan lama, aku melihat ada
sebuah bangunan cukup artistik tertulis: Bibliothéque Humaniste (Perpustakaan
Gumanis). Kebetulan Minggu itu akan diadakan pembukaan Perpustakaan Humanis.
Ketika aku masuk, sudah banyak orang berdiri memenuhi
ruangan. Seorang menerangkan sejarah berdirinya perpustakaan. Dengan mempertunjukkan
arsip-arsip lama. Dari brosur yang kudapatkan di pintu masuk disebutkan bahwa
perpustakaan itu didirikan pada tahun 1452 dan berfungsi sebagai sekolah bahasa
latin. Perpustakaan ini dipelopori oleh Beatus Rhenanus (1485-1547), seorang
humanis, ahli bahasa, juga kawan dari Erasmus von Rotterdam. Perpustakaan ini
menyimpan 450 karya tulisan tangan dan cetakan dari abad 16. Hampir semua buku
di rak dan lemari yang terbuka itu sudah kuno. Warna kertasnya sudah buram dan
hurufnya lama, seperti tulisan halus anak sekolah dasar. Sampul buku-buku itu
kebanyakan tebal dan dari kain. Di ruangan itu terlihat ada sebuah alat
percetakan kuno. Dua buah kayu besar yang masih tampak mengapit buku yang
sedang dibendel. Beberapa huruf cetak dari tembaga warna hitam berserakan.
Setelah itu aku keluar dan masuk pabrik roti kecil
persis di depan perpustakaan. Ketika aku masuk dan mengamati tukang roti memperagakan
cara membuat roti, semua orang merasa heran sambil menatapku. Seorang laki-laki
di depanku menoleh lalu orang itu berbisik pada perempuan di sebelahnya.
Perempuan yang menerima bisikan segera menarik tasnya dan menjauh dariku. Aku
cepat tanggap. Mereka pasti sedang bermasalah dengan diriku yang tampak lain
dengan mereka. Mungkin aku dianggap orang Gipsi. Kelompok Gipsi yang sering
hidup berpindah-pindah itu, memang banyak terdapat di Perancis. Mereka sering
dikesankan suka mencuri, menipu, dan mencopet. Tapi mereka mempunyai keahlian
memainkan musik.
Colmar dan Liberty Statue
Sebelum matahari benar-benar padam, kami sempat
mampir di kota Colmar. Kota ini juga kecil seperti Sélestat. Tapi ada dua
keunikannya. Pertama, terdapat banyak rumah kuno. Kayu-kayu warna coklat
atau hitam sebagai konstruksi bangunan tampak dari luar. Kedua, di
tengah kota dibelah oleh sungai kecil berair bening. Ikan-ikan menari di antara
lambannya arus. Sering kali ikan-ikan itu tertipu mengejar daun-daun kering
atau bunga yang terhempas angin. Tak ketinggalan perahu-perahu kayu bak gondola
merapat di mulut restauran. Sehingga wajar kaum pelancong menggambarkan kota
Colmar bagaikan Petite Venise.
Dengan sisa tenaga sore itu, kami menjejak jalan
bebatuan di tengah kota. Di sebelah kanan jalan, ada beberapa orang memasuki taman
kecil yang dikelilingi rumah tembok. Kami iseng mengekor langkah mereka. Di
pintu masuk terpahat tulisan: Frédéric-Auguste Bartholdi (1834-1904).
Awalnya aku mengira, ya mungkin sebuah museum seni atau sejenis pameran
seni. Namun ketika nama Bartholdi aku cari di buku petunjuk jalan, ternyata dia
seorang pematung ternama. Tak diduga, kota Colmar yang kecil itu melahirkan seorang
pematung yang punya nama besar.
Karya Bartholdi yang paling banyak dikenal masyarakat
dunia adalah patung Liberty di New York. Awalnya, Bartholdi ketika masih
muda dan masih berusia 20 tahun pergi ke Mesir. Di Mesir dia sangat kagum
dengan kemegahan berbagai kuil kolosal dari batu granit yang usianya bertahan
sampai berabad-abad. Inspirasi ini mempengaruhi khayalannya untuk menciptakan
patung berskala kolosal. Adalah Edouard de Laboulaye, seorang politikus ternama
di Perancis yang memprakarsai gagasan pembangunan patung tersebut pada tahun
1871. Dengan tujuan, patung Liberty itu sebagai hadiah dari bangsa
Perancis pada bangsa Amerika atas tali persahabatan yang bersejarah dari kedua
bangsa. Di samping sebagai simbol kebebasan dan demokrasi. Wajah patung Liberty
adalah duplikat dari dewi zaman Romawi bernama Libertas. Karena dewi
Romawi ini di Eropa telah lama menjadi simbol kebebasan. Akan tetapi ada
pendapat lain. Pendapat lain itu mengatakan bahwa Bartholdi sebenarnya membuat
wajah ibunya sendiri. Buktinya antara wajah dewi Libertas dan ibu Bartholdi
ada kemiripan.
Dan begitulah, akhirnya aku dan istriku menuntaskan rangkaian
perjalanan dua hari itu dengan perasaan yang cukup puas. Dan rupanya, pada hari
Minggu tanggal 21 September itu ternyata sebagai penutup musim panas secara
resmi di tahun 2003.***