BLANTERVIO103

Goethe dan Strasbourg - Sigit Susanto

Goethe dan Strasbourg - Sigit Susanto
9/30/2019
Goethe dan Strasbourg
oleh Sigit Susanto
Goethe dan Strasbourg - Sigit Susanto

       Apakah aku mencintaimu, aku tak tahu
      Aku hanya melihat wajahmu sekali saja
      Aku memandang di matamu sekali itu
      Akan membebaskan hatiku dari semua derita
      Apakah aku mencintaimu, aku tak tahu
      
Penggalan sajak di atas dari karya Johann Wolfgang von Goethe (1749-1832) berjudul: Liebesgedichte für Friederike (Sajak Cinta untuk Friederike). Pada usia 20 tahun Goethe melanjutkan belajar ilmu hukum dari universitas Leipzig ke Universitas Strasbourg, Perancis. Tepatnya 2 April 1770 dia tiba di Strasbourg dan langsung mengagumi katedral Notre-Dame di pusat kota itu. Strasbourg bukanlah Paris, tetapi bukan pula Paris kecil, hanya Entrée ke Paris. Goethe berada di Strasbourg selama 1 tahun 4 bulan (April 1770 - Agustus 1771). Lima bulan berikutnya, tepatnya bulan September 1770 datang pula Johann Gottfried Herder (1744-1803) ke Strasbourg. Goethe bertemu Herder dan bersahabat erat, pertemuan dan persahabatan dua intelektual klasik Jerman di negeri rantau. Bahkan keduanya hampir tiap hari selalu bertemu hingga tujuh bulan lamanya. Pertemuan ini hampir mirip dengan pertemuan antara penyair Heinrich Heine (1797-1856) dan Karl Marx (1818-1883) di Paris pada musim gugur 1843. Pada waktu itu Marx masih berusia 25 tahun. Heine dan Marx juga hampir setiap hari bertemu untuk saling membicarakan sajak-sajak. Hanya saja kemudian pertemanan antara Heine dan Marx mulai renggang, setelah Marx bertemu Engels. Yang membedakan antara pertemuan dan persahabatan antara Goethe dan Herder, dengan Heine dan Marx adalah, Goethe dan Herder ke Strasbourg untuk belajar. Sedangkan Heine dan Marx ke Paris karena bereksil dari kejaran Pemerintah Jerman (Prusia kala itu).

Di Strasbourg, Goethe cepat menemukan pergaulan di lingkungan intelektual. Antara lain dia berkenalan dengan Brion, seorang pastor desa Sesenheim yang punya dua anak perempuan. Salah seorang anak Brion bernama Friederike kemudian ditaksir oleh Goethe. Selama musim panas, Goethe senang tinggal di rumah Friederike. Dan lahirlah sajak cinta untuk Friederike, seperti penggalan di atas. Lalu Goethe berkenalan dengan Franz Christian Lerse (1749-1800), seorang teolog asal Elsass. Teolog ini sering memanggil nama Goethe dengan sebutan "Götz". Mungkin pengaruh bahasa Perancis, akan tetapi Goethe menikmati panggilan barunya. Di samping itu, Goethe juga bersahabat akrab dengan seorang ahli sastra dan pendidikan serta moral bernama Johann Daniel Salzmann (1772-1812).

Kembali ke perihal kisah asmara Goethe, setiap kali Goethe mengunjungi rumah Brion, hatinya berbunga-bunga, karena disambut hangat oleh kedua anak gadis Brion. Pada buku berjudul Goethe, karangan Richard Friedenthal disebutkan, pastor Brion mempunyai dua anak perempuan. Yang pertama bernama Salome dan yang kedua bernama Friederike. Sifat Salome lebih periang, lucu dan pemberani. Sebaliknya, sifat Friederike lebih tenang dan suka memakai topi dari bahan jerami, serta mengenakan rok ala pakaian wanita Jerman. Rambut pirang Friederike dikepang dua sepanjang bahu serta matanya berwarna biru. Pada 15 Oktober 1770 Goethe menulis surat cinta untuk Friederike berbunyi:

Pacar Baruku,
Aku tidak ragu menyebutmu sebagai pacar. Aku memahamimu dari pandangan matamu, juga dari mataku. Pandangan pertama itu membangkitkan harapan tali perkawanan. Hati ini ingin bersumpah. Kamu lemah lembut dan baik seperti yang aku tahu. Inginkah kamu aku mencintaimu? Tentu, dara manis, Strasbourg tak pernah sunyi seperti sebelumnya.

Gelora cinta Goethe dengan Friederike mengilhami karya Goethe yang yang monumental berjudul Dichtung und Wahrheit (Kepenyairan dan Kebenaran). Penyair yang belakangan punya karya puisi panjang berjudul Faust itu, mengilustrasikan cintanya dengan ucapan:
“Dapatkah kamu terka, siapa aku?“ Goethe bangga dan menjawab sendiri: “Sekarang aku adalah milikmu!“

Itulah sedikit kisah cinta Goethe di saat-saat awal dia tinggal di Strasbourg.

***

Goethe sang Pencinta

Sabtu pagi 20 September 2003 aku dan istriku berada di Strasbourg. Kami berangkat ketika desaku di Swiss masih tertidur sepi, ketika lonceng gereja masih memukul jantung sunyi dalam dentingan kecil lima kali. Di saat itulah, kami sudah berada di atas kereta beroda besi. Sekitar tiga setengah jam, kami sudah di stasiun kota Strasbourg. Belum banyak orang keluar, hanya beberapa anak muda meringkuk di kursi. Kaki-kaki kami siap menapaki kota lama yang pernah dijuluki sebagai ibu kota Eropa. Toko-toko berjejer dengan aneka ragam model bangunan kuno. Jalan pun tertata dengan batu kali bundar hitam rapi. Aspal belum masuk, saat kota itu mulai dibenahi. Jembatan menyambung perjalanan kami. Air kehijauan mengalir lamban. Aku tengok ke samping kanan, terlihat beberapa orang bergerombol, berjongkok, tiduran, berdiri di bawah jembatan. Di Paris pun ada gelandangan. Mungkin Ali Sadikin pernah studi banding ke Paris ketika kemudian aku ingat perkataan di koran saat Ali Sadikin masih menjabat sebagai gubernur DKI, “Tak mungkin menghapus gelandangan di ibu kota Jakarta.“

"Lihat itu orang-orang tidur di bawah jembatan. Di Indonesia, mereka tidur di sela-sela timbunan sampah", kataku pada istri, "di Strasbourg, mereka tak separah seperti di negeriku."

"Iya, tapi kau ingat, di musim dingin di sini lebih parah. Bagaimana mereka harus melindungi tubuh mereka dari sengatan udara dingin dan salju", bantah istriku, "di Indonesia tak kenal musim dingin."

Kami berlalu dari pemandangan yang merobek kemanusiaan itu. Belok ke kanan di sepanjang sungai dan akhirnya naik sebuah atap gedung yang digunakan untuk mengincar panorama kota tua. Tampak di depan mata, dua benteng kembar berdiri sama tinggi dan sama gemuk. Bahan dua benteng tersebut dari batu padas besar. Di antara dua benteng ada empat saluran air sungai. Beberapa kapal berbadan rendah dan lebar serta beratap kaca tembus pandang saling datang dan kembali memutar haluan. Tas hitam beroda dua aku tarik dengan tangan kanan dan sering melompat-lompat di antara bukit-bukit batu jalanan. Sesekali berhenti dan mengamati bangunan-bangunan yang agak miring ke kanan atau ke kiri, bangunan-bangunan tembok dengan ruas-ruas dari bahan kayu coklat atau hitam. Mirip manusia kurus yang terlihat tulang rusuknya. Atap rumah-rumah itu dibiarkan tampak antik, juga ranting-ranting pohon tanpa bunga. Akarnya menjalar ke mana-mana, bak cumi-cumi siap menerkam mangsa.

Ada sebuah rumah bertingkat dari kayu di pinggir sungai. Pada bagian bawah dan teras disulap menjadi restoran. Kami agak lama terdiam membayangkan keunikan estetika restoran. Restoran itu dipoles dengan bunga warna-warni di pot yang digantung di setiap sudut dan di luar jendela. Mungkin pemiliknya pemuja romantisme klasik. Maka didirikanlah sebuah gubuk panjang di atas sungai. Arus air berputar mengelilingi setiap pilar penyangga. Dari hari ke bulan dan ke tahun selalu sama. Pilar hitam itu sudah berjaket lumut hijau. Arus gemericik bak air terjun di tengah kota. Dari belakang, sebuah kapal pesiar bergerak lunglai, melawan arus sungai. Kapal terhalang pada tanggul sungai. Akan jumping-kah kapal itu? Tidak. Di samping kanan ada lorong sebesar kapal. Kapal masuk dan mengeram beberapa menit. Kemudian pintu air sungai di belakang menutup sendiri. Secara perlahan, pintu air bagian depan mengirim air beraturan. Kapal itu tersentak naik setinggi tiga meter. Sejajar dengan permukaan pagar di tanah dan dengan batas ketinggian air di depan. Setelah permukaan air di lorong itu dengan di sungai bagian depan sama tingginya. Pintu air di bagian depan terbuka perlahan. Kapal meloncak kegirangan dan membelah sungai yang dipenuhi guguran daun-daun kuning.

Para pejalan dan penikmat keindahan makin bergerak. Dari satu gang yang sempit ke jalan yang longgar atau sebaliknya. Atau ada yang selalu suka meniti gang-gang yang sempit. Mereka bernapas seperti diapit dua bukit. Ketika sampai di pusat keramaian. Aku melihat ada mainan ayunan anak-anak yang berputar dengan iringan musik piano otomatis. Ada yang berbentuk gajah, kuda dan sepeda motor. Mainan itu berputar pelan dan beberapa anak kecil duduk mengendarai sendiri. Tak jauh dari situ, berdiri meja-meja penuh buku bekas. Segera aku dan istri berunding bilateral tentang pembagian tugas dan kesenangan. Satu jam kami berpisah mencari kesenangan masing-masing dan kami akan bertemu kembali di sebuah meja buku loakan itu. Kesenangan tidak harus dipersamakan secara paksa. Apalagi dimatikan. Tapi kesenangan yang berbeda itu harus tetap diberi kelonggaran hak hidup, agar masing-masing menemukan kepuasannya. Istriku terbenam di antara berjubelnya orang dan pertokoan, sementara mataku meruncing memeriksa setiap buku di dasaran. Pucat pasi wajah ini, semua berbahasa Perancis. Takluk tak berkutik. Aku tak mengerti bahasa Perancis. Ada buku bergambar Victor Hugo. Ada juga buku Napoleon yang gambar di sampul depan terpampang wajah dengan bibir digincu merah. Topinya hitam seperti milik cowboy terbalik arah. Ah, aku segera hengkang dari kerumunan orang-orang itu.

Di antara deretan toko ada terselip tulisan: LIBRAIRIE. Ternyata itu toko buku, yang mirip dengan bahasa Inggris Library. Sama saja toko buku itu hanya menjual buku bahasa Perancis. Namun di depan toko cukup menghiburku, karena ada meja panjang memajang berbagai kartu pos. Pertama aku temukan gambar Tolstoi berjenggot putih lebat sambil memanggul ransel dan bertopi serta memegang tongkat. Mirip pertapa di Himalaya. Beberapa lembar kartu pos aku pungut.

Setelah bertemu kembali dengan istriku, kami mengikuti arah gang kecil dengan rumah-rumah yang lebih tinggi dari lebar tanahnya. Kami bermuara di sebuah jembatan yang bisa dipinggirkan, ketika kapal akan lewat. Tepat di pinggir jembatan itu terdapat rumah kuno yang di depannya tertulis: "Foundation Johann-Wolfgang Goethe". Inilah rumah yang dulu ditempati Goethe. Sekarang rumah tua itu menjadi kantor Yayasan Goethe. Tak hanya rumah itu yang banyak menyisakan kenangan masa muda Goethe, tapi seluruh Strassbourg bagaikan tempat lahirnya kehidupan baru bagi Goethe. Dua hari setelah ujian, Goethe menemui pacarnya Friederike yang terakhir kalinya. Setelah Goethe berhasil memperoleh gelar Lizentiät di bidang ilmu hukum. Kemudian dia mengikuti kehendak ayahnya untuk berpraktik sebagai pengacara di kantor pengadilan di kota kelahirannya Frankfurt. Sementara itu Friederike tak menyangka, kalau Goethe tidak akan kembali lagi ke Strasbourg. Hingga kemudian sampai pada batas kesabaran, Friederike melayangkan surat perpisahan pada Goethe. Surat itu membuat Goethe sedih. Rasa kesedihannya itu dituangkan pada tulisannya sebagai berikut:

Jawaban surat perpisahan dari Friederike mengoyak hatiku. (…) Aku sekarang baru pertama kali merasa kehilangan. Dia yang pedih dan tak ada kemungkinan mencari pengganti, hanya untuk meringankan hatinya. Sekarang dia kurasakan, ada yang kurang. Parahnya aku sendiri tak bisa mengampuni kemalanganku. Di sini aku lah pertama kali yang bersalah. Aku sangat melukai pada hati yang begitu lembut. Itu sebuah epos penyesalan yang suram, sangat memilukan, tak bisa dimengerti.

Adalah Engelhardt, seorang sastrawan asal Strasbourg yang mencoba menuliskan buku kenangan berjudul Goethes Jugenddenkmale In Strasbourg (Monumen Masa Muda Goethe di Strasbourg). Goethe mengetahui hal itu dan menjawabnya dengan diplomatis.

Sejak terbitnya buku itu hingga Goethe meninggal, tak pernah terdengar lagi kabar tentang kehidupan Friederike. Karier Goethe tak hanya sebagai penyair, namun juga sebagai seorang menteri negara pada zaman Republik Jerman pertama kali berdiri. Kemampuan intelektual dan karisma Goethe membuat dirinya dikelilingi banyak perempuan. Setidaknya ada 9 perempuan yang dekat dengannya. Salah satu dari kawan perempuannya bernama Christiane Vulpius yang akhirnya menjadi istrinya. Pada usia 83 tahun, tepatnya pada 22 Maret 1832 Goethe meninggal di Weimar.

Dalam sejarah kota Strasbourg disebutkan, meskipun kota tersebut termasuk wilayah Perancis. Namun dulunya termasuk wilayah Jerman. Sebab itu banyak warisan istilah bahasa dan nama jalan yang masih menggunakan bahasa Jerman. Sekarang wilayah Strasbourg dan Jerman saling berdekatan.

Setelah cukup lama berjalan, kaki-kaki ini akhirnya mulai lelah. Di sebuah deretan toko, kami melihat sebuah warung milik orang Tunisia. Sepertinya sudah lazim, orang-orang dari bangsa bekas jajahan mendatangi negeri penjajahnya. Tunisia merupakan salah satu bekas jajahan Perancis di Afrika utara. Di warung itu, kami melihat banyak kue warna cokelat dan sepertinya manis. Kami hanya memesan makanan khas Tunisia yang bernama Couscous itu. Bungkusan Couscous itu kami bawa ke pinggir sungai dan kami makan sambil duduk di tembok. Sementara kami makan, berdatanganlah burung-burung gereja serta merpati yang masih malu-malu. Mereka sepertinya meminta jatah makan. Lalu kami menebarkan Couscous yang sebesar pasir kali itu. Mereka kabur dan merpati-merpati itu sembunyi di lubang rumah bertingkat empat. Tapi kami juga dijadikan tontonan para pelancong yang naik kapal. Mereka selalu menoleh ke kami. Mungkin mereka mengira kami musafir yang biasa makan irit dengan bungkusan kardus. Memang begitu cara kami berpelesiran. Makan dan penginapan bukan tujuan utama kami. Melainkan sejauh mana kami bisa mempelajari sebuah tempat yang baru.

Setelah perut tak ada rongga lagi alias sudah kenyang, kami berjalan melewati gang berbatu ke arah katedral. Di belakang katedral ada plang bertuliskan: Rue Des Ecrivains (Jalan Sastrawan). Tak jauh dari katedral terdapat taman dengan air mancur yang airnya sering meloncat terputus-putus. Dari taman ini aku mendengar suara musik melankolis. Aku datangi kerumunan musik itu dan duduk di lantai menikmati lagu-lagu Karibia yang dimainkan oleh enam pemuda Indian asal Equador. Seruling bambu enam belas biji ditumpuk dan ditiup bergantian. Semua pemuda itu mengenakan pakaian khas suku Indian. Rambut mereka panjang terurai, dan di antara gerai rambut itu terselip dua bulu burung elang. Wajah mereka dicoreng warna merah, biru, hitam, dan putih. Kadang mereka membunyikan alat seperti suara burung di hutan. Sungguh nikmat musik jalanan. Kilatan kamera berterbangan mengabadikan pertunjukan gratis dengan latar belakang sebuah toko bertuliskan: France telecom. Seorang gadis Indian dengan rambutnya yang panjang dan dikepang dua lalu berkeliling menawarkan CD hasil rekaman mereka.

Strasbourg menyimpan masa lalu. Seolah-olah masa lalu lebih indah dari masa kini. Awalnya, kami tak bermaksud menginap di kota itu. Tetapi kami masih punya waktu sehari lagi di hari Minggu. Sedang Strasbourg masih belum seluruhnya terjejaki. Hitung-hitung daripada pulang dan balik lagi dengan jarak yang cukup jauh, maka kami putuskan untuk mencari losmen sederhana. Akhirnya kami bermalam di situ. Pakaian yang melekat ditubuh harus kami pakai lagi selama dua hari.

Kota Strasbourg seperti punya dua wajah anggun. Siang kota itu terang, begitu kaya dengan cahaya matahari. Sedangkan saat malam, kota itu remang-remang seperti sebuah senja dimana seorang petani menyempurnakan kerjanya dengan membakar kelinci di ladang.

Kami tersesat di pinggir sungai. Aku kebelet ingin kencing, dan sialnya tidak ada WC umum di sekitar tempat itu. Tapi untuk masuk ke restoran dan menumpang kencing, aku merasa malu juga. Sehingga aku berniat kencing di kegelapan malam, di sebuah pojokan rumah. Tapi niat itu lagi-lagi batal karena ada orang-orang berderet hendak naik kapal malam. Kami pun akhirnya ikut naik kapal. Karena ingin melihat malamnya kota dari sungai. Apalagi akan lewat bawah jembatan tempat para gelandangan. Tentu bisa melihat mereka yang tersinkir dari kehidupan itu dengan lebih dekat lagi.

Kapal terus merangkak, mengelilingi kota. Baru kami sadari, sungai bernama Ill itu melingkar bak sabuk yang melilit kota. Praktis Strasbourg seperti sebuah pulau. Namun bukan pulau seperti di Nusantara yang dikelilingi air laut dengan kedalaman ribuan meter. Kedalaman Sungai Ill ini hanya beberapa meter saja. Ketika kapal sudah akan melewati jembatan, aku sorotkan mata ke samping kanan. Tampak ada dua orang laki-laki. Seorang sedang berdiri sambil merokok dan melambaikan tangan ke arah kami. Sedang yang lainnya tiduran di kasur busa. Kasur itu kelihatan jelas terletak di atas beton bibir sungai. Tak jauh dari mereka berdua ada panci di atas tungku dengan api yang masih menyala. Di seberang bawah jembatan yang lain ada gerombolan orang-orang muda usia. Namun yang ini pemandangannya agak lain. Tampak beberapa muda-mudi berpakaian bersih. Mereka berdiri dan tangannya memegang botol minuman. Di sebelahnya ada dua tenda cembung seperti para anggota pramuka sedang berkemah. Aku pikir, mungkin ini petualangan anak-anak muda yang tak punya banyak uang. Sehingga penginapan mereka cukup dengan cara mendirikan tenda di pinggir sungai. Mereka tak peduli di seberang sungai ditempati para gelandangan. Meskipun sungai di dalam kota, namun airnya bening dan tak terlihat ada limbah. Ada satu lagi gerombolan orang tidur di bawah jembatan, tetapi terlalu jauh jaraknya, sehingga luput dari pantauan. Aku pikir mereka benar-benar orang-orang yang tak punya apartemen. Sebuah pemandangan yang paradoks, di mana beberapa menit saja kapal berlalu melewati sebuah bangunan super modern berbentuk kubus melingkar dan semua dindingnya dari kaca besar. Gedung yang tampak masih baru itu bernama: Palais des Droits de l`Homme. Sebuah kantor pusat Komisi Kak Azasi Manusia khusus bagi negara-negara Eropa. Sehabis keliling dengan kapal, kami kembali ke losmen.

Minggu pagi, kami menyisir jalan yang belum berpenghuni. Terdampar di sebuah daerah bernama Petite France. Mungkin dimaksudkan sebagai miniaturnya Perancis. Tempat tersebut dengan kota Strasbourg hanya dibatasi oleh jembatan. Lalu kami masuk ke katedral Notre-Dame. Di sana, banyak orang sedang bersembahyang. Jendela kaca warna biru, merah, kuning dan hijau tertatap awan dari luar mulai berkilau seperti pelangi. Arsitektur katedral itu berciri gotik. Sayang menara katedral sedang direnovasi. Sehingga pengunjung tak bisa naik. Dulu Goethe di saat punya waktu luang juga sering naik menara. Aku mendekat katedral lagi dan aku tegakkan kepala, melucuti runcingnya menara. Tinggi perkasa dengan warna batu alami.

Di luar katedral ada beberapa wanita muda mengemis minta sedekah. Mereka menyodorkan kaleng bekas minuman Coca-Cola sambil menyilangkan tangan kanan tanda salib. Sebelah kiri depan katedral berderet seniman lukis wajah. Para pelancong yang ingin mengabadikan wajahnya, cukup duduk di kursi mungil. Dalam tempo 15 menit lukisan foto itu sudah jadi. Aku juga melihat ada seorang badut berjas hitam dan berhidung sebesar jeruk nipis warna merah. Badut itu berdiri mematung di atas kotak kayu. Tentu saja tujuannya menghibur pejalan sambil mengharapkan lemparan koin Euro. Tak terasa badut di atas kotak itu tubuhnya memutar dengan sangat pelan. Sulit dilihat mata telanjang, dan tiba-tiba tubuhnya sudah bergeser arah.

Matahari sudah mulai condong ke barat. Kami bergegas pulang dan mampir ke sebuah kota kecil yang hanya 15 menit saja dengan kereta. Sélestat, nama kota itu. Sepintas kota itu sepi dan tak tampak ada sisa bangunan lama. Jalan beraspal dan trotoar masih baru. Makin jauh berjalan, kami makin menemukan kekhasan kota Sélestat. Menara air menjulang dan pintu masuk kota tampak kokoh dan tua. Di antara bangunan lama, aku melihat ada sebuah bangunan cukup artistik tertulis: Bibliothéque Humaniste (Perpustakaan Gumanis). Kebetulan Minggu itu akan diadakan pembukaan Perpustakaan Humanis.

Ketika aku masuk, sudah banyak orang berdiri memenuhi ruangan. Seorang menerangkan sejarah berdirinya perpustakaan. Dengan mempertunjukkan arsip-arsip lama. Dari brosur yang kudapatkan di pintu masuk disebutkan bahwa perpustakaan itu didirikan pada tahun 1452 dan berfungsi sebagai sekolah bahasa latin. Perpustakaan ini dipelopori oleh Beatus Rhenanus (1485-1547), seorang humanis, ahli bahasa, juga kawan dari Erasmus von Rotterdam. Perpustakaan ini menyimpan 450 karya tulisan tangan dan cetakan dari abad 16. Hampir semua buku di rak dan lemari yang terbuka itu sudah kuno. Warna kertasnya sudah buram dan hurufnya lama, seperti tulisan halus anak sekolah dasar. Sampul buku-buku itu kebanyakan tebal dan dari kain. Di ruangan itu terlihat ada sebuah alat percetakan kuno. Dua buah kayu besar yang masih tampak mengapit buku yang sedang dibendel. Beberapa huruf cetak dari tembaga warna hitam berserakan.

Setelah itu aku keluar dan masuk pabrik roti kecil persis di depan perpustakaan. Ketika aku masuk dan mengamati tukang roti memperagakan cara membuat roti, semua orang merasa heran sambil menatapku. Seorang laki-laki di depanku menoleh lalu orang itu berbisik pada perempuan di sebelahnya. Perempuan yang menerima bisikan segera menarik tasnya dan menjauh dariku. Aku cepat tanggap. Mereka pasti sedang bermasalah dengan diriku yang tampak lain dengan mereka. Mungkin aku dianggap orang Gipsi. Kelompok Gipsi yang sering hidup berpindah-pindah itu, memang banyak terdapat di Perancis. Mereka sering dikesankan suka mencuri, menipu, dan mencopet. Tapi mereka mempunyai keahlian memainkan musik.

Colmar dan Liberty Statue

Sebelum matahari benar-benar padam, kami sempat mampir di kota Colmar. Kota ini juga kecil seperti Sélestat. Tapi ada dua keunikannya. Pertama, terdapat banyak rumah kuno. Kayu-kayu warna coklat atau hitam sebagai konstruksi bangunan tampak dari luar. Kedua, di tengah kota dibelah oleh sungai kecil berair bening. Ikan-ikan menari di antara lambannya arus. Sering kali ikan-ikan itu tertipu mengejar daun-daun kering atau bunga yang terhempas angin. Tak ketinggalan perahu-perahu kayu bak gondola merapat di mulut restauran. Sehingga wajar kaum pelancong menggambarkan kota Colmar bagaikan Petite Venise.

Dengan sisa tenaga sore itu, kami menjejak jalan bebatuan di tengah kota. Di sebelah kanan jalan, ada beberapa orang memasuki taman kecil yang dikelilingi rumah tembok. Kami iseng mengekor langkah mereka. Di pintu masuk terpahat tulisan: Frédéric-Auguste Bartholdi (1834-1904). Awalnya aku mengira, ya mungkin sebuah museum seni atau sejenis pameran seni. Namun ketika nama Bartholdi aku cari di buku petunjuk jalan, ternyata dia seorang pematung ternama. Tak diduga, kota Colmar yang kecil itu melahirkan seorang pematung yang punya nama besar.

Karya Bartholdi yang paling banyak dikenal masyarakat dunia adalah patung Liberty di New York. Awalnya, Bartholdi ketika masih muda dan masih berusia 20 tahun pergi ke Mesir. Di Mesir dia sangat kagum dengan kemegahan berbagai kuil kolosal dari batu granit yang usianya bertahan sampai berabad-abad. Inspirasi ini mempengaruhi khayalannya untuk menciptakan patung berskala kolosal. Adalah Edouard de Laboulaye, seorang politikus ternama di Perancis yang memprakarsai gagasan pembangunan patung tersebut pada tahun 1871. Dengan tujuan, patung Liberty itu sebagai hadiah dari bangsa Perancis pada bangsa Amerika atas tali persahabatan yang bersejarah dari kedua bangsa. Di samping sebagai simbol kebebasan dan demokrasi. Wajah patung Liberty adalah duplikat dari dewi zaman Romawi bernama Libertas. Karena dewi Romawi ini di Eropa telah lama menjadi simbol kebebasan. Akan tetapi ada pendapat lain. Pendapat lain itu mengatakan bahwa Bartholdi sebenarnya membuat wajah ibunya sendiri. Buktinya antara wajah dewi Libertas dan ibu Bartholdi ada kemiripan.

Dan begitulah, akhirnya aku dan istriku menuntaskan rangkaian perjalanan dua hari itu dengan perasaan yang cukup puas. Dan rupanya, pada hari Minggu tanggal 21 September itu ternyata sebagai penutup musim panas secara resmi di tahun 2003.***
MARI BERBAGI:
Editor

TAMBAHKAN KOMENTAR

5700840368070671462