BLANTERVIO103

Gelang-Gelang - Zohra Saed

Gelang-Gelang - Zohra Saed
5/29/2021

Zohra Saed
GELANG-GELANG

Ketika umurku 10 tahun, aku punya teman sebaya bernama Sakeena. Pada saat kami berteman, di keluarga kami ada enam anak perempuan. Dua adik laki-lakiku pada waktu itu belum lahir. Sakeena adalah satu-satunya anak perempuan di antara tujuh saudara laki- lakinya yang sudah dewasa dan telah menikah. Dia tinggal di sebelah kami, ayahnya sangat keras hingga melarangnya bermain di luar terlalu lama. Setelah Sakeena menyelesaikan tugas-tugas rumah, ibunya akan mengizinkan dia menyelinap masuk halaman rumah kami sementara sang ayah tidur siang.

Sebuah sungai kecil yang sudah kering menghubungkan rumah kami. Sungai tersebut dialiri air hanya dua kali dalam setahun, dan itu pun sangat dangkal. Ada celah sempit di tembok rumah Sakeena yang berbatasan dengan sungai. Celah itu hanya cukup buat dia merangkak ke dalamnya. Kakak tertuakulah yang menemukannya untuk Sakeena. Kapan pun Sakeena merasa yakin bahwa ayahnya sudah mendengkur, dia akan merangkak masuk dan bermain dengan kami.

Ayahku sering berpergian untuk urusan kerja. Sebagai pengganti waktu yang hilang bersama anak-anaknya, ia akan membawa pulang sekantung penuh mainan yang akandibagikan kepada setiap anaknya. la membuatkan rumah-rumahan kecil di halaman kami. Kami masukkan semua mainan yang ia berikan ke dalamnya, seperangkat alat masak kecil yang mengkilap, cangkir mungil yang cantik seukuran bibir boneka, dan boneka kain dengan badan kayu. Permainan kami antara lain mengumpulkan daun, arbei, rumput dan tanah untuk pura-pura berpesta makan malam. Kami menggendong boneka-boneka itu seolah mereka anak kami dan menirukan cara ibu menimang bayi. Kami bertujuh menghabiskan waktu seharian di dalam dunia kami sendiri. Satu-satunya suara yang masuk ke dalam rumah khayalan itu adalah batuk ayah Sakeena. Ini selalu memperingatkan kami bahwa ia telah bangun dari tidur siangnya dan akan segera mencari Sakeena.

Pergelangan tangan dan kaki Sakeena dihiasi gelang- gelang indah. Aku dan saudara-saudara perempuanku sangat menyukai gelang-gelangnya karena kami tak pernah diperbolehkan mengenakan apa pun yang menimbulkan bunyi-bunyian. Kami bahkan tak boleh bersenandung ataupun bernyanyi kalau ayah sedang berada di rumah. Karenanya, kami berenam terpesona oleh benda-benda yang berbunyi yang tidak boleh kami pakai itu. Untuk menirukannya, kami melilitkan tangkai anggur di sekeliling pergelangan tangan dan kaki. Setidaknya, di dunia khayal itu kami dapat mengenakan gelang-gelang kaki dan tangan Sakeena.

Suatu malam, kami harus menginap di rumahnya karena orang tuaku harus pergi untuk sebuah perjalanan mendadak. Ibu Sakeena berkenan menjagaku dan saudara-saudaraku sampai nenek datang menjemput kami. Ini hanya hanya untuk dua hari. Di malam pertama, Sakeena melepaskan gelang-gelangnya. Ketika semua orang tertidur, aku tak dapat menahan keinginan untuk memakai perhiasannya. Aku merangkak mendekati kepalanya dan berbisik sangat pelan, "Sakeena? Sakeena? Bolehkah aku meminjamnya? Sakeena? Aku hanya akan memakainya sebentar saja." Dia tidak menjawabku karena aku memang hanya setengah hati membangunkannya, takut kalau dia akan menjawab tidak.

Menurut kata hatiku, aku telah berusaha meminta izinnya, dengan begitu aku tidak akan merasa bersalah memakai perhiasannya. Di sudut kamar, aku mengenakan gelang-gelang tangan dan kaki Sakeena. Mereka terlihat indah di kulitku. Berat sekali! Tapi itu tetap membuatku senang karena setiap aku melangkah mereka berkerincing.

"Cring! Cring! Cring!" terdengar dari tangan dan kaki ketika aku merayap melangkahi badan saudara-saudaraku.

"Cring! Cring! Cring!" berjalan sambil melambai-lambaikan tangan tiba-tiba membuatku merasa seperti orang penting dan hebat. Aku berdiri di pojok dekat pintu belakang dan menari-nari ke sana ke mari. Aku hentakkan kakiku sedikit saja dan terdengarlah gerincingan gelang-
gelang yang saling beradu dan terasa perhiasan dingin itu mulai menghangat di permukaan kulitku.

"Cring! Cring! Cring!" di tengah permainan bunyi-bunyian itu, aku menyadari tadi terlalu banyak minum air dan kini aku harus menanggung akibatnya. Aku sangat takut pergi keluar sendirian di malam hari, tapi tak bisa membangunkan yang lain karena kejahatan kecilku itu. Aku mengumpulkan segenap kekuatanku dan pergi keluar pintu belakang sendirian.

"Cring! Cring! Cring!" paling tidak aku membikin berisik untuk mengusir jin yang mungkin sedang berkeliaran di halaman, atau bergelantungan di dahan pohon.

"Cringi. Cring! Cring!" bunyinya membuatku senang dan hampir saja aku lupa bahwa aku sedang berjalan dalam gelap menuju kamar kecil di pekarangan.

"Cring! Cring! Cring" akhirnya, aku bisa menikmati rincingan dari langkahku seperti Sakeena.

"Cring! Cring! Cring!" tapi kenapa dia meredam bunyinya ketika dia merasa mendengar ayahnya bangun? Dan terkadang, dia menjatuhkannya ke dalam celah kecil di samping tembok rumah?

"Cring! Cring! Cring!" apakah dia tidak menginginkan kami bermain dengan gelang-gelangnya itu?

"Cring! Cring! Cring!" apakah dia mengira kami akan merusaknya?

"Cring! Cring! Cring" tiba-tiba dalam kesunyian, tiga tembakan menggelegar di udara dan seakan menjadikan langit terbelah tiga! Aku jatuh ke lantai dan terkencing di situ juga! Ayah Sakeena berteriak dari atap dalam bahasa Pashtun, "Mau ke mana kamu sendirian malam-malam begini, Sakeena? Cepat kembali ke dalam! Kenapa kamu tak ditemani ibumu?"

Seisi rumah terbangun karena suara tembakan itu. Lengkaplah sudah rasa maluku, semua saudara perempuanku, Sakeena, ibunya, dan tentu saja ayahnya, akan memergoki kejahatanku! Dengan suara gemetar aku akhirnya dapat mengeluarkan kata-kata dalam bahasa Dari, "Paman, ini aku, Shirin Gul. Aku tak ingin membangunkan yang lain. Aku hanya mau buang air kecil."

"Shirin Gul?" sahut ayah Sakeena kebingungan. "Oh, maafkan aku Nak, bunyi-bunyi itu seperti gelang Sakeena. Aku marah karena dia tak boleh keluar malam-malam sendirian. Seharusnya kamu bangunkan salah satu saudaramu buat menemani."

Sakeena dan ibunya langsung tertawa, merekalah yang pertama kali melihat ekspresi ketakutanku. Segera setelah itu, semua kakakku yang kebingungan menertawaiku juga, walaupun kakak sulungku merasa malu oleh tingkahku.

Aku tak berani beranjak bangun di tengah derai tawa mereka. Aku tak mau menambah kekonyolan lagi, dengan memperlihatkan genangan yang kusembunyikan di balik rokku. Aku diam dengan kedua tangan di wajahku dan mengintip melalui celah jemari. Malam itu, aku jadi memahami misteri kenapa Sakeena meredam bunyi gelang-gelang atau menyembunyikannya. Ayahnya bisa dengan mudah mengetahui di mana dia berada selama dia memakai gelang-gelang itu, yang bunyinya berbeda dengan gelang-gelang yang dipakai ibunya.

Ketika nenek menjemput kami dari rumah Sakeena, ia diberitahu tentang seluruh cerita itu. Nenekku yang pemurung pun tertawa sampai air matanya berlinang di kedua pipinya. Aku sembunyi karena malu di belakang lemari Sakeena sampai akhirnya nenek mengajakku pulang. Untunglah, Sakeena memaafkan aku yang telah memakai perhiasannya. Padahal, sebenarnya yang harus kulakukan hanyalah meminta ijinnya dan dia akan memakaikannya sendiri di pergelanganku. Dia adalah sahabatku dan kejadian itu membuat kami semakin dekat lagi satu sama lain.

Di rumah, nenek memarahi aku sedikit dan kemudian membawaku berbelanja ke toko bahan makanan. Sebagai hukuman atas kejahatanku ia bilang aku harus membawa belanjaan itu ke rumah. Ketika kami sampai di bazaar kam tidak mendatangi penjual buah-buahan. Malahan ia berjalan ke arah lelaki kecil yang berjualan gelang-gelang kaki dan tangan. Saking gembiranya, tanpa berkata sepatah pun aku langsung mengambil gelang tangan merah muda untuk kukenakan di kedua pergelangan tangan dan kemudian mencium tangan nenek.

Dia merasa senang. Dia mengambilkan masing-masing satu set untuk setiap saudaraku. Saat kami pulang dan membagikan hadiah, aku dan semua saudaraku sangat senang dan tidak bisa menyembunyikan kegembiraan kami. Kami berjingrak-jingkrak ke setiap ruangan rumah. Kami menggerincingkan gelang-gelang ke tembok di sebelah rumah Sakeena dan memanggil-manggilnya. Dengan begitu banyak gerincingan, Sakeena dapat memakai gelang-gelangnya tanpa diketahui oleh telinga ayahnya yang tajam. Di halaman kami begitu banyak bunyi-bunyian sehingga
dia tidak menyadari bahwa Sakeena sedang bermain dengan kami, bukannya mengerjakan tugas rumah.

Aku dan semua saudaraku sadar semua ini hanya bisa berlangsung sampai ayah dan ibu pulang. Orang tuaku mengejutkan kami dengan datang saat kami sedang menari-nari. Mulanya, ayah sangat marah dan tangannya siap menampar kelima putrinya yang berisik. Kami sangat panik dan takut melihat wajahnya yang marah, tapi nenek menyelamatkan kami dengan gerakan cepat dari tongkatnya untuk menghentikan tangan ayah. Kemudian, dengan tenang nenek menceritakan apa yang telah terjadi di rumah Sakeena. Aku merasa sangat malu, karena ia menggambarkan seluruh rincian kejadian bagaimana aku sampai terkencing karena takut akan dimarahi ayah Sakeena.

Ternyata cerita nenek dapat meredakan amarahnya dan kedua orang tuaku pun tersenyum. Ayah memperbolehkan kami memakai gelang-gelang dan tidak lagi mengeluhkan keributan dari bunyi-bunyian itu. Tapi kami semua tahu kalau nanti ada gelang kaca yang rusak (nenek tidak mem-
belikan kami gelang emas), ia tak akan menggantinya.

Tahun-tahun berlalu, aku dan Sakeena tetap bersahabat. Malam sebelum pernikahanku, dia berbagi cerita tentang gelang-gelang itu kepada para wanita dan gadis yang menempelkan pacar ke tanganku. Dia menceritakannya dengan lebih hidup daripada yang kuingat. Aku bunyikan wajahku di balik kerudung tapi sebetulnya aku menikmati cerita itu seperti yang lain. 

Entah bagaimana, suamiku akhirnya mengetahui juga cerita itu. Mungkin adik perempuannya telah menceritakan padanya. Di malam kedua bulan madu kami dia memberi kejutan dengan dua set gelang tangan dan sepasang gelang kaki dan emas.

Aku sangat girang oleh hadiah yang ia berikan. Ia mengatakan padaku bahwa ia ingin membahagiakanku dengan menghiasi kedua pergelangan tanganku sampai siku
dengan gelang-gelang. Aku tahu ide memberikan hadiah seperti itu muncul karena ia belajar dari pengalaman ayah Sakeena!

***
MARI BERBAGI:
Editor

TAMBAHKAN KOMENTAR

5700840368070671462