BLANTERVIO103

Immortality Sastrawan?

Immortality Sastrawan?
7/27/2020
Immortality Sastrawan?
Sigit Susanto

SASTRADUNIA.COM | Kematian adalah kata tabu yang dilarang keras diucapkan oleh para pejabat. Begitulah, perintah kaisar Qin Shihuang, dari dinasti Qin, dimungkinkan sebagai dinasti pertama di China pada abad ke tiga sebelum masehi.

Sang kaisar sibuk mencari berbagai jamu tradisional untuk memperpanjang hidupnya. Kerakusannya memuncak, bahkan ia ingin memboyong kerajaannya itu ke surga, karena di surga nanti dia hendak melanjutkan berkuasa lagi. 

Untuk persiapan itu, maka ia memerintahkan banyak seniman patung untuk membuat patung berbentuk serdadu dan jumlahnya tak tanggung-tanggung, mencapai 8000 patung. Alasannya, sang kaisar takut hukuman di akhirat, maka perlu dijaga banyak tentara, walau berbentuk simbolis berupa patung. Celakanya para pematung itu dibunuh, supaya mereka tidak membocorkan akal licik sang kaisar. 

Pada tahun 1974 ada dua petani yang menggali sumur. Tak disangka galiannya menabrak benda keras berupa patung berbentuk serdadu. Patung dari bahan gerabah itu diangkat dan ditaruh di depan rumah. Selang dua tahun berikutnya, datanglah wartawan asing dari Beijing mewartakan temuan patung itu. Beritanya tersebar luas dan mengundang rasa penasaran para peneliti bidang purbakala.

Ketika ada peneliti tertarik dan mulai mengadakan penggalian, ternyata ditemukan makin banyak patung. Total ditemukan 6000 patung dari keseluruhan 8000 patung. Dunia geger dan lokasi penggalian diisolasi dalam radius yang sangat luas. Tempat galian ribuan patung itu kini dijadikan obyek wisata internasional dengan nama Terra-Cotta Army di kota Xian, China.

Nama kecil sang kaisar itu adalah Ying Zheng dan pada usia 13 tahun dia sudah naik tahta menjadi kaisar. Sejak kecil itu ia sudah buru-buru membuat mausoleum di gunung Li. Saat pembangunan mausoleum itu belum selesai ia sudah keburu meninggal pada usia 51 tahun. Kematian kaisar Qin ini dirahasiakan, supaya anak lelakinya bernama HuHai bersedia menggantikannya menjadi kaisar baru.

Diakui atau tidak, banyak sastrawan dalam benaknya berangan, seandainya ia mati, ia ingin tetap dikenang namanya, paling tidak karyanya akan dibaca oleh generasi berikutnya. Namun ada sastrawan yang hanya sampai di gagasan dan ditelan dalam-dalam, ada sastrawan yang setengah-setengah mengungkapkannya, dan ada sastrawan yang blak-blakan.

Setidaknya ada tiga sastrawan yang menyusun semacam modus seperti kaisar Qin Shihuang dengan Terra-Cotta Armynya. Jika sang kaisar bisa menggerakan warga dengan kekuasaannya, maka sastrawan hanya bisa menggerakkan pena dan kata-kata adalah para serdadu yang akan bergerilya sendiri menemui pembacanya.


James Joyce
James Joyce memerlukan waktu selama 8 tahun untuk menulis novel fenomenal berjudul Ulysses yang terdiri atas 18 bab dan setiap babnya memiliki teknik menulis yang berbeda. Bab penutup yang ke 18 itu dibuat cukup nyeleneh, yakni setebal 40 halaman hanya ada dua titik dan nyaris tanpa koma. Bab paling dikenal sebagai monolog interior ini dipuji oleh Gustav Jung yang sempat membacanya dan dianggap sebagai mutiara. Joyce memasukkan berbagai frase dari berbagai pengarang klasik, juga berbagai idiom, slang, akrobatik bahasa dunia beserta dialeksnya.

Dengan sadar Joyce mengeluarkan fatwa, “I`ve put in so many enigmas and puzzles that it will keep the professors busy for centuries arguing over what I meant, and that is the only way of insuring one`s immortality.“


Atas kerumitan novel itu terbukti memang banyak pembaca yang patah arang, membaca hanya sampai di tengah jalan. Sepertinya Joyce sudah duluan punya asumsi, bahwa novelnya itu tidak ramah baca, apalagi dengan dibaca sekali duduk. Bahkan sudah bermunculan buku Anotasi sebagai pemandu memahami novel itu. Bersamaan dengan itu lahirlah ahli-ahli yang menguasai karya-karya Joyce yang kemudian dikenal sebagai Joycean. Dan benar adanya, novel Ulysses sampai kini sudah berusia 98 tahun (1922 -  2020), kurang 2 tahun lagi akan berumur seabad.

Joyce secara blak-blakan akan bilang, semakin sulit karyanya ditulis, akan membuat para profesor sibuk mendiskusikannya berabad-abad. Ia yakini dengan cara seperti itulah, maka nama sang penulisnya tak akan pernah mati.

Joyce menderita infeksi perut dan sempat koma, akhirnya meninggal pukul 02.15 pada 13 Januari 1941, pada usia 59 tahun. Setelah wajahnya dicetak dalam bentuk topeng, Nora Barnacle, istrinya bilang, “Jim, how beautiful you are!“

Namun ada satu wangsit Joyce kepada Nora, bahwa kelak jika ia meninggal tak perlu ada pendeta yang mendoakannya. Dan benar, ketika Joyce akan dimakamkan di kuburan Fluntern, Zürich, Switzerland datang pendeta akan berdoa dilarang Nora, “I couldn`t do that to him.“

Alasan Joyce, karena ia mengkritik Katolik di Irlandia, tempat dia dilahirkan. Sikap kritis terhadap agamanya itu ia buktikan tak mau membaptis dua anaknya dan perkawinannya tanpa ada ritual di gereja.


Bertold Brecht
Penyair marxist dan seniman theater Jerman ini meninggal pada 14 Agustus 1956 pukul 23.30 di rumahnya Chausseestrasse 125, Berlin, Jerman. Ia meninggal karena serangan jantung.

Pada tahun 1955 ia pernah menulis puisi sebagai berikut:

Ich benötige keinen Grabstein 

Ich benötige keinen Grabstein, aber 
Wenn ihr einen für mich benötigt 
Wünschte ich, es stünde darauf: 
Er hat Vorschläge gemacht. 
Wir Haben sie angenommen. 
Durch eine solche Inschrift wären 
Wir alle geehrt. 
0o0

Saya Tak Perlu Nisan Kuburan

Saya tak memerlukan nisan kuburan, tetapi
Jika kalian memerlukanku, 
Aku ingin waktu yang lama.
Telah banyak disarankan.
Kami semua menerimanya.
Seolah lewat semacam sebuah prasasti, 
Kami semua dihormati.

0o0

Brecht sebelum meninggal pernah menulis sebuah testamen pada 15 Mei 1955 kepada Rudolf Engel, anggota Akademi Seni, “Jika aku mati nanti, aku ingin mayatnya tidak ditempatkan di tempat lain dan apalagi untuk umum. Jangan pula bicarakan tentang kuburan. Kuburlah aku di samping rumah, dimana aku tinggal, di Chausseestrasse.“

Puisi Brecht di atas memang sejalan dengan isi testamennya. Ia tak ingin makamnya sebagai tempat peristirahatan terakhir didatangi banyak orang. Apalagi kalau tempatnya di kuburan umum. Ia memilih tenang di tanahnya sendiri samping rumahnya.

Karl Marx dimakamkan di kuburan umum di Highgate Cemetery di London, mungkin ia ingin membaur dengan warga biasa, sesuai nilai perjuangannya, masyarakat tanpa kelas. Meskipun Marx orang Yahudi, tetapi tidak seperti Franz Kafka yang mayatnya dikuburkan di tempat makam khusus bagi orang Yahudi di Praha.

Penyair yang mengaku lebih suka melakukan aksi-aksi praktis, ketimbang berfilsafat ini termasuk pengagum Laot Tze. Filsuf China yang sering bepergian sendiri dengan menunggang kerbau.


Sapardi Djoko Damono
Dunia sastra Indonesia berduka. Sapardi Djoko Damono, penyair kelahiran Surakarta itu meninggal dunia pada 19 Juli 2020 pukul 09.00 WIB pada usia 80 tahun. Sebab kematiannya dimungkinkan, karena organ tubuhnya mengalami penurunan fungsi.

Penyair F. Rahardi dalam akun facebooknya mengupas asal usul nama Sapardi, kenapa bukan Supardi, seperti nama orang Jawa pada umumnya? Ia sebut, Mangoen Sedyoko, ayah Sapardi punya pertimbangan lain. Pada Kamis Wage, 19 Maret 1940 saat putranya lahir, menurut Kalender Jawa tercantum tanggal 10 Sapar 1871. Sebab itulah, dikasih nama Sapardi, bukan Supardi.

Penyair yang berprofesi sebagai dosen sastra pada Universitas Indonesia ini pun melahirkan sebuah puisi bernuansa ingin mengekalkan karyanya. Berikut adalah puisinya:

Pada Suatu Hari Nanti

pada suatu hari nanti
jasadku tak akan ada lagi
tapi dalam bait-bait sajak ini
kau tak akan kurelakan sendiri

pada suatu hari nanti
suaraku tak terdengar lagi
tapi di antara larik-larik sajak ini
kau akan tetap kusiasati

pada suatu hari nanti
impianku pun tak dikenal lagi
namun di sela-sela huruf sajak ini
kau tak akan letih-letihnya kucari

Mencoba menafsirkan diksi pada baris-baris puisi di atas, kau bisa ditafsirkan sebagai sajak dan aku sebagai pembaca. Apalagi ada diksi jasadku, suaraku, impianku, yang bisa ditafsir mewakili penyairnya. Jika sampai di sini disepakati, maka Sapardi ingin sajaknya saja yang dikenang, bukan penyairnya.

Pada buku puisinya yang lain berjudul Di Dukamu Abadi.

Prologue

masih terdengar sampai di sini
dukaMu abadi. Malam pun sesaat terhenti
sewaktu dingin pun terdiam, di luar
langit yang membayang samar

kueja setia, semua pun yang sempat tiba
sehabis menempuh ladang Qain dan bukit Golgota
sehabis menyekap beribu kata, di sini
di rongga-rongga yang mengecil ini

kusapa dukaMu jua, yang dahulu
yang meniupkan zarah ruang dan waktu
yang capai menyusun Huruf. Dan terbaca:
sepi manusia, jelaga

Sapardi seperti hendak mengajak pembaca untuk merenungkan ulang, bahwa duka itu bertahan lama. Pada puncak kesepian manusia.

Penyair yang suka mengusung hujan, gerimis dan alam, juga cinta, ia tulis dengan cara bersahaja. Pemilihan diksinya terkesan halus, sederhana, mudah dipahami dan seperti sedang mengajak pembaca masuk ke ruang damai. Membayangkan sosok Sapardi seperti pertapa dari candi Sukuh di Surakarta sana. Ia sedang menabur harmoni, khas budaya orang Jawa yang enggan beradu frontal.

Di ruang damai itulah, hidup perlu ditakar setiap hari. Seperti pada puisinya di bawah ini:

Metamorfosis

ada yang sedang menanggalkan 
kata-kata satu demi satu,
mendudukkanmu di depan cermin, 
dan membuatmu bertanya, 
“tubuh siapakah gerangan yang kukenakan ini?”
ada yang sedang diam-diam menulis riwayat hidupmu, 
menimbang-nimbang hari lahirmu, 
mereka-reka sebab-sebab kematianmu, 
ada yang sedang diam-diam berubah menjadi dirimu
0o0

Sapardi sepertinya tak berminat menjadi sufi, ia lebih dekat sebagai orang pembawa pesan bijak. Ia tidak tampak bergelora dalam diksi-diksinya, lebih memberi peringatan, supaya pembaca ingat. Sudahkah mengaca di cermin, siapa tahu diam-diam diri kita sudah berubah?

Dari Joyce, Brecht dan Sapardi akankah nama mereka akan terus diingat pembaca? Itu semua tergantung, apakah kualitas karyanya akan menyublin menjadi klasik modern. Tanda-tanda itu akan muncul jika baris-baris puisi atau kalimatnya sering dipakai orang dalam berbagai bidang ilmu, tak hanya pada sastra. Dan ungkapan-ungkapannya dalam karya sering dibuat aforisme baru. Dan apakah karya-karyanya akan selalu dicetak ulang dari generasi ke generasi yang lain. Mata rantai ini akan mengekalkan bahwa immortality untuk sastrawan.

Pada akhirnya Pablo Neruda sebagai penutup dengan puisi pendeknya: 

Perpisahan
Bumi, Kucium kau, selamat tinggal.

0o0
*Penulis adalah salah satu moderator forum Apresiasi-Sastra (APSAS) di internet yang berdomisili di kota Zug, Switzerland.



MARI BERBAGI:
Editor

TAMBAHKAN KOMENTAR

5700840368070671462