BLANTERVIO103

Imajinasi dan Kebebasan Mencipta - MS. Hutagalung

Imajinasi dan Kebebasan Mencipta - MS. Hutagalung
4/10/2020
Imajinasi dan Kebebasan Mencipta 
Oleh MS. Hutagalung

SASTRADUNIA.COM | Pada dasarnya karya sastra itu benar-benar adalah rekaan pengarang. Bahan yang dipergunakan pengarang mungkin saja peristiwa yang benar-benar terjadi, tetapi dalam mengutarakan peristiwa itu, ia sudah memilih apa yang pantas dan yang tidak pantas untuk diceritakan; ia sudah mengatur kembali urutan peristiwa-peristiwa, menentukan mana awal dan mana akhir cerita, menambah di sana-sini sehingga cerita itu berupa cerita yang bulat dan menarik hati pembaca. Pengarang mungkin mengambil contoh daerah dan waktu tertentu yang menjadi latar belakang ceritanya sehingga yang kita bayangkan ketika membaca cerita tersebut ialah daerah yang kita kenal itu. Tetapi apabila kita teliti lebih jauh, keseluruhan cerita tidaklah berupa kenyataan faktual, melainkan sebuah dunia baru yang diciptakan oleh pengarang itu dengan daya khayalnya, pikirannya, perasaannya, dan pandangan hidupnya. Apabila kita dalam menikmati karya tersebut mengkhayalkan cerita itu benar-benar terjadi, hal itu adalah karena muslihat kesusastraan yang dipergunakan pengarang dengan baik. Kita mungkin saja mencucurkan air mata menonton adegan sedih dalam sebuah drama atau film, tetapi kita harus mengakui bahwa adegan tersebut tidak benar-benar terjadi secara sungguh-sungguh. 

Kalau kita meneliti pula hubungan pengarang dengan karyanya, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa karya sastra itu tidak selalu menggambarkan kepribadian pengarang secara autentik. Pengarang yang suka menampilkan adegan-adegan seksual dalam karyanya tidak serta-merta menggambarkan dirinya sebagai orang yang cabul. Oemar Khayyam yang suka menuliskan sajak-sajak yang hedonistis, konon kabarnya adalah seorang yang sangat alim dan taat beragama, Memang menafsirkan jiwa dan kepribadian pengarang hanya dengan melalui karyanya mungkin akan memberikan gambaran yang bertentangan dengan kenyataan yang sebenarnya. Jadi, berbahaya sekali apabila kita menghakimi seseorang berdasarkan kesimpulan kita tentang karyanya saja, apalagi bila karya yang kita jadikan sumber untuk "menghakimi" pengarang itu hanya sebuah dari antara karya-karyanya yang banyak. Sajak yang manakah yang akan kita pilih dari sajak-sajak Chairil Anwar untuk mengetahui kepribadiannya? Untuk menentukan bahwa ia seorang yang beriman dan saleh atau seorang yang murtad, sajak manakah yang akan kita ambil dari dua buah sajaknya yang berjudul Doa dan Di Mesjid? 

Menafsirkan sajak Subagio Sastrowardojo sajak per sajak akan menimbulkan tanggapan bahwa penyairnya seorang atheis, tetapi tafsiran menyeluruh atas sajak-sajaknya dalam Simphoni justru sebaliknya. Pengarang jengkel melihat orang-orang yang tak menghayati soal-soal kerohanian dan ketuhanan lagi. 

Pendapat tentang dua sajak Chairil Anwar di atas pasti akan menimbulkan dua bayangan yang bertentangan. Mungkin ada orang yang berkeberatan karena contoh diambil dari pengarang yang tidak begitu alim. Marilah kita lihat pula sajak-sajak penyair yang sering dijuluki penyair Islam yaitu Amir Hamzah. Penelitian yang lebih saksama menunjukkan bahwa penyairnya condong kepada mistik dan di dalam pencariannya dan pergulatannya memahami Tuhan, kadang-kadang seakan-akan ia menjadi sangsi kepada Tuhan. Mungkin kita akan terkejut membaca tafsiran pengikut Freud yang beranggapan bahwa Tuhan dalam puisi Amir Hamzah adalah simbol wanita yang dicintainya di rantau, tetapi tak dapat dipersuntingnya karena ia harus kawin dengan anak mamaknya, Sultan Langkat, wanita yang mungkin tidak dicintainya. Kalau kita telah memahami kesusastraan itu, memahami hakikatnya, tentu kita tidak akan terkejut lagi mendengar cerita seorang sahabat Amir Hamzah yaitu Achdiat yang mengatakan, di samping rajinnya bersembahyang, Amir juga suka mengunjungi "warung berlampu merah".

Dengan menunjukkan hal di atas, tentu kita makin sadar bahwa cipta sastra biasanya menimbulkan tafsir ganda. Sebuah jiwa dan pribadinya. Dari uraian di atas kita perlu menekankan bahwa cipta sastra biasanya menimbulkan tafsir ganda. Sebuah tafsiran atas Sorga dan Di Mesjid karya Chairil Anwar mungkin akan merangsang kita untuk mencapnya seorang kufur, atau seorang murtad yang menghianati agama. Betapa tidak? Chairil melukiskan Tuhan suka "memperkuda" dan menurut dia ia dan Tuhan sama-sama menganggap yang lain gila, Tetapi tafsiran yang positif dapat beranggapan bahwa itu hanyalah protes Chairil terhadap konsep-konsep agama menurut kaum ulama tertentu yang tidak disetujuinya. Tafsiran tersebut sama saja dengan tafsiran sajak Amir Hamzah yang juga memprotes konsep sebagian ulama yang menggambarkan Tuhan sebagai raja atau dalang, sedangkan manusia budak atau wayang. Tafsiran kita boleh berbeda-beda dan harganya biasanya ditentukan oleh argumentasi yang kita kemukakan, dan rasanya kita sepakat bahwa yang paling tahu tentang maksud karangannya adalah pengarangnya sendiri. Kalau kita tidak juga yakin mengenai keterangan pengarang, tentu Tuhanlah yang paling tahu tentang isi hati manusia itu, dan kita tidak perlu mempersoalkannya lagi. 

Anda mungkin juga sempat membaca cerpen Langit makin Mendung karangan Kipanjikusmin yang dihebohkan itu sampai melibatkan H.B. Jassin ke pengadilan. Kalau Anda teliti cerpen Kipanjikusmin itu, tentu Anda dapat mengemukakan pelbagai tafsiran tentang maksud pengarangnya. Dari surat pengarang itu sendiri, kita dapat mengetahui bahwa sebenarnya pengarang bermaksud baik terhadap agama Islam. Ia ingin berdialog langsung dengan Tuhan dan Nabi. Kita memang boleh percaya dan boleh juga tidak. Yang jelas, dalam menampilkan soal-soal yang suci, rupanya pengarang kurang berhasil sehingga kesan kesucian yang diharapkannya rupanya tidak terbangun, malah menyebabkan sebagian masyarakat merasa tersinggung. Bermacam-macam alasan dikemukakan orang untuk menolak dan menerima cerpen itu. Dalam lingkungan yang sangat kecil pun, selalu timbul golongan-golongan yang pro dan kontra. Memperdebatkan apakah yang dikemukakan oleh Kipanjikusmin itu dapat diterima atau tidak oleh agama Islam, rupanya tidak akan habis-habisnya. 

Dalam perdebatan-perdebatan, yang dipersoalkan selalu adalah mengenai imajinasi. Memang imajinasi itu bebas. Aliran-aliran tertentu ingin membatasi dan mengarahkan imajinasi itu sesuai dengan falsafah seni yang dianut. Kaum romantikus menginginkan imajinasi yang bebas dan merdeka, sedangkan penganut seni tiru tidak memberikan tempat bagi imajinasi. Pembatasan imajinasi menurut ide atau golongan tertentu memang tidak baik bagi perkembangan kreativitas seniman. Tentu akan menjadi gangguan apabila dalam menciptakan sesuatu, si seniman selalu dihantui oleh pertanyaan apakah yang diciptanya itu sesuai atau tidak dengan konsep, ide, kepercayaan, atau dengan golongan tertentu, Menurut hemat saya, sudah menjadi risiko pekerjaanlah mencari, mencipta, atau menemukan sesuatu untuk menghadapi masyarakat, menghasilkan penemuan yang kadang-kadang tidak dapat diterima oleh suatu golongan. Apa yang diciptakan oleh seniman-seniman itu belum tentu dapat diterima oleh pelbagai golongan yang hidup dalam masyarakat. Seniman merasa sudah memberikan miliknya yang terbaik kepada masyarakat, namun karyanya itu belum tentu dapat diterima oleh para kritikus seni. Tanggungjawab seniman yang utama bukanlah kepada masyarakat dan kritisi tadi, melainkan kepada dirinya sendiri. Pertanyaan yang sebaiknya selalu menggodanya ialah: apakah dan bagaimanakah saya memberikan milik saya yang paling baik kepada sekeliling dan kemanusiaan? 

Dalam mewujudkan imajinasi ke dalam seni, tentulah ada pembatasan, tetapi pembatasan itu adalah unsur-unsur seni itu sendiri. Imajinasi hanyalah salah satu unsur kesusastraan. Dalam perwujudan itu, keindahan, kemahiran, teknik, kecendekiaan, perasaan, bahkan nilai-nilai moral yang tinggi selalu terikutkan. Dengan semua unsur inilah, seniman selalu bergulat. Dalam mencipta, sang seniman boleh menyampaikan ide-ide tertentu dan apabila ià mau idenya itu tidak disalah-tafsirkan, hendaklah penyampaian itu dilakukannya dengan sungguh-sungguh. Mungkin seniman ingin menimbulkan suasana suci dalam ciptaannya, tetapi maksud itu malah menimbulkan yang sebaliknya bila tidak dikerjakan dengan sungguh-sungguh.

Dari pelbagai diskusi dan pembicaraan yang kita dengar, dapat diambil kesimpulan bahwa di antara para ahli dan orang-orang yang berkecimpung dalam lapangan kesusastraan, banyak yang belum dapat menerima bahwa kesusastraan itu adalah benar-benar rekaan pengarang. Saya sendiri pernah agak merasa sakit hati ketika seorang ahli sosiologi mengatakan bahwa kesusastraan itu bukan ilmu. Yang dikemukakan pengarang khayalnya. Ketika itu, rasa cinta saya terhadap kesusastraan terasa diganggu, tetapi kini saya insaf bahwa dengan mengakui kenyataan, bahwa kesusastraan itu bukan ilmu, tidaklah mengurangi nilai kesusastraan itu sendiri. Menurut pendapat saya, hal inilah yang menyebabkan banyak orang tidak menerima bahwa kesusastraan memanglah rekaan penulisnya. Apabila orang-orang yang langsung menjadi pendukung kesusastraan itu belum menerimanya, maka memang adalah khayal belaka apabila kita mengharapkan masyarakat serta-merta menerimanya. Menurut hemat saya, kaum kritikus, pendidik kesusastraan, dan propagandis sastralah yang bertugas melenyapkan jurang pemisah antara sastrawan dengan penikmat. Juga perlu kita sadari betapa berbahayanya persoalan Kipanjikusmin yang sudah saya sebutkan di atas, karena hal seperti itu, dapat merugikan kemerdekaan mencipta yang menjadi air hayat seniman dan cendekiawan. 

Sebaliknya kita menoleh sebentar ke situasi yang pernah kita alami pada masa lampau masa Nasakom. Kita mengalami pada waktu itu, timbulnya mata-mata kebudayaan yang mula-mula tidak terasa, tetapi akhirnya terasa mencekik leher. Kita melihat betapa mudahnya mata-mata kebudayaan itu membuat tafsiran seenaknya untuk menentukan mana sastra yang revolusioner dan mana sastra yang Nasakom. Penafsiran bisa diputar-balikkan. Mereka menilai sastra kita termasuk yang sudah almarhum dengan kaca mata ideologi tertentu. Mereka menjungkirbalikkan sejarah sastra yang telah dicoba menyusunnya secara objektif. 

Mungkin untuk sementara, sensor yang datang dari golongan kita sendiri tidak terasa mengganggu, namun siapa yang dapat menjamin bahwa tidak timbul pula penilaian secara Islam terhadap Chairil Anwar, Amir Hamzah, dan lain-lain? Alangkah lainnya penilaian itu bila yang dilihat ialah sajak Sorga dan Di Mesjid. Saya tidak berkeberatan apabila sebuah sajak ditafsirkan dari pelbagai sudut termasuk dari sudut theologia, tetapi untuk mengadili pengarang melalui tafsiran itu, saya kira tidaklah pada tempatnya. Rasanya yang dapat kita lakukan hanyalah menasihati orang lain agar tidak membaca karya itu. Kalau karya itu menimbulkan onar, maka larangan untuk mengedarkan atau menyebarkannya boleh dilakukan, dan yang dibawa ke pengadilan ialah yang menyebarkan dan yang memperbanyaknya, bukan pengarang karya itu. Memang persoalan ini menyangkut berbagai pihak yang merasakan bahwa kebebasan itu adalah air hidupnya. Kebebasan mencipta dan mengeluarkan pendapat yang telah diperjuangkan dengan darah dan air mata itu tidak akan kita lepaskan oleh karena sebuah cerpen yang gagal. Kita tidak tahu ap yang akan diputuskan oleh yang berwenang, tetapi orang-orang yang berkepentingan dengan kemerdekaan mencipta itu harus terus-menerus berusaha meyakinkan yang berwenang bahwa tindakan yang lebih baik melawan soal-soal ideologis bukanlah tindakan fisik. Apabila terjadi persoalan seperti persoalan Kipanjikusmin, maka yang seharusnya lebih dahulu tampil ialah kritisi kesusastraan, dan kalau kita ingin satra itu berguna untuk agama, maka kita rangsang timbulnya kritikus yang di samping pengetahuannya tentang sastra luas, juga mempunyai pengetahuan yang cukup tentang agama.

Mungkin ada yang menjadi takut bahwa bila kebebasan seniman itu begitu besar dan luas, maka setiap orang akan bebas menghina orang lain atau menghina agama tertentu melalui karya sastra. Tetapi dalam praktik, hal seperti itu mungkin sangat jarang terjadi. Seperti telah dikemukakan di atas, imajinasi hanyalah salah satu unsur yang membangun kesusastraan: nilai keindahan, teknik, emosi, dan lain-lain selalu mengikat pengarang. Sejarah telah menunjukkan bahwa bila kesusastraan selalu hendak mempropagandakan yang jelek, maka sastra itu biasanya menjadi tenggelam dalam yang jelek itu sehingga tulisan itu tidak masuk bidang kesusastraan lagi. Sejarah telah menunjukkan pula bahwa pengadilan kesusastraan sangat jarang terjadi, kecuali di negara-negara totaliter. Dan kebanyakan di antara kita dewasa ini menyesali pengadilan-pengadilan tersebut. Pandangan dan perlakuan kita terhadap Kipanjikusmin misalnya, tidak luput pula dari pandangan dan penilaian anak cucu kita kelak. Anggapan masyarakat bahwa pengaruh kesusastraan sangat besar terhadap masyarakat sebenarnya agak berlebih-lebihan. Kesusastraan sebenarnya hanya merangsang untuk memahami ide dan menghayati kehidupan pada umumnya. Ia tidak dapat serta-merta mengubah pandangan dan keyakinan seseorang. Apalagi di Indonesia, di mana minat untuk membaca karya sastra agak kurang, maka pengaruhnya secara langsung terhadap masyarakat dapat diabaikan. 

Saya adalah orang yang antusias membaca karya sastra yang bertemakan agama, yang dikemukakan dengan baik, tetapi saya adalah orang yang tak berani menilai iman pengarang melalui tulisannya. Saya termasuk orang yang pernah salah menentukan agama seseorang melalui karyanya. Dan yang menggembirakan, pengarang-pengarang Indonesia pada umumnya termasuk Amir Hamzah adalah penganjur toleransi beragama, sesuai dengan cita-cita dan dasar ideologi negara kita. Toleransi beragama baik di lingkungan agama yang sama maupun dalam lingkungan yang berlainan, harus dibangun oleh pembatasan diri untuk menghakimi orang lain. Bahwa yang terutama di Indonesia paling tahu tentang teman kita, terutama mengenai dosanya, imannya, masuk sorga atau tidak hanyalah Tuhan Yang Mahatahu dan itu memang wewenang-Nya. Dalam menghadapi cipta sastra yang menimbulkan tafsir ganda, kita tentu harus lebih berhati-hati dalam menghakimi pengarangnya. Sikap yang paling baik terhadap seniman ialah menanggapi karya mereka dengan hati yang terbuka. Kita boleh menghantamnya, memuji, atau mencelanya, tetapi dengan maksud supaya seniman memberikan miliknya yang terbaik kepada kita. 

Marilah kita renungkan bagaimana kita menghadapi serombongan dramawan muda yang ingin berdakwah melalui drama, tetapi karena kurangnya kesungguhan, timbul tertawaan dan cemoohan dari pihak penonton. Apakah kita akan menasihati mereka agar kelak lebih bersungguh-sungguh atau apakah kita mau membuat mereka kapok dan dengan mengadukannya kepada polisi? Sebagai akhir kata, saya kutip sebuah sajak Schiller yang melukiskan kerinduannya akan kebebasan imajinasi:

PUISI

Tiada belenggu mengikat daku,
tiada penghalang melintang
Leluasa meluncur daku, ke segala penjuru
ruang lepas
Pikiran ialah duniaku, luas tiada terbatas

Dan kata jadi sayapku, bebas melayang terbang
Segala yang bergerak di cakrawala dan di atas dunia
Apa yang diciptakan alam jauh dalam terpendam
Mesti terorak bagiku dari selubung tirai kelam
Memang tiada yang menghalang
daya pujangga merdeka

Tapi, tiada lebih indah kujumpai
betapapun lama memilih
Selain jiwa yang permai
dalam bentuk puisi


Sebuah kutipan lagi dari Milton: Give me the liberty to know, to utter, and to argue freely according to concience, above all liberties. 'Berikanlah kepadaku kemerdekaan untuk mengetahui, mengemukakan, serta mempersoalkannya dengan bebas sesuai dengan hati nurani, di atas segala kebebasan'.

MARI BERBAGI:
Editor

TAMBAHKAN KOMENTAR

5700840368070671462