BLANTERVIO103

Beberapa Faset Tematis dalam Karya Puisi Slauerhoff - Hartojo Andangdjaja

Beberapa Faset Tematis dalam Karya Puisi Slauerhoff - Hartojo Andangdjaja
4/18/2020
Beberapa Faset Tematis dalam Karya Puisi Slauerhoff 
Oleh Hartojo Andangdjaja

SASTRADUNIA.COM | Penerjemahan karya sastra asing ke dalam bahasa Indonesia terutama memiliki arti penting dalam fungsinya membukakan horison yang lebih luas bagi perkembangan sastra Indonesia sendiri. Dan di samping itu, khusus bagi karya-karya sastra asing yang pernah memiliki hubungan tertentu dengan sastra Indonesia dalam sejarah perkembangannya selama ini, seperti lirik-lirik Tagore dari India, sajak-sajak para penyair Angkatan '80 di negeri Belanda, terutama Willem Kloos dan Jacques Perk, tersebut kiranya akan memberikan manfaat pula bagi telaah sastra Indonesia sendiri. Karena dengan adanya terjemahan dan tinjauan tentang karya-karya sastra asing tersebut dalam kepustakaan Indonesia sendiri akan lebih mudah dan lebih banyak tersedia bahan, yang memungkinkan kita berusaha mendapat gambaran yang lebih objektif tentang hubungan sastra Indonesia dengan sastra-sastra asing yang pernah melibatnya. 

Demikian juga kiranya dengan terjemahan sajak-sajak Slauerhoff. Karena seperti kita ketahui, sajak-sajak Slauerhoff, di samping sajak-sajak Marsman, memiliki hubungan tertentu dengan sajak-sajak Chairil Anwar beserta tinjauan-tinjauan tentang karya-karya sastra 

Tetapi sajak-sajak Slauerhoff yang dapat disajikan dalam terjemahan Indonesia di sini baru merupakan sebagian kecil dari sajak-sajaknya yang banyak itu, seperti yang terhimpun dalam Verzamelde Gedichten (V.G.) I dan II. Dalam V.G. I dihimpun 6 kumpulan yang terdiri atas 209 sajak, dan dalam V.G. II dihimpun 5 kumpulan yang terdiri atas 277 sajak. Jika itulah seluruh sajak yang pernah ditulisnya, maka kita dapat mencatat, bahwa Slauerhoff telah menulis 11 kumpulan sajak yang terdiri atas 486 sajak seluruhnya, termasuk di dalamnya beberapa sajak yang ditulisnya dalam bahasa Perancis dan beberapa sajak asing yang diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda. 

Kubur Terhormat Bagi Pelaut judul aslinya Een Eerlijk Zeemans15 graf-yang disajikan di sini adalah salah satu dari kumpulan sajaknya yang termuat dalam V.G. II. Untuk sekedar memberikan gambaran tentang situasi kepenyairan Slauerhoff, berikut ini dicoba diperlihatkan beberapa faset tematis dalam karya puisinya.

I
Dalam salah satu bait sajaknya Slauerhoff menulis:

Petang seputar meja bundar mercka berbincang
Tentang panen di ladang-ladang dan orang-orang yang tak ada,
Minggu mereka jalan sambil menyalam di lorong-lorong yang kaku membentang,
Senin mereka pun sibuk kembali dalam kerja.

("De Burgers", bagian VIII dari "Al Dwalend", V.G. II)

Kehidupan demikian, yang bergerak atas pola kebiasaan sehari-hari yang tetap, amat menjemukan bagi Slauerhoff, yang selalu gelisah mengelana dan untuk ini untunglah tugasnya sebagai dokter kapal! melayari laut demi laut, menyinggahi benua demi benua. 

Hidup dalam mengelana, penyair Belanda ini merasakan dekat dalam jiwanya dengan beberapa penyair tertentu dari tempat dan waktu yang berjarak jauh atau dekat daripadanya. Antara mereka dapat disebut Camus dari Portugal, Corbiere dari Perancis, Mase field dari Inggris dan Po Tsu I dari Cina. Beberapa sajak mereka yang diterjemahkan Slauerhoff ke dalam bahasa Belanda atau beberapa sajak Slauerhoff sendiri yang ditulis buat mereka memberi petunjuk kepada kita tentang ini. Bersama mereka Slauerhoff berada dalam dunia yang sama, dunia penyair-pengelana, meskipun sudah tentu dengan rasa hidup yang berbeda-beda. Camus yang kagum memandang daerah-daerah baru yang dijelajahnya, Corbiere yang tajam mengejek atau yang kata Laforgue nyaring tinggi dan tak letih-letihnya seperti jerit camarcamar, Masefield yang selalu mengembangkan kegirangan di tengah penderitaan keras dalam pelayaran-pelayarannya, dan Po Tsu I yang bisa lembut dan hampir-hampir humoristis mengejek diri sendiri, tentulah berbeda dengan Slauerhoff yang geram dalam jiwanya, yang muram dalam tamasa-tamasa alamnya: tidak saja musim-musim gugurnya, tetapi juga laut-lautnya, taman dan hutan-hutannya, bahkan pun malam-malam cuacanya. 

Slauerhoff amat jemu pada kehidupan yang steril di negerinya. Ini paling jelas kita lihat dalam sajak-sajaknya dalam bagian VIII dari "Al Dwalend", V.G.II. Demikianlah misalnya dapat kita baca baris-baris yang berikut:

Inilah jiwa Belanda,
Bertetap tinggal di negerinya dalam pesta aman sentosa,
Minum bersuka raya demi mengenang masa jaya,
Memandang lambang berwarna jingga: sang singa renta
Sebagai kejayaan tak bakal musnah
Buat dipersembahkan ke altar sejarah:
Biara, tempat mereka lari dari masa sendiri;

("Hollandsche Elegie")

Karena sikapnya yang demikian, mudahlah Slauerhoff dikualifikasikan orang sebagai penyair yang skeptis. Karena bukankah setiap sikap yang tidak menunjukkan simpatinya terhadap semboyan-semboyan bersama, akan gampang dituduh orang skeptis? 

Tetapi apakah skeptisisme, dalam artinya yang sejati? Skeptisisme menurut Ter Braak, menyitir ucapan Pascal: "Le silence de ces espaces infinis m'effraie" ialah suatu keadaan yang tak bisa disatukan dengan vitalitas kita, dengan kenyataan hidup kita, bahkan pun dengan sikap anti sosial yang paling nekat. Suatu keadaan yang tak terderitakan, karena ketiadaan arah sama sekali, karena ketiadaan kontak sama sekali dengan "kenyataan", sehingga hanya bisa terjadi secara episodis dan merupakan gangguan kesetimbangan yang "patologis", sifatnya. 

Dengan pengertian skeptisisme demikian, dapatkah Slauerhoff dikualifikasikan sebagai penyair yang skeptis? Tidakkah malah kejemuan Slauerhoff pada kehidupan yang steril di negerinya justru memperlihatkan, bahwa dia sama sekali tidak skeptis? Dan lagi, seorang skeptis sejati tentulah tak perlu pula mengelana jauh, karena yang jauh dan asing itu akan sama menjemukan pula seperti yang dekat dan yang sudah dikenalnya. Sedangkan Slauerhoff, pengelana yang romantis itu, masih bisa diharukan oleh suasana sunyi kelam penuh rahasia dari Danau Iware dan kesucian puncak Fuji pagi hari di Jepang (masingmasing dalam sajaknya "Iware" dan "Ochtend Yokohamabaai"), digetarkan kegairahan suatu tari di Amerika Latin (dalam sajaknya "Fuego"), dibius suasana sunyi gaib pada suatu malam bulan di Cina (dalam sajaknya "Maannacht"), dibahagiakan tamasa malam berbintang dalam suatu pelayaran di laut (dalam sajaknya "Zuidwaarts")*. Dan sudah tentu seorang skeptis sejati tak perlu lagi bersajak. Sedangkan Slauerhoff menulis sajak-sajaknya sepanjang pengelanaannya. 

Kejemuan pada kehidupan yang steril di negerinya faset tematis dalam sajak-sajaknya Slauerhoff positif sebagai titik tolak, dari mana hidupnya yang mengelana bermula dan kerinduannya pada daerah-daerah pengalaman baru berbicara. 

II
ADA beberapa sajak Slauerhoff, terutama yang termuat dalam bagian III dari "Eerste Verzen", V.G. I, yang memberi kesan kepada kita, seakan benar ada tema sosial di sana, dalam arti yang seperti sering dikatakan orang "positif". Sajak-sajak itu, yang terbilang sajak-sajaknya yang pertama (1919 1920), ditulis sehubungan dengan timbulnya revolusi Rusia. Membaca sajak-sajak itu saja, tanpa mengetahui keseluruhan hasil karya Slauerhoff dan tanpa pula mengetahui lebih jauh situasi kepenyairannya, kita akan mendapat kesan, bahwa sajak-sajak itu memperlihatkan pandangan sosial yang marxistis. 

Bagaimanakah ini: Slauerhoff yang cenderung dikualifikasikan orang sebagai penyair yang skeptis, punya pula pandangan sosial yang marxistis? 

Tetapi sajak-sajak yang dimaksud itu hanya merupakan sebagian kecil, suatu varian kecil saja di antara karya-karya puisinya yang banyak itu. Dan membaca karya-karya puisinya yang lain, yang jauh lebih banyak itu, kita pun akan mendapat gambaran yang lebih baik tentang situasi kepenyairan Slauerhoff yang sebenarnya. 

Slauerhoff yang mengelana, karena tertumbuk pada kehidupan yang steril di negerinya, mau mencari sesuatu yang baru, meskipun sesuatu yang baru itu mungkin hanya suatu pembiusan, suatu perubahan, atau hanya suatu kebalikan belaka dari apa yang dikenalnya di negerinya, dan meskipun sesudah sekali ia menemukan, kemudian membuangnya, untuk mencari lagi, menemukan, membuangnya kembali dan demikian seterusnya, seperti katanya: "Ik laat geen gaven na, verniel wat ik voorbracht." ("Tidak kutinggalkan apa-apa, kuhancurkan yang dulu kubuat.") 

Dalam situasi demikian Slauerhoff selalu berada! 

Dan tidakkah revolusi Rusia, dengan komune rakyatnya itu, juga sesuatu yang baru, suatu kebalikan dari apa yang pernah dikenalnya di negerinya? 

Mengetahui yang demikian, kita akan membaca sajak-sajak Slauerhoff yang berhubungan dengan revolusi Rusia itu dengan kesan yang lain, yang lebih mendekati objektivitas. 

Kecuali sajak-sajaknya yang berhubungan dengan revolusi Rusia itu, dalam hubungan dengan tema sosial ini, ada lagi sebuah sajak Slauerhoff yang menarik perhatian kita. Inilah sajak itu:

TERANG BULAN DI TSINGTAO

Bulan meratap di atas perairan
Buat meringankan derita dunia,
Hanya beberapa malam waktunya dan
Tahu dia, kerja ini tak bakal berguna.
Pegunungan yang hitam semata
Di atas arus lembut tertegak tegar.
Ombak-ombak pada jemu diganggu, serta
Tak mau lagi menikmati sinar.
Lama sudah dunia goyah
Antara bahagia dan nestapa,
Tapi kini kena rampas dan paksa
Seakan dulu belum lagi pernah.
Bulan, baik kau tak bersinar lagi,
Atau jadilah sepotong roti bundar besar
Dan demikian turunlah kau di Syansi
Dan selamatkan dia dari bencana lapar.

( Bagian I dari "Al Dwalend", V.G. II)

Bait terakhir itu, yang berbicara tentang roti dan bencana lapar, mengingatkan kita kepada sajak-sajak yang biasa kita kenal dari penyair-penyair sosialis, tetapi juga, serempak dengan itu, ingatan kita dikembalikan pada romantisme Slauerhoff yang menyeru bulan supaya jadi sepotong roti bundar-besar dan turun di Syansi! Akankah kita dengar seruan demikian dari seorang penyair sosialis? 

Lebih menarik lagi, masih sehubungan dengan tema sosial ini, ialah sajaknya yang berjudul "Para pekerja paksa" ("De Dwangarbeiders"), termuat dalam bagian VII dari "Al Dwalend", V.G.II. Dalam sajak itu, kita diperkenalkan dengan kuli-kuli yang bekerja berat di pelabuhan, mengangkut barang-barang dari kapal ke darat. Di saat yang sama, tak jauh dari tempat itu, agak ke atas, terlihat para penyair yang sedang duduk dengan enaknya di sebuah rumah minum yang sejuk. Kita akan menduga, bahwa Slauerhoff dengan ini hendak mempertentangkan dua lingkungan kehidupan, yang seolah kaum marxis dikenal dengan istilah kelas pekerja bagi kuli-kuli itu dan kelas borjuis bagi para penyair. Tetapi tidak. Dugaan kita dibikin kecelik oleh bait-bait selanjutnya, di mana dikatakan, bahwa baik kuli-kuli yang bekerja berat itu maupun para penyair, yang duduk-duduk dengan enaknya, adalah sama: keduanya pekerja paksa. Yang satu mengangkut beban dari kapal ke darat, yang lain mengangkut puisi dari sunyi ke bunyi bahasa. Demikianlah kita baca dalam bait ke 

IV
Dan dilihat benar, dari jauh, dari semesta jagat,
Keduanya melakukan kerja yang sama:
Kuli-kuli menyeret beban dari kapal ke darat,
Para penyair menyeret beban dari sunyi ke bunyi bahasa.

Bahwa kerja penyair malahan lebih berat lagi daripada kuli itu, dapat kita baca dalam bait-bait terakhir:

Dalam irama mereka berusaha meringankan
Beban yang begitu berat, tak tergerakkan:
Akan jatuh kuli, yang diam menyambut beban,
Akan gila penyair, yang diam memendam perkataan.

Kuli-kuli membanting dan melempar,
Diam dan makan, terbebas sebentar:
Siksa penyair tak pernah berhenti
Dan tanpa istirah disandangnya kutukan ini.

Dari saat terkutuk yang menimpanya,
Ia pun kena rasuk, lupa segala,
Sunyi melingkung dirinya, kata demi kata terjaga,
Minta irama, dan terus ia bawa, ia bawa, hingga matinya.

Sekali lagi, di sini pun kita bertemu dengan romantisme Slauerhoff, yang kali ini dalam bicara tentang para penyair dalam bait-bait tarakhir itu mengingatkan kita kepada kegigihan Slauerhoff sendiri. Kegigihan yang hanya mungkin dimiliki oleh seorang yang merasa dirinya "outcast" dan mengelana dari tempat ke tempat, menuliskan sajak-sajaknya, karena demikian tertakdir sudah bagi dia, seorang penyair terkutuk, un poete maudit.... 

III 
Hidup mengelana di laut membuat Slauerhoffdalam kumpulan sajaknya ini hidup dalam kehidupan para pelaut. Maka dia pun tak asing lagi dengan harapan, ilusi dan kekecewaan para penjelajah dan penemu dalam pelayarannya (dalam sajaknya "Penemuan Hebrida Baru"), dengan mimpi-mimpi para pelaut yang membiaskan seperti diperlihatkan kecemasan-kecemasannya, napsu-napsunya (dalam sajak-sajaknya "Kekau Terlampau", "Mimpi jaga", "Mimpi seorang pramugara"), dengan semacam "ekstase laut" yang melibatnya di tengah-tengah pelayarannya (antara lain dalam sajak-sajaknya "Di bawah layar matahari, diharukan angin di lautan", "Ke Selatan " dan "Ach,. wie ist's möglich dann godanya apabila buat beberapa lamanya ia singgah di darat ( dalam sajaknya "Panggilan Laut") te tapi juga kerinduan ke darat dan ke laut yang berganti-ganti merundungnya (dalam sajaknya "Penghabisannya"). Hidup dalam kehidupan para pelaut juga membuat dia tak asing lagi dengan kehidupan kawanan pembajak yang bertekad menegakkan sendiri neraka di bumi ini (dalam sajaknya "Si Janggut Hitam"), dengan nasib seorang kelasi yang menenggelamkan dirinya di Sungai Gangga karena hasrat yang tak sampai dengan seorang penumpang wanita (dalam sajaknya "La Voyageuse"), dengan petualangan seorang kopral laut yang hidup bersama kedua Irenenya dalam pelayaran-pelayarannya (dalam sajaknya "William dan kedua Irenenya") dan dengan keresahan seorang pelaut tua yang akhirnya menemukan kedamaian di akhir hidupnya dalam lingkungan dinding mercusuar di Ockseu (dalam sajaknya "Penjaga mercu suar di Ockseu"). 

Dia pun menghayati betapa akhirnya setelah berkali-kali berlayar, pelaut pun merasa sunyi sendiri di laut, sedangkan segala yang pernah dikenalnya di darat mengabur bagai terselubung dalam kabut, sehingga tak ada lagi tempatnya berpaut selain kapal dan laut (dalam sajaknya "Surat-surat di Laut"). 

Dan kapal bagi Slauerhoff adalah sesuatu yang seakan hidup dan berjiwa dan bisa menyanyikan lagu dukanya di saat-saat terakhir menjelang karamnya (dalam sajaknya "Kapal Terkutuk") atau memiliki ruh yang kekal, yang sesekali bisa muncul ke permukaan laut, sekalipun badannya telah berabad-abad tenggelam ke dasar laut (dalam sajaknya "Suez"). 

Dan laut bagi Slauerhoff adalah kehidupan tunggal yang membentang dari mula hingga penghabisan, yang akan tinggal bertahan di bumi ini apabila segala yang lain hanya sebentar mengembang dan kemudian lenyap menghilang. Ini telah ditulisnya dalam "De Zee", salah satu sajaknya yang pertama. Demikianlah dapat kita baca dalam baris-baris ini:

Laut, kehidupan tunggal yang menghampar
Dari mula hingga penghabisan
Sementara segala yang lain, terbangkit hanya seben tar
Kemudian lemah dan menyerah menghilang -

Dalam empas ombaknya menebar
Kepastian yang lembut dan besar,
Bahwa apabila segala mati, kaku,
Tinggallah laut yang indah selalu.

(Bait I dari "De Zee", "Eerste Verzen", V.G. I)

Tetapi pun laut itulah pula yang membisikkan kepadanya, lewat desau ombaknya, kesadaran tentang maut yang besar, yang tidak hanya mengancam dirinya semata, tetapi juga mengancam dan menimpa sekian banyak manusia, dari abad ke abad, seperti dapat kita dengar dalam bait selanjutnya dari sajak itu:

Dan bila aku bergegas pergi
Didatangi dan didekati
Maut yang memburu mengikuti,
Masih kudengar belaian mesra
Dari desau ombaknya yang dulu juga,
Ialah bagai jeritan berpadu
Dari segala korban karam kapalnya, dari segala camar-camarnya,
Melintas abad demi abad,
Membuat aku tertegun dan terharu.

Kesadaran tentang maut yang besar, pada mulanya samar-samar, makin lama makin jelas. Demikianlah dalam baris-baris terakhir dari bait terakhir sajak itu kita dengar:

Tetapi setiap yang hidup, betapapun indah
Dan permai tampaknya,
Dengan gemetar mengakui juga
Kesementaraan yang goyah
Dari keindahannya
Di hadapan yang besar, yang tinggal megah tak berubah-ubah,
Dan yang fana, yang tinggal kekal dan indah


Tidakkah baris ini: "Yang besar, yang tinggal megah tak berubah-ubah" diilhami oleh fitrat laut itu sendiri pula? Dan tidakkah demikian pula fitrat maut yang besar itu? Di sinilah laut dan maut bertemu. Keduanya identik. 

Dan laut-maut itu dalam bentuk lain kita temukan pula dalam sajak Slauerhoff yang panjang berjudul "Het Eeuwige Schip" ("Kapal Abadi"). bagian II dari "Eldorado", V.G.I yang agaknya diilhami oleh Poe sebagai "dunia bawah laut" yang megah dan besar. Dan dunia bawah laut di mana tak dikenal garis kutub, tidak pula garis putar, tidak pula katulistiwa; di mana matahari dilupakan, juga bintang-bintang; di mana sampan, perahu dan kapal besar tenggelam; di mana benua-benua yang terbenam tertinggal sebagai pecahanpecahan sorga yang tersisa besar, yang bersifat semesta. 

Karena itu maut dalam sajak-sajak Slauerhoff bukan masalah individuil. Ia adalah ancaman kosmis, baik ia mengambil bentuk dalam iklim yang keras, dalam peristiwa vulkanis (karena itu Slauerhoff ada menerjemahkan sajak Ruben Dario "Gempa bumi Nicaragua", bagian V dari "Soleares", V.G. II) maupun mengambil bentuk dalam peristiwa karam kapal (schipbreuk) yang sering terlihat dalam sajak-sajaknya. Dan bisa juga merupakan ancaman manusiawi dalam bentuk bencana besar antara sesama manusia: pertempuran, perang atau apa juga namanya, seperti yang dapat kita baca dalam sajaknya "Serangan Torpedo" dalam kumpulan ini, di mana baik penyerang maupun yang diserang semuanya tenggelam, "tersuruk dalam satu bencana". Ancaman itu bisa menimpa atau bakal menimpa segala objek semesta, dalam mana Slauerhoff sendiri hanya sebagian kecil daripadanya, yang mesti menghadapi dan akhirnya menerima ancaman itu sebagai sesuatu yang tak dapat dielakkan. Karena itulah Slauerhoff menerima ancaman itu tanpa bersikap memberontak seperti Marsman misalnya, yang memandang maut sebagai masalah individuil, artinya bagi yang terakhir ini setidak-tidaknya apabila dilihat dari cara pengucapan sajak-sajaknya, yang selalu memperhadapkan "aku" dengan "maut", dan tidak dilihat dari apa yang disebut Rondenko "zin-sfeer" pada sajak-sajaknya. 

Demikianlah pengelanaan di laut itu selain membuat Slauerhoff hidup dalam kehidupan para pelaut dengan keragaman warnanya itu, juga menghadapkan Slauerhoff dengan laut itu sendiri, yang membisikkan kepadanya kesadaran tentang maut yang besar, sehingga laut itu baginya identik dengan maut, dan laut-maut ini dalam bentuknya yang lain adalah juga dunia bawah laut, kerajaan maut yang besar, yang bersifat semesta. 

IV 
Sebuah faset tematis yang lain lagi dalam karya puisi Slauerhoff hendak kita lihat di sini, ialah yang berhubungan dengan hidup kejenisan. Kita berharap, kita tidak akan lebih dulu terjatuh dalam prasangka dalam hal ini. Karena itu kita akan membiarkan sajak-sajak Slauerhoff sendiri lebih banyak berbicara tentang ini. 

Satu hal yang pasti (yang nanti akan bisa kita dengar dari sajak Slauerhoff sendiri) ialah, bahwa ada juga keinginan Slauerhoff buat 13 hidup monogam. Tetapi masih ada hasratnya yang lain yang tak bisa ditekan: ia ingin melihat dunia luas, ingin mencari sesuatu yang baru (karena kekecewaannya melihat kehidupan yang membeku di negerinya), dan demikianlah, terkutuk oleh hasratnya sendiri ia pun hidup dalam gelisah mengelana. Dan yang terakhir ini mengalahkan keinginannya yang semula. Dua bait dari sajaknya "Compalinte", bagian I dari "Serenade", V.G. I berbicara kepada kita tentang ini:

Aku lebih suka hidup berkawin tunggal,
Tapi terkutuk sebagai pengelana,
Tak pernah jadi pasangan kekal,
Menyimpang selalu dari jalan biasa
Yang ditempuh orang dari buaian hingga ke makam.
Mereka yang menolak naluri-naluri garang:
Jiwanya gampang didagang demi sejahtera dan hidup senang,
Hasratnya dicederakan, ditekan-benam.

Maka jadilah setiap kota "rumah" ("Ik heb een home in iedere stad") bagi dia yang mengelana dari kota pelabuhan yang satu ke kota pelabuhan yang lain. Dan adalah di setiap kota itu "tempat berlabuh" bagi kesepian yang lama dibawanya dalam pelayaran-pelayarannya yang jauh. Demikianlah kita dengar dalam bait ke III dari sajaknya "Kota-kota Pelabuhan" dalam kumpulan ini:

Aku bisa berumah di setiap kota
Buat di malam dapatkan tempat berlabuh
Kuberikan gaji yang kupunya,
Kulupa dia sekali ketika mesti lagi angkat sauh.


Tetapi untuk menjadi seorang hedonis masih terlalu banyak hasrat-hasratnya yang lain, yang lebih dalam, yang tidak terucapkan. Demikianlah dalam sajaknya "Dialogue Mistique" dalam kumpulan ini kita lihat Slauerhoff dalam diri seorang kelasi yang berdialog dengan seorang
pelacur. Kita dengar rayu pelacur kepada kelasi itu:

"Kau ingin,
Rabalah kaki.
Boy, come here,
One bottle champaign."

Dan ketika rayu pelacur itu memuncak pada:

"Kau ingin lebih dari ini,
Kita ke atas, mari,
Aku bisa berbuat lebih banyak lagi
Dari hanya berjanji."

maka terjadilah dialog itu berturut-turut begini:

Tidak, tidak, Dolly,
Itu tidak kucari
Dari kedai ke kedai selama ini.
Itu tak ingin aku.
"Lalu apa kaumau?"
Aku tak tahu.
"Kelasi, kelasi,
Kau bukan laki.
Tidak minuman, tidak pun perempuan,
Lalu apa kauinginkan?"
Aku tak tahu,
Juga di kedai ini
Tak ada itu.
Tak apa pun kumau,
Kalau ada inginku,
Pasti bukanlah itu.
"Kau pahlawan,
Tapi tidak di antara pelacur.
Beri aku bayaran,
Waktuku banyak terhambur."
Ini, semua saja, pungut,
Aku kembali ke laut.
Hatiku retak masih
Karena geram dan pedih.

Dalam sajaknya "Kembali" I dan II ada disebut seorang perempuan yang ditinggalkannya berlayar. Siapakah perempuan ini? Adakah itu istrinya? Jika benar demikian, atau setidak-tidaknya seorang yang dikaguminya, maka ini berarti, bahwa keinginan buat hidup monogam masih selalu hidup dalam jiwa Slauerhoff, terucap dalam kekagumannya pada perempuan ini, seperti yang bisa kita dengar dari baris-baris terakhir dalam sajaknya "Kembali" I, bagian IV dari "Saturnus", V.G. I):

Dia mekar, tak peduli malam, tak peduli ajal
Kembang demi kembang, impian demi impian layunya sukar diramal.

Dan keinginan itu bertambah jelas pula kita dengar dalam sajaknya "Nyanyian Kawin", bagian IV dari "Al Dwalend", V.G. II, di mana di antaranya terdapat bait-bait berikut:

Istriku, baiklah, kita akan menetap bersama
Di sebuah rumah mungil di kota, aku tidak akan mengelana,
Biar banyak masih pulau menunggu dijelang
Dan termangu karena aku tidak datang.

Tidak di dekat laut, kuminta,
Tak tahan aku berdiam di pinggir luasan,
Masih berdekat gelombang juga;
Tempatkan aku jauh di tanah pedalaman.

Di bekas kota perbentengan bagus juga.
Senja kita jalan sekeliling tembok-temboknya,
Bersama melihat matahari terbenam
Dan ternak pulang ke kandang.

Dan dalam kedamaian demikian, hidup mengelana di laut yang sudah lampau akan lebih merupakan suatu kenangan manis daripada suatu nostalgia laut yang menggelisahkan, seperti dapat kita baca dalam bait-bait selanjutnya:

Tapi kadang pada angin barat kucium juga bau
Laut demi laut, di atas mana angin itu lalu.
Kita pun kembali pulang menutup jendela,
Dekat lampu kaucoba padaku mempesona,

Melupakan kapal yang berlayar dalam kelam
Di mana dulu bisa kudengar setiap malam
Segala gelombang mengempas jatuh dari penjuru-penjuru jauh
Membawa deru damai di hatiku yang tak kunjung teduh.

Tetapi pun di sini, dalam hidup kejenisan ini, maut yang besar itu menaungkan juga bayang-bayangnya. Maka juga perempuan bukan lagi tempat buat istirah-berlupa dalam hidup ini:

Api mengecil di bawah kulit kayu,
Dari semesta datang mendekat dingin-beku
Melingkar dunia, merayap di lembah demi lembah.
Betapa aku di dadamu bisa istirah?

("Huivering", bagian III dari "Serenade", V.G. I)

Dan demikianlah dapat kita katakan, bahwa maut adalah tema yang merangkum segalanya dalam sajak-sajak Slauerhoff.

V
Kenapakah justru maut merupakan tema yang merangkum segalanya dalam sajak-sajak Slauerhoff? Sedangkan semacam prarasa seperti yang terjadi pada Chairil Anwar misalnya kita ingat baris sajaknya: tak "Di Karet, di Karet (daerahku y.a.d.) sampai juga deru dingin' 16 terjadi pada Slauerhoff, karena maut dalam sajak-sajak Slauerhoff, seperti sudah kita katakan, bersifat semesta, merupakan ancaman kosmis dan ancaman manusiawi yang menyeluruh, dan bukan masalah individuil. Tentulah ada, karena itu, ketaksadaran tertentu yang mendasari sajak-sajak Slauerhoff. 

Masa remaja Saluerhoff mengalami Perang Dunia I, sedangkan Perang Dunia II sudah pula dirasakan ancamannya pada tahun-tahun terakhir hidupnya. Waktu itu suasana keruntuhan dan kehancuran mengawang di segala bidang kehidupan kemanusiaan. Impian lama dari manusia renaissance yang berdaulat itu, habis sudah dimimpikan. Cita-cita kebudayaan renaissancistis yang menjanjikan tegaknya kembali sorga yang hilang itu, berada dalam bayang-bayang keruntuhan. Dunia seperti dipukau bayang-bayang akan datangnya suatu krisis besar, di mana para petani yang bekerja di ladang-ladangnya lambang purba kebudayaan.

Suasana keruntuhan dan kehancuran itulah yang ada di dasar sajak-sajak Slauerhoff, menampilkan diri sebagai maut yang besar itu, membiaskan warna suram pada tamasya-tamasya alamnya: tidak saja musim-musim gugurnya, tapi juga lautnya, taman dan hutan-hutannya, bahkan pun malam-malam cuacanya. Di sini kita lihat: puisi sebagai manifestasi dari apa yang oleh Jung disebut ketaksadaran kolektif dari zamannya. 

Hidup dalam suasana keruntuhan dan kehancuran itu, dan tertumbuk pada kehidupan yang steril di negerinya, Slauerhoff ingin mencari sesuatu yang diharapkan akan bisa memberikan suatu pegangan, suatu kepercayaan kepadanya. Tetapi ia tidak menemukan dari pembiusan, keadaan berlupa, kelainan atau kebalikan dari apa yang sudah dikenalnya. Namun ia sudah bergulat untuk itu dalam hidupnya sebagai penyair pengelana. 

Maka pun tanpa meninggalkan suatu apa kepada kita selain dari hidup yang penuh pengalaman keras, yang diucapkannya dengan penuh dan bulat dalam sajak-sajaknya, Jan Jacob Slauerhoff, yang menurut catatan resmi di kantor Pencatatan Penduduk di Leeuwarden dilahirkan pada 15 September 1898, meninggal pada 5 Oktober 1936. 


BACAAN:
1. J. Slauerhoff: Verzamelde Gedichten I dan II.
2. Ter Braak: De Anti-Burger, Verzameld Werk VII.
3. Ter Braak: "Maatschappelijk of Opstandig?", Verzameld Werk VII.
4. Roel Houwink: "Marsman en Slauerhoff", Maatstaf, September 1955.
5. Randall Jarrel: Poetry and the Age.

Catatan kaki:

* Lihat sajak "Ke Selatan" dalam bagian I kumpulan ini.
MARI BERBAGI:
Editor

TAMBAHKAN KOMENTAR

5700840368070671462