BLANTERVIO103

Kucing di Tengah Hujan - Ernest Hemingway

Kucing di Tengah Hujan - Ernest Hemingway
1/07/2020
Kucing di Tengah Hujan
oleh Ernest Hemingway 

Kucing di Tengah Hujan - Ernest Hemingway

SASTRADUNIA.COM | Hanya dua orang Amerika yang menginap di hotel itu. Mereka tidak mengenal orang-orang yang mereka papasi di tangga kalau mereka turun naik kamar. Kamar mereka terletak di tingkat dua menghadap ke laut. Juga menghadap taman serta monumen perang. Di taman itu tumbuh palem-palem besar dan terdapat bangku-bangku bercat hijau. Kalau cuaca cerah seorang seniman dengan jagraknya selalu melukis di sana. Seniman-seniman menyukai jejeran palem serta warna-warna cerah hotel-hotel yang menghadap ke taman-taman serta laut. Orang Italia datang dari jauh-jauh untuk mengagumi monumen perang itu. Monumen itu terdapat dari perunggu dan kemerlap di bawah hujan. Hujan memang sedang turun. Hujan menetes dari pohon-pohon palem. Air menimbulkan genangan-genangan di jalan-jalan berkerikil. Laut memecah membentuk sebuah garis panjang di bawah hujan lalu meluncur ke pantai untuk kemudian naik serta memecah lagi membentuk sebuah garis panjang di bawah hujan. Mobil-mobil telah pada pergi dari lapangan dekat monumen perang. Di seberang lapangan di muka pintu sebuah kedai minuman, seorang pelayan tegak memandang ke lapangan yang kosong. 

Si istri Amerika tegak di jendela memandang ke luar. Di luar tepat di bawah jendela mereka seekor kucing meringkuk di bawah salah satu meja yang dirembesi hujan. Kucing itu sedang berusaha mencekamkan diri serapat mungkin agar jangan kena rembesan. 

“Saya mau turun mengambil anak kucing itu,” ujar si istri Amerika. 
“Saya saja,” suaminya menawarkan diri dari tempat tidur. 
“Tidak, saya saja. Anak kucing itu berusaha mengelakkan hujan di bawah sebuah meja.” 

Si suami meneruskan membaca, dengan bersandarkan dua bantal ke kaki tempat tidur. 
“Jangan berhujan,” ujar si suami. 

Si istri turun dan pemilik hotel tagak-tegak membungkuk ke arahnya ketika ia melewati kantor hotel. Mejanya terletak di ujung ruang kantor itu. Ia seorang laki-laki tua dan sangat tinggi. 
"IL piove,” ujar si istri Amerika. Ia menyukai pengawas hotel itu.

"Sisi, Signora, brutto tempo. Cuaca sangat buruk.” 
Ia tegak di belakang mejanya di ujung ruang yang redup itu. Si istri Amerika menyukainya. Ia menyukai sikapnya yang sangat bersungguh-sungguh dalam menerima setiap keluhan. Ia menyukai keanggunannya. la menyukai cara yang disenangi pemilik hotel itu dalam  melayaninya. Ia menyukai cara yang dianggap laki-laki itu sebagai sikap sepantasnya seorang pengawas hotel. Ia menyukai ketuaannya, wajahnya yang sungguh-sungguh serta tangannya yang besar.

Sementara menyenangi pemilik hotel itu ia membuka pintu, dan melihat ke luar. Hujan makin deras. Seorang laki-laki bermantel karet sedang menyeberangi lapangan kosong menuju kedai minuman. Kucing itu hendak mengisar ke kanan. Mungkin ia bisa lewat di bawah talang. Ketika ia tegak di mulut pintu sebuah payung terkembang di belakangnya. Kiranya pelayan yang mengurus kamar mereka.

“Anda tak boleh basah,” ia tersenyum, berbicara dalam bahasa Italia. Tentulah pengawas hotel itu yang menyuruhnya. Dengan dipayungi pelayan itu, Ia menyusuri jalan berkerikil sampai ia tiba di bawah jendela mereka. Meja itu ada di sana, hijau cerah dan basah disiram hujan, tapi kucing itu telah lenyap. Mendadak ia merasa kecewa. Si pelayan mengamatinya. 

”Ha perduto gualgue cosa, Signora?” 
“Di situ tadi ada kucing,” sahut si wanita Amerika.
“Kucing?” 
“Si, il gatto.”
“Kucing ?” pelayan ilu tertawa. 
“Kucing di tengah hujan?”
”Ya,” ujarnya, “di bawah meja itu." 

Kemudian, “Oh, saya sangat mengingininya. Saya menginginkan seekor anak kucing.” 

Ketika ia berbahasa Inggris wajah si pelayan menegang. 
"Mari, Signora,” ujarnya. "Kita harus masuk. Nanti anda basah.” 
"Saya kira juga.” ujar si wanita Amerika. 

Mereka kembali menyusuri jalan berkerikil lalu memasuki pintu. Si pelayan masih di luar untuk mengatupkan payung. Ketika si wanita Amerika melewati kantor, pemilik hotel itu membungkuk dari mejanya. Sesuatu rasa sangat kecil dan kuat timbul dalam diri wanita Amerika itu. Sang pemilik hotel membuatnya merasa sangat keci! tapi pada saat bersamaan juga merasa sangat penting. Ia mempunyai perasaan sesaat tentang arti kepentingan yang agung. Ia menaiki anak-anak tangga membuka pintu kamar. George di tempat tidur, masih membaca. 

"Dapat kucingnya?” tanyanya seraya meletakkan buku. 

"Telah lenyap." 
"Heran, ke mana ya,” ujarnya, mengistirahatkan matanya dari membaca. 

Si istri duduk di atas tempat tidur. 

"Saya sangat menginginkan kucing itu," ujarnya. "Saya tidak tahu kenapa saya sangat menginginkannya. Saya menginginkan anak kucing yang malang itu. Bukanlah sesuatu yang lucu ada anak kucing malang di tengah hujan:” 

George kembali membaca. Si istri mematut-matut lalu duduk di depan cermin meja rias memandang dirinya seraya memegang sebuah cermin kecil bertangkai. Diamatinya tampangnya. dari setiap sisi. Kemudian diperhatikannya belakang kepalanya serta lehernya:

"Tidakkah pikirmu sungguh ide yang bagus kalau saya membiarkan rambutku panjang?” tanya si istri, memandang kembali tampangnya. George menoleh dan melihat tengkuknya, yang dipangkas pendek seperti rambut laki-laki. 

"Saya menyukai pangkas seperti itu.”
"Saya bosan dengan pangkas seperti ini,” 0jar si istri. 
“Saya sangat bosan mempunyai tampang seperti laki-laki:” 

George mengingsut duduknya di atas tempat tidur. Ia terus-menerus memandang istrinya sejak istrinya bicara.

"Kau kelihatan cantik sekali,” ujarnya. Si istri meletakkan cermin kecil di atas meja rias lalu pergi ke jendela dan memandang ke luar. Di Juar mulai gelap.

"Saya ingin menarik rambutku kuat-kuat dan rata ke belakang dan membuat sebuah simpul besar di belakang sekehendakku,” ujarnya. "Saya ingin mempunyai seekor anak kucing yang akan duduk di pangkuanku dan mendengkur kalau aku mengusap-usapnya.”
"0, ya?" George menyahut dari tempat tidur 

"Dan saya ingin makan di meja dengan perabotan perak milikku sendiri, juga saya inginkan kandil-kandil. Saya ingin pula musim semi tiba dan gaya ingin menyisir rambut di luar di depan sebuah cermin, Talu saya inginkan seekor anak kucing serta saya inginkan beberapa baju baru." 

”Oh. diamlah dan ambil sesuatu untuk bacaanmu,” ujar George. 

Ia pun kembali membaca. ... Istrinya melihat ke luar jendela. Di luar benar-benar gelap kini, dan masih hujan di pohon-pohon palem. 

“Pokoknya, saya menginginkan seekor kucing,” ujar si istri, “saya menginginkan seekor kucing: Saya inginkan seekor kucing sekarang. Kalau saya tak bisa memiliki rambut panjang atau kegembiraan lainnya, saya masih bisa memiliki seekor kucing.” 

George tak mendengar. Ia asyik membaca bukunya. Istrinya memandang ke luar jendela ke arah lampu yang telah menyala di lapangan. Seseorang mengetuk pintu. 

”Avanti,” sahut George dari bukunya. Ia menoleh. Di ambang pintu tegak si pelayan. Ia menggenggam seekor kucing besar berkulit kura-kura yang berusaha keras melawannya serta bergayut-gayut di tubuhnya. 

"Maafkan saya," ujar pelayan itu, "pemilik hotel menyuruh saya membawa kucing ini untuk Signora. 

-Terjemahan : Rayani Sriwidodo

MARI BERBAGI:
Editor

TAMBAHKAN KOMENTAR

5700840368070671462