BLANTERVIO103

Pengalaman Saya Menerjemahkan Puisi-Puisi Indonesia - Harry Aveling

Pengalaman Saya Menerjemahkan Puisi-Puisi Indonesia - Harry Aveling
11/23/2019
Pengalaman Saya Menerjemahkan Puisi-Puisi Indonesia
oleh Harry Aveling


Pengalaman Saya Menerjemahkan Puisi-Puisi Indonesia - Harry Aveling

SASTRADUNIA.COM | Penerjemahan hendaknya merupakan kaca yang jernih dan tetap indah, sehingga karya sastra yang diterjemahkan itu kelihatan keindahannya. Kalau kaca itu kurang jernih, penerjemah dan karya sastra asli kurang dihormati. Di sini, saya tidak mau mengemukakan "saya”, yang patut ditonjolkan adalah puisi-puisi Indonesia. 

Dunia ini makin lama makin kecil. Dari Perth ke Jakarta ini naik kapal terbang makan waktu empat jam saja, dari Penang ke Jakarta makan waktu dua jam. Namun demikian, alangkah besarnya perbedaan kebudayaan orang Australia dengan kebudayaan Indonesia, perbedaan kebudayaan orang Indonesia dengan kebudayaan orang Tionghoa dan Tamil di Malaysia. Waktu manusia sombong, mau naik menara ke surga Allah, bahasa manusia dikaburkan, dipecah, bukan satu bahasa lagi. Terjemahan merupakan sesuatu yang penting sekali dalam dunia ini, yang dapat membawa hati orang berkebudayaan lain lebih dekat. Menerjemahkan puisi-puisi Indonesia bagi saya merupakan kerja yang penting dalam memperkenalkan kebudayaan Indonesia kepada orang Australia. 

Menerjemahkan puisi memang sukar. Ramai orang berpendapat puisi merupakan bentuk sastra yang paling sukar dibawa dari suatu bahasa ke dalam bahasa yang lain. Betul. Tetapi "sekitar” tidak bermakna mustahil. Kita harus berani menerjemahkan sastra demi pengalaman estetis yang baru, pengalaman manusia yang akan melengkapi kemanusiaan masyarakat. Kalau tidak, ada dua jalan. Semua orang harus belajar semua bahasa, belajar bahasa Inggris untuk membaca puisi Inggris, bahasa Jepang untuk membaca sastra Jepang, bahasa Yunani untuk sastra Yunani. Jalan yang lain: katak kembali ke bawah tempurungnya. Jadi, mau tak mau, harus mempercayai penerjemah-penerjemah. Seperti penari menciptakan tari yang sudah ada dalam potensialitas sang penyanyi menyanyikan sesuatu yang sudah ada dalam potensialitas, penerjemah dibebani menciptakan sesuatu yang sudah ada sehingga barang itu ada sekali lagi. Sajak yang berbentuk prosa bukanlah sajak lagi, sandiwara yang tidak dapat dipentaskan bukanlah sandiwara. 

Dalam kerja menerjemahkan puisi kita harus menguasai tiga faktor. 

Pertama, bahasa. Secara kasar, ini bahasa Indonesia, ini bahasa Inggris. Tetapi dengan lebih terperinci, ini bahasa Indonesia sehari-hari, bahasa Indonesia logat Jakarta, bahasa Indonesia yang berbau Jawa, bernada romantik atau sinis dan seterusnya. Maksud saya, kita harus mencari tingkat bahasa, gaya bahasa, yang sesuai dengan bahasa aslinya. 

Dan bukan saja bertukar perkataan A dari bahasa Indonesia dengan perkataan B dari bahasa Inggris. Selain makna literal, makna simbolik harus dihormati. Makna emosional juga. Bayangkan emosional dari perkataan nasi lain dari bayangan emosionil rice. Kadang-kadang tidak ada perkataan yang sama bayangannya. Home bahasa Inggris bermakna rumah dan lebih dariku. Sebaliknya ganjil bermakna lebih dari mad, crazy, gila. Penerjemah baik harus menghormati lapisan makna setiap perkataan. 

Lagi, dia harus menghormati rima (ritme), kemerduan, kekerasan, bunyinya bahasa asli. Urutan perkataan yang manis dalam bahasa A sering kali akan berbunyi keras dan kasar dalam bahasa B. Bunyi gamelan yang terdapat pada baris sajak "Terkenang topeng Cirebon” Ajip Rosidi — Betapa indah gamelan Bali dan degung Sunda. Bagaikan terdengar susah sekali dibawa ke dalam bahasa lain yang tidak tahu degung-gung-gung gamelan Sunda. Dan bagaimanakah kita akan menerjemahkan perkataan-perkataan yang digunakan untuk mengisikan lowongan rima? Pilihan si penyair banyak sekali, pilihan penerjemah yang rajin satu saja yaitu yang digunakan si penyair. 

Kedua, seluk-beluk latar belakang karya sastra itu harus dipahami dengan teliti. Boleh dikatakan bahwa dalam puisi masalah ini tidak terlalu besar. Puisi menyuarakan hasrat, impian, ketakutan orang yang dilahirkan ke dalam dunia ini untuk sementara, cinta dan mati. Masalah ini kadang-kadang penting dalam penerjemahan prosa: misalnya, "tokoh kita” Ziarah almarhum Iwan Simatupang berpegang tangan dengan tamunya. Paduka Yang mulia. Terjemahan yang terlalu literal, yang tidak berdasarkan kenyataan bumi Indonesia akan memberi kesan yang salah sekali: tokoh kita berkecenderungan kepada homoseks. Tidak terlalu besar, tetapi masih ada dalam puisi: siapa Bima ("Petunjuk Sutradara” Subagio Sastrowardoyo), siapa Nawang Wulan (sajak Subagio lagi), kenapa orang berpacaran suka ke Puncak (puncak yang mana?) (sajak Toeti Heraty), apa itu Koes Plus, dan seterusnya. Jangankan sebuah sajak yang hidup diubah menjadi barang mati dari museum asing. Jangankan juga sesuatu yang tidak penting dalam sajak asli dibesar-besarkan sehingga pelanduk lebih besar cari gunungnya. Harus ada proporsi, tambah catatan-rujukan. Terjemahan saya diarahkan kepada mereka yang suka baca sastra, dan pada mereka yang ingin belajar antropologi. Asal yang penting tidak diubah: Bima penting, Nawang Wulan penting, kangkung sepenting spirach saja. 

Ketiga, sifat-sifat sastra. Setiap karya sastra merupakan suatu potongan dari semua karya sastra yang dihasilkan dalam bahasa A, di negara B, pada masa C, dan ditaklukan lagi oleh konvensi I s/d N. Tentu saja konvensi puisi Indonesia masa kini lain dari konvensi Puisi Indonesia tahun lima-puluhan, Iain juga dengan konvensi sastra Malaysia. Ini pun menimbulkan masalah-masalah yang paling teruk. Novel Malaysia Arak Mata Lela Gila dari tahun tiga puluhan (karya Ishak Haji Muhammad) berbentuk hikayat yang boleh diterjemahkan menurut konvensi hikayat (yang terdapat dalam Tom Jones). Puisi Malaysia dari tahun tujuh puluhan masih serius dengan bentuk baris-empat dengan rima. Sajak modern ini (betul modern, menunjukkan perasaan seseorang dengan terbuka) kalau diterjemahkan berbaris sampai dengan rima, tak akan lagi merupakan sajak modern berbahasa Inggris. Kesan yang diberikan oleh terjemahan sedemikian salah: sajak ini adalah warisan tidak berharga dari abad yang lalu. Apakah sajak itu boleh diterjemahkan ke dalam bentuk yang sesuai dengan isinya: sajak bebas? Saya kira, boleh. Betul, bentuk sajak asli sudah hilang, tidak lagi dicerminkan oleh sajak baru. Namun demikian, pengalaman estetis sajak itu imejnya, visinya, “kesaktiannya" telah disimpan dan disampaikan kepada pembaca baru. 

Dengan ini, kita masuk hutan rimba yang berduri. Pengarang asli mempunyai hak, betul. Penerjemah dibebani menghormati karya sastra asli tambah hasrat, pengetahuan dan kebiasaan audiens baru. Pertentangan itu memang ada. Penerjemah juga mempunyai hak. Apakah sang penerjemah berhak mengubah karya sastra itu sampai karya sastra lebih mudah diterima oleh audiens baru itu? Mengubah tidak dengan sewenang-wenang. 

Bagi saya, jawabannya "ya”. Pertama, dia adalah bagian masyarakat penerima-penerima itu. Dia sudah tahu apa mereka sanggup menerima,  apa mereka tidak akan memahami. Asal perubahan itu kecil saja, karya sastra asli masih berseragam seperti gunung. Lebih baik jangan memberi makanan pedas kepada bayi (kadang-kadang lebih baik menunggu, sampai orang baru sanggup menerima karya itu dengan sepenuhnya). 

Yang kedua, perubahan itu, yang dilakukan dengan sengaja, yang bukan sewenang-wenang ataupun salah terjemahan saja, berniat menerjemahkan makna tambahan, makna yang memang ada dibelakang muka perkataan-perkataan lahir. Misalnya: petikan dari “Asmaradana” Goenawan Mohamad: 
“Lewat remang dan kunang-kunang, kau lupakan wajahku, kulupakan wajahmu”. 
”Kunang-kunang” ialah fireflies, betul. Akan tetapi, kunang-kunang mengingatkan kita kepada kenang-kenang, yang bertentangan dengan “lupa” (kaulupakan, kulupakan). 

Mungkin ember bahasa Inggris akan mengingatkan pembaca kepada "remember yang bertentangan dengan forget.

Menurut sarjana filologi, terjemahan itu salah. Misal: petikan dari "Variasi pada suatu pagi” Sapardi Djoko Damono 
ketika selembar daun luruh, setengah bermimpi, menepi ke bumi. luput. 
“menepi ke bumi” ialah edging to the earth. Ulangan bunyi e itu kurang bagus dalam bahasa Inggris. Mengapa perkataan "bumi” ditempatkan di sini? Bermimpi, menepi, bumi, rima pun yang laris. Terjemahan yang menyimpan rima itu ialah "half dreaming, edging to the sea”, (Bandingkan "cericit barung gereja” dari "Adalah bel kecil di jendela” Taufig Ismail — ”chirp of church birds”. Pilihan "church birds” sangat literal, bahasa Inggris seharusnya ”sparrow”.) Menurut sarjana filologi, salah lagi. Menurut saya, sarjana filologi yang salah, karena dia hanya membaca perkataan, tidak membaca puisi. 

Menahan benteng ini agak berbahaya. Baiklah saya berpindah kepada karya yang pernah saya terjemahkan. Memilih karya sastra untuk diterjemahkan tidak sukar. (1) pilih karya yang memang dapat diterjemahkan (pilih Sapardi Djoko Damono atau Abdul Hadi, jangan pilih Amir Hamzah), (2) pilih karya sastra yang dianggap penting oleh orang Indonesia dan akan dianggap penting oleh pembaca baru, (3) jangan memandang politik, asal nilai karya sastra itu tinggi. Menerjemahkan, merevisi. merevisi lagi. Tulis bahasa Inggris yang betul-betul bahasa Inggris. Minta pendapat pengarang asli (terlebih dahulu minta persetujuan dari dia dan pemegang hak cipta). Menghormati pendapatnya. Bahasa Indonesianya lebih baik dari bahasa Indonesia saya (dan sebaliknya), terkecuali Toeti Heraty. Bahasa Inggris Toeti Heraty lebih indah daripada bahasa Inggris saya. Revisi lagi. Daftar karya terjemahan: Rendra, Ballada and Blues (oxford University Press, Kuala Lumpur 1974). Contemporary Indonesia Poetry (University of Oueensland Press, 1975: Rendra, Ajip Rosidi, Toeti Heraty, Subagio Sastrowardojo, Taufig Ismail, Goenawan Mohamad, Sapardi Djoko Damono). Arjuna in Meditation (Writers Workshop, Calcutta, 1976. Abdul Hadi WM, Darmanto Yt, Sutardji Calzoum Bachri). "Songs of Praise to Sunda”, Priangan Si Djelita Ramadhan K.H. (Solidarity, January 1974). 

Satu tahun yang lalu saya pernah menulis: ”Dharma sang penerjemah tidak boleh diabaikannya. Dia membawa pesan dari seberang sana yang tidak bisa dibawa orang lain. Dia menunjukkan sesuatu yang tidak bisa dipunyai oleh bangsanya kalau dia tidak ada. Hubungan antara manusia dieratkan karena dia sanggup mengorbankan diri demi orang lain. Tak bisa tidak, orang lain akan memastikan penerjemah siapa pun takkan pernah sombong.”
MARI BERBAGI:
Editor

TAMBAHKAN KOMENTAR

5700840368070671462