BLANTERVIO103

Padang Besi Tua - Alan Paton

Padang Besi Tua - Alan Paton
10/27/2019
Padang Besi Tua
oleh Alan Paton
Padang Besi Tua - Alan Paton

SASTRADUNIA.COM | Begitu bus bertolak, baru ia menyadari bahwa ia berada dalam bahaya. Bahaya yang mengintai begitu menakutkan. Cahaya lampu bus yang baru berlalu telah menyoroti sejumlah wajah pemuda yang sedang menanti di bawah sebatang pohon. Inilah yang ditakuti oleh semua orang. Ditunggu oleh sekelompok pemuda. Itulah yang sering diceritakannya kepada orang lain yang sekarang harus dihadapinya sendiri. 

Untuk mengejar bus sudah terlambat. Bus tadi kelihatan seakan-akan melata di jalan yang gelap, Namun terasa sebagai sebuah pulau yang dapat menyelamatkan dari lautan bencana. Walaupun bencana baru mengintai beberapa detik. ia telah merasa mulutnya kering, pukulan jantungnya bertambah cepat dan sesuatu dalam dirinya menjeritkan protes terhadap apa yang akan menimpa dirinya. 

Gaji yang baru diterimanya masih berada dalam sakunya dan gumpalan uang itu menyentuh pahanya. Itulah sebenarnya yang menjadi sasaran kelompok pemuda itu. Tak perlu diragukan lagi. Istrinya mungkin saja akan menjadi seorang janda. anak-anaknya tidak akan punya ayah lagi Tak perlu diragukan tentang hal itu. Belas kasihan telah menjadi kata yang tidak dikenal. 

Sementara ia berdiri di tempatnya dalam keadaan gentar, ia mendengar langkah-langkah pemuda itu bergerak ke arahnya bukan saja dari arah di mana ia telah melihat mereka, tetapi juga dari arah yang lain. Mereka membisu, apa yang mereka inginkan tidak diucapkan. Langkah-langkah mereka masih terdengar olehnya. Tempat itu memang sesuai sekali dengan rencana mereka, karena di latar belakang menjulang dinding biara dan pintu terali besi yang mungkin baru akan dibuka setelah ia mati. Di sisi lain dari jalan raya terbentang sebuah padang yang menumpuk dengan kawat dan besi serta tubuh mobil-mobil tua yang tidak terpakai lagi. Padang itu -adalah satu-satunya harapan baginya dan ia mulai me langkah ke sana. Begitu ia melangkah, ia sadar bahwa pemuda-pemuda itu juga sudah berada di sana. Ja memastikan itu dari siulan yang memecah kesunyian. 

Katakutannya memuncak dan menyerang secara tiba-tiba dan aroma ketakutan itu menelusuri seluruh tubuhnya. Ketika itulah terdengar seorang di antara mereka, memberikan pengarahan. Merasa demikian terperangkap, ia tiba-tiba merasa kekuatan dan kemarahannya muncul dan ia berlari menuju padang besi tua dengan mengayunkan tongkat kayunya yang berat. Di tengah-tengah kegelapan itu sesosok tubuh muncul di hadapannya. Tanpa pikir ia mengayunkan tongkatnya pada sosok itu dan ia mendengar suara erangan dari korbannya. Setelah itu ia berlari dengan tergopoh memasuki rimba kawat dan besi serta mobil-mobil bekas yang terhampar di sana. 

Sesuatu terasa menyergap lengannya dan tanpa pikir lagi ia mengayunkan lagi tongkatnya. Tetapi ternyata sasarannya bukan manusia seperti diduganya, melainkan sepotong besi yang mencuat bagai pisau. Ia terengah-engah dan kehabisan napas, namun ia meneruskan langkahnya ke tengah-tengah padang besi tua itu, sementara di belakangnya orang-orang yang mengejarnya juga berbuat hal yang sama. Malam yang sunyi diisi dengan suara besi-besi yang ditubruk atau kaleng yang tersepak tidak sengaja. Ia terjatuh ke atas setumpukan kawat berduri yang bukan saja merobek pakaiannya tetapi juga tubuhnya. Ia terperangkap dalam tumpukan “kawat berduri itu dan karena merasa maut telah demikian dekat menjemputnya, sedangkan harapan tidak ada lagi, ia berteriak: ”Tolong-tolong”. Namun suaranya tersendat dan tidak keluar. Ia mencoba melepaskan diri dari perangkap kawat berduri 'itu, sementara kawat berduri itu sendiri terus juga melukainya, menggores wajah dan tangannya. 

Akhirnya ia dapat membebaskan diri. Ia menyaksikan bus tadi kembali – lagi dan ia berteriak. Namun suaranya tetap tidak terdengar karena suara itu menyangkut dalam rongga mulutnya. Dengan pertolongan cahaya bus 'itu ia melihat seorang di antara pemuda-pemuda yang memburunya tadi. Maut mengancam lagi dan untuk sesaat ia merasakan betapa tidak adilnya kehidupan, yang harus berakhir demikian terhadap seorang manusia yang senantiasa bekerja keras dan mematuhi undang-undang. Ia mengangkat tongkatnya yang berat dan menghunjamkannya ke kepala orang yang memburunya. Setelah itu ia mendengar orang tersebut jatuh tersungkur, mengeluh dan mengerang, seakan-akan kehidupan juga telah bersikap tidak adil terhadapnya. 

Kemudian ia berpaling dan berlari lagi. Langkahnya membawanya ke samping sebuah truk tua yang ditubruknya dengan tidak sengaja. Dengan sempoyongan ia tersungkur. Ia terbaring di samping truk itu. Sekilas terpikir olehnya, tubrukan itu akan mempercepat perjalanannya menuju maut. Namun tiba-tiba ia sadar. Dengan berguling dua kali ia telah berada di bawah truk tua yang tadi ditubruknya. 

Seluruh isi perutnya terasa menggumpal dalam rongga mulutnya dan kedua bibirnya merasakan keringat dan darah. Jantungnya memukul-mukul dengan ganas dan terasa seakan-akan mengangkat tubuhnya, setiap kali pukulan itu dirasakannya. Ta mencoba memperlambat pukulan itu dan menguasai dengusan napasnya yang terengah. Namun ia tidak berhasil. 

Tiba-tiba ia Melihat dua orang dari kelompok pemuda itu. Ia berpikir, tentulah mereka telah mendengar dengusan napasnya. — Namun mereka sendiri juga terengah-tengah, bagaikan orang tenggelam yang baru diselamatkan. Kata-kata yang mereka ucapkan terdengar patah-patah. 

Salah seorang di antara mereka mengatakan, "kau dengar?”. 

Kemudian keduanya membisu dan yang terdengar hanyalah napas mereka yang masih terengah-engah. Ia juga berusaha mendengarkan, namun ia tidak mendengar apa-apa kecuali debaran jantungnya yang payah. 

“Aku mendengar seorang laki-laki ... berlari ... di jalan raya”, kata seorang dari kedua pemuda itu. "Ia lolos ... mari kita kejar”. Kemudian beberapa orang pemuda lagi muncul dan dengan napas terengah juga mereka mengutuk laki-laki yang telah berhasil meloloskan diri itu. 

”Freddy”, kata salah seorang, "ayahmu lolos”.

Tidak terdengar sahutan. "Di mana Freddy?” 'tanya seorang di antara mereka. 

Seorang lagi mengatakan, ”tenang”. Kemudian ia berteriak lantang, ”Freddy”. Namun tidak juga ada jawaban.

”Mari”, kata pemuda yang berteriak tadi. 

Mereka pergi dengan langkah santai dan hati-hati. Tak lama salah seorang di antara mereka berhenti. 

"Kita selamat”, ujarnya, “ini dia laki-laki itu". 

Ia berlutut di tanah dan mulai melakukan sesuatu. Akhirnya ia mengutuk. ”Uangnya tidak ada”, ujarnya. 

Salah seorang di antara mereka menyalakan korek api dan di tengah nyala kecil korek api itu, laki-laki yang berada di bawah truk tua melihat pemuda itu mundur dan terduduk. 

"Ini Freddy”, salah seorang mengatakan. "Ia mati”. 

Kemudian pemuda yang tadi mengatakan "tenang” bicara lagi. “Angkat dia”, katanya. “Letakkan di bawah truk”. 

Lelaki yang bersembunyi di bawah truck mendengar mereka bersusah payah mengangkat tubuh Freddy yang telah menjadi mayat itu. Lelaki itu berguling lagi sekali dua kali, memperjauh tempat persembunyiannya —dari jangkauan, Pemuda-pemuda itu, mengangkat mayat Freddy dan kemudian melemparkannya ke 'bawah truk. Mayat menyentuh tubuh lelaki itu. Ia kemudian mendengar mereka meninggalkan tempat itu dengan tenang, tanpa suara. Hanya sesekali terdengar benda-benda yang ditubruk dengan tidak sengaja oleh mereka di padang besi tua itu. 

Lelaki itu berpaling. Lalu dengan kedua tangannya ia menutup muka dan berkata kepada dirinya sendiri dalam idiom bahasa bundanya. ”Manusia, bangkitlah! Dunia telah mati”. Setelah itu ia bangkit dan berjalan dengan langkah tertatih meninggalkan padang besi tua itu.

-Penerjemah: Sori Siregar dari "The Waste Land”
MARI BERBAGI:
Editor

TAMBAHKAN KOMENTAR

5700840368070671462