BLANTERVIO103

Imajinasi, Kasus Rushdie - Sutardji Calzoum Bachri

Imajinasi, Kasus Rushdie - Sutardji Calzoum Bachri
10/09/2019
Imajinasi, Kasus Rushdie
oleh Sutardji Calzoum Bachri


Imajinasi, Kasus Rushdie - Sutardji Calzoum Bachri

SASTRADUNIA.COM | Imajinasi tidak bisa diadili? Ya, kalau masih dalam kepala atau hati pengarangnya. Bukan hanya karena yang ada dalam kepala itu suatu yang paling bebas di dunia, tetapi juga karena siapa yang bisa tahu apa yang ada dalam kepala orang lain. Ditampilkan kepada orang lain, karya fiksi harus siap juga menanggung risiko: dinilai, diadili, digugat, dikutuk. Atau dipuji.

Jika sebuah karya sastra mendapat penghargaan internasional, para pengamat dan sastrawan sering memberikan komentar menyanjung: bahwa karya bersangkutan memberikan nilai-nilai baru bagi kemanusiaan dan masyarakat, membuka atau menawarkan dimensi baru nilai-nilai, mencatat dan memprotes kekejaman suatu rezim, dan seterusnya. Pokoknya besarlah peran sastra itu bagi kemanusiaan, bagi masyarakat. Sastra itu hebat. 

Bila sebuah karya sastra dikutuk masyarakat luas, apalagi kalau dikecam penguasa, orang pun bisa bilang: Mana ada karya sastra yang mengubah masyarakat. Dari sepuluh buku yang mengubah dunia tidak termasuk satu buah pun buku sastra. Pokoknya, diperlihatkan kecilnya peran sastra terhadap masyarakat, terhadap dunia non-sastra. Jadi jangan khawatir terhadap sastra. Kenapa harus ribut-ribut terhadap sastra. Sastra itu sepele. 

Dalih imajinasi can do no wrong dan sikap memperkecil peran sastra, ketika sebuah karya sastra sedang mendapat tudingan, agaknya suatu strategi yang bijak. Dalam suatu keadaan berbagai sektor kehidupan menciut dan semakin pengap, dunia sastra mungkin dapat dijadikan tempat bertahan terakhir untuk menghirup keleluasaan. Lagipula menyatakan secara gamblang karya sastra bisa berperan penting dan bisa dipertanggungjawabkan terhadap kaidah-kaidah nonsastra atau masyarakat, dalam dunia yang semakin sesak dengan ketidakpastian, bisa menjadi preseden yang merugikan. Siapa tahu kelak, karyanya sendiri yang mendapat gugatan. 

Karya sastra sebagai dunia tersendiri cenderung tidak puas terhadap kesendiriannya. Apa artinya cantik kalau hanya sebatas cermin? Ia ingin tampil ke dunia non-sastra. Menyapa, menegur, membantu, menggoda, mengganggu dunia non-sastra. Ingin mendapatkan efek di sana. Ada benarnya T.S. Eliot. Karya sastra, baru tampak kebesarannya kalau punya arti di bidang non-sastra. 

Tampil di masyarakat luas, ia akan berhadapan muka dengan nilai-nilai yang ada di dalam masyarakat. Cocok atau inspiratif bagi masyarakat, ia bisa jadi buah hati, pujaan ideal atau pelipur lara bagi masyarakat. Jika sebaliknya, ia bisa menjadi sumber amarah banyak orang. 

Memang tak ada karya sastra yang segera mengubah masyarakat, tidak seperti tukang mebel yang mengubah rotan jadi kursi. Tapi karya sastra memang bisa terasa mengganggu. Anjing sesat yang terus menggonggong di samping halaman rumah, tidak bisa mengubah rumah dan penghuninya. Namun penghuni bisa cari alasan yang syah untuk mengusirnya, meski ia tahu hewan itu akan terus menggonggong di tempat lain. Begitulah biasanya kasus pelarangan sebuah buku: di samping upaya untuk mengambil sikap juga untuk memperkecil gangguan seminimal mungkin. Karna imajinasi memang tidak bisa tuntas dihabisi. Setidak-tidaknya ia masih bisa nongkrong dalam kepala pengarangnya, atau buku itu masih beredar dan tersimpan di sekitar kawan-kawannya. 

Gangguan The Satanic Verses-nya Salman Rushdie terhadap orang Islam terasa sebagai penghinaan. Protes terhadap buku itu bukan protes terhadap kebebasan ekspresi, tetapi protes terhadap penghinaan. Orang-orang diluar Islam pun mengakui adanya penghinaan itu, sebagaimana pernyataan mereka dalam mass-media. Meskipun nyata-nyata The Satanic Verses oleh para pemimpin politik di dunia Barat diakui menghina, namun persoalan selalu dialihkan kepada masalah kebebasan ekspresi yang oleh Barat selalu dibanggakan dan dikeramatkan. 

Kasus Rushdie adalah pertarungan antara imajinasi sekular dan imajinasi religius. Keduanya berasal dari kebebasan ekspresi yang berbeda. Jika Barat mengagung-agungkan kebebasan ekspresi versi mereka, mereka juga harus paham adanya kebebasan ekspresi religius yang atas namanya orang-orang beragama bisa melakukan berbagai hal dan berkurban. Tasawuf, misalnya, adalah salah satu manifestasi kebebasan ekspresi religius itu. 

Terlepas setuju atau tidak setuju dengan fatwa Khomeini — hukuman mati bagi Rushdie —, fatwa 'itu bisa dilihat sebagai manifestasi kebebasan ekspresi religius-nya Khomeini, yang sangat imajinatif. Sebagaimana yang imajinatif tidak harus bisa terjadi di dalam dunia konkrit, Khomeini tidak harus perlu berhasil membunuh Rushdie, dan sang pengarang tidak perlu mati secara fisik. Namun betapa perihnya imajinasi Khomeini mengganggu Salman Rushdie, hanya Rushdie yang lebih tahu. Begitu pula betapa menghinanya imajinasi The Satanic Verses-nya terhadap umat Islam, hanya orang Islam yang lebih tahu. Saya tidak tahu apa Rushdie akan menjalani operasi bedah plastik. Tapi dapat diperkirakan, jika ia terus menulis, ia bisa membedah plastik tulisannya. Terhadap berbagai tulisan bedah plastik yang elok. Rupa dari “Rushdie-Rushdie”, para pengamat yang religius dari agama apapun harus waspada, jika kita memang tidak ingin dunia pemikiran dikuasai oleh para intelektual yang ultrasekular.
MARI BERBAGI:
Editor

TAMBAHKAN KOMENTAR

5700840368070671462