BLANTERVIO103

Gentong Amontilado - Edgar Allan Poe

Gentong Amontilado - Edgar Allan Poe
9/20/2019
Gentong Amontilado
oleh Edgar Allan Poe
Gentong Amontilado - Edgar Allan Poe

SASTRADUNIA.COM | Ribuan luka gara-gara Fortunato telah kuemban sedapat mungkin: tapi ketika ia melakukan penghinaan, aku bersumpah balas dendam. Kau, yang tahu betul tabiat jiwaku, bagaimana pun juga tidak akan menduga bahwa aku mengutarakan ancaman. Akhirnya aku akan didendam: inilah salah satu masalah yang pasti diselesaikan, tapi kepastian itu pun, yang dengannya pembalasan dendam itu dipecahkan, harus menghindari risiko. Aku tidak hanya pasti menghukum, tapi menghukum yang tanpa mendapat hukuman. Satu kesalahan tidak ditebus kalau pembalasan-dendamnya gagal membuat dirinya merasa sama dengan yang telah melakukan kesalahan itu. 


Harus dipahami bahwa tidak dengan ucapan, juga tidak dengan perbuatan kalau pun aku telah memberi alasan kepada Fortunato untuk meragukan niat baikku. Aku terus, sebagaimana kebiasaanku, tersenyum di hadapannya, dan ia tidak merasa senyumku kini mengincar nyawanya. 


Ia punya titik lemah — si Fortunato ini — meski dalam hal lain ia seorang yang dihormati dan malah ditakuti. Ia banggakan dirinya sebagai seorang ahli anggur. Sedikit orang Italia yang memiliki semangat keahlian sejati. Kebanyakan semangat mereka diselaraskan dengan waktu dan kesempatan untuk menipu para jutawan Inggris dan Austria. Dalam soal lukisan dan permata, Fortunato, sebagaimana orang sekampungnya, adalah pembual — tapi di bidang anggur kuno ia benar-benar ahlinya. Dalam hal ini aku tidak berbeda dengannya secara materil: Aku juga ahli dalam masalah anggur-anggur Italia bermutu tinggi yang sebagian besar kubeli kapan saja aku mampu. 


Hampir remang-remang di suatu sore di musim karnaval lagi puncak-puncaknya ketika aku berpapasan dengan temanku. Ia menyapaku dengan kehangatan berlebihan karena terlalu banyak minum. Pakaiannya warna-warni. Ketat berbelang-belang, sementara kepalanya berhiaskan topi berbentuk kerucut bergiring-giring. Aku senang sekali melihatnya, sampai-sampai aku menyesali perbuatanku yang kelewatan mengguncang-guncang tangannya. 


Kataku kepadanya: ”Fortunato sahabatku, untung ketemu kau. Sungguh bahagia tampaknya kau hari ini! Omong-omong, aku telah menerima satu gentong yang dikira anggur Amontillado, tapi aku ragu.”

“Masak?,” ujarnya. 
"Amontillado? Satu gentong? Mustahil! Di tengah musim karnaval begini?” 
"Aku memang ragu,” jawabku, "dan aku telah cukup tolol membayar lunas harga Amontillado itu tanpa berkonsultasi lebih dulu denganmu mengenai hal itu. Waktu itu kau tidak kutemui dan aku takut kehilangan tawaran.” 
”Amontillado!” 
”Aku memang ragu” 
”Amontillado!” 
"Dan aku harus memuaskan mereka” 
”Amontillado!” 
“Seperti kau ketahui, aku mau mendatangi Luchesi. Kalau ada yang dapat nasib jelek, kepadanya saja. Ia akan memberitahukan aku.”
"Luchesi tidak bisa mengenali anggur Amontillado dari Sherry” 
"Yang jelas, beberapa orang tolol akan memilikinya yang rasanya cocok dengan rasa anggurmu.” 
”Ayo kesana” 
"Ke mana?” 
"Ke tempat penyimpanan anggurmu” 
"Sahabatku, tidak: aku tidak akan menyalahgunakan sifat — baikmu. Aku merasa kau punya ikatan. Luchesi —” 
"Aku tak punya ikatan, — ayo”: 
"Sobatku, tidak. Bukan soal ikatan itu, tapi soal pilek berat yang kukira kau idap. Tempat penyimpanan anggurku sangat lembab. Asam sendawanya keras.” 
"Ayolah, pokoknya. Omong kosong pilek. Amontillado! Kau sudah diperdayakan. Adapun Luchesi, ia tidak kenal anggur Sherry dari Amontillado.” 

Berkata begitu, Fortunato menarik lenganku. Mengenakan topeng dari sutera hitam dan seraya merapatkan jas panjang dekat tubuhku, aku menyiksanya dengan membawaku bergegas ke rumahku. 


Tak ada pelayan di rumah: mereka telah minggat untuk bersukaria merayakan musim karnaval ini. Aku telah memberitahu mereka bahwa aku mestinya tidak pulang sampai pagi dan telah memberi perintah tegas kepada mereka agar jangan meninggalkan rumah. Perintah ini sudah cukup, aku tahu betul, untuk menjamin minggatnya mereka begitu aku membalikkan punggung. 


Aku mengambil dua obor dari pajangannya dan memberi satu pada Fortunato, membawanya terbungkuk-bungkuk melewati sederetan kamar ke jalan beratap menuju tempat penyimpan anggur. Aku menuruni tangga melingkar yang panjang, memintanya hati-hati ketika mengikutiku. Akhirnya kami sampai ke kaki tangga turun itu, dan berdiri berdua di lantai lembab makam keluarga Montresor. 


Langkah temanku terseok dan kerincingan di topinya gemerincing waktu ia melangkah. “Gentong itu?,” ujarnya. 

“Masih disana,” jawabku, 
“tapi perhatikan kerja jaringan putih bercahaya di dinding gua ini”. 

Ia berpaling kepadaku, menyelidik ke dalam mataku dengan dua pupil berselaput yang menyuling radang lendir akibat mabuk. 

"Sendawa?,” akhirnya ia bertanya. 
”Sendawa,” jawabku. 
"Sudah berapa lama mengidap batuk?” 
”Huk-huk-huk! Huk hukhuk! Huk-huk-huk, huk-hukhuk! Huk-huk-huk!” 

Selama beberapa menit temanku yang malang tak bisa menyahut. 

"Nggak apa-apa,” ujarnya — akhirnya. 
"Ayo," ajakku, memutuskan, "kita akan kembali, kok: kesehatanmu penting sekali. Kau kaya, dihormati, dikagumi, dicintai: kau bahagia, seperti pernah kualami. Kau lelaki yang didambakan. Bagi saya tidak masalah. Kita akan kembali ke atas: kau akan sakit dan aku tak mampu bertanggungjawab. Lagi pula, di situ ada Luchesi.”
”Cukup,” ujarnya, "batuk ini tak soal sama sekali: tidak akan membunuhku. Aku tidak akan mati gara-gara batuk.” 
”Betul, betul,” jawabku, ”dan, sungguh, aku tak bermaksud menakutimu begitu saja: tapi kau harusnya cukup hati-hati. Satu aliran udara dari Medoc ini akan melindungi kita dari kelembaban”. 

Di sini aku mengetokkan leher sebuah botol yang kutarik dari satu jajaran panjang botol-botol lain yang bertegakan di atas jamur. 

”Namun,” ujarku, menghadiahkan anggur kepadanya. 

Ia mengangkatnya ke bibirnya seraya melirik. Ia berhenti sebentar dan mengangguk ke arahku dengan ramah, sementara kerincingan di topinya berbunyi. 

”Aku minum,” ujarnya, "untuk yang dimakamkan dan yang beristirahat di sekitar kita.” 
”Dan aku untuk umur panjangmu” 

Ia kembali memegang lenganku dan kami kembali melangkah.

"Gua penyimpan ini,” ujarnya 
”Keluarga Montresor,” jawabku, "adalah keluarga besar dan jaya”
”Aku lupa tanganmu” 
”Kaki manusia raksasa dari emas, di satu kebiruan ladang, kaki yang meluluhkan seekor ular yang merajalela dengan gigi-gigi taringnya tertanam di tumit” 
"Dan mottonya?” 
"Tak seorang melukaiku tanpa mendapat hukuman” 
“Bagus,” ujarnya. 

Anggur itu berkilat di matanya dan kerincingan itu berbunyi. Fantasiku sendiri berkembang hangat bersama Medoc itu. Kami telah melewati dinding-dinding tulang yang ditimbun, dengan gentong-gentong besar-kecil campur-aduk, menuju ceruk terdalam gua pemakaman itu. Aku berhenti lagi dan kali ini aku memberanikan diri mencekal lengan Fortunato. 


”Sendawa!” Ujarku 

”Perhatikan, makin banyak. Menggelantung kayak lumut di penyimpanan ini. Kita berada di bawah dasar sungai. Butir-butir kelembaban menetes di antara tulang-belulang. Ayo, kita akan kembali sebelum terlambat, Batukmu”
"Nggak apa-apa,” ujarnya 
”Kita terus saja. Tapi, pertama-tama, aliran udara Medoc lainnya”. 

Aku berhenti dan meraih sebotol De Grove. Ia mengosongkannya dengan sekali tenggak. Matanya berkilat ganas. Ia tertawa dan melemparkan botol itu ke atas dengan satu gerakan isyarat tangan yang tak kupahami. 


Aku memandangnya dengan keheranan. Ia mengulangi gerakan itu — gerakan yang aneh sekali. 

“Kau tak paham?” ujarnya. 
“Tidak,” jawabku. 
"Kalau begitu kau bukanlah dari persaudaraan itu”
"Bagaimana?" 
"Kau bukan anggota kelompok kebatinan Mason” 
"Ya, ya,” ujarku, 
"ya-ya” 
”Kau? Mustahil! Seorang Mason?” 
”Seorang Mason,” jawabku. ”
"Kodenya,” ujarnya. 
”Ini,” jawabku, mengeluarkan satu sendok semen dari balik lipatan reguelaire-ku. 
”Kau berolok-olok,” tuduhnya, mundur beberapa langkah. 
"Tapi, ayo kita teruskan melihat Amontillado” 

”Ayo,” jawabku, menaruh kembali alat itu di balik jas panjangku lalu menawarkan kembali. lenganku kepadanya. Ia bersandar berat ke tanganku. Kami melanjutkan langkah mencari anggur Amontillado. Kami melewati serangkaian lengkungan-lengkungan rendah, lalu menurun dan terus lagi, dan menurun lagi, tiba di satu ruang bawah tanah yang dalam, yang di dalamnya kotornya udara menyebabkan obor kami agak berpijar dan bukan menyala. Di bagian terujung ruang bawah tanah itu tampak menyempit. Dinding-dindingnya ditempeli tulang-belulang manusia, bertimbun hingga ke langit-langit menurut gaya pemakaman bawah tanah di Paris. Tiga sisi ruang bawah tanah ini dihiasi dengan gaya serupa. Dari sisi keempat tulang-belulang campur-aduk di lantai, membentuk satu gundukan dalam ukuran tertentu di satu tempat. Dalam dinding yang ditutupi tulang-belulang berantakan, kami merasakan ceruk dalam yang tenang, di satu kedalaman sekitar empat kaki, lebar tiga, tinggi lima atau tujuh. Tampaknya telah dibangun tanpa manfaat khusus, tapi benar-benar membentuk sela antara dua penyangga besar liang pemakaman itu, dan ditopang oleh salah satu temboknya yang membatasi, yang terbuat dari granit kukuh. 


Adalah sia-sia Fortunato, — dengan mengangkat obornya yang redup, berusaha menyelidik ke dasar ceruk. Yang jelas, cahaya redup itu tak menolong penglihatan kami. 

"Terus,” ujarku, 
"Di dalam inilah Amontillado. Adapun Luchesi”

“Ia orang tolol,?” temanku memotong seraya terseok-seok, sementara aku segera mengikutinya dekat-dekat. Tak lama ia tiba di ujung ceruk dan ketika menemukan langkahnya tertahan oleh tembok batu, ia tegak kebingungan. Sesaat kemudian, aku telah membelenggunya ke granit itu. Di permukaannya terdapat dua kait besi, yang secara horizontal terpisah kira-kira -dua kaki antara satu sama lain. Dari salah satunya menggelantung seuntai rantai pendek, sedang dari yang lainnya terjuntai satu gembok gantung. Dengan melemparkan rantai itu ke sekitar pinggangnya, hanya tubuh beberapa detik untuk menguncikannya. Terlalu kaget ia sehingga tak sempat melawan. Sambil menarik kunci, aku melangkah mundur menjauhi ceruk itu. 


"Ulurkan tanganmu,” seruku, 

”ke dinding itu, kau tak bisa menghirup sendawa. Betul-betul lembab. Sekali lagi, bolehkan aku memohon kepadamu supaya kembali. Tidak? Kalau begitu, aku pasti meninggalkanmu. Tapi pertama-tama, aku harus menyumbangkan kepadamu seluruh perhatian-perhatian kecil yang ada dalam wewenangku”. 
”Amontillado!” Tiba-tiba seru temanku, belum pulih juga dari kekagetannya. 
”Betul,” jawabku, ”Amontillado”

Ketika aku mengucapkan kata-kata barusan, aku sibuk sendiri di sela-sela gundukan tulang yang tadi telah kusinggung. Dengan menyisihkan tulang-belulang itu ke samping, segera kusingkap segundukan batu dan adukan semen. Dengan bahan-bahan ini dan dengan bantuan sendok semenku, aku mulai dengan bersemangat membangun tembok untuk menyumbat pintu masuk ke ceruk itu. 


Aku nyaris belum menyelesaikan susunan baru pertama untuk tembok penyumbat itu ketika kusadari kondisi mabuk Fortunato menyusut sekali. Petunjuk pertama yang kutangkap ialah erangan halus dari dasar ceruk itu, Itu bukanlah erangan seorang yang mabuk. Disusul keheningan panjang. Aku membangun susunan batu kedua, dan ketiga, dan keempat: dan kemudian terdengar getaran yang hebat dari lantai itu. Suara itu terdengar terus selama beberapa menit, dan agar aku bisa menyimaknya dengan lebih puas, kuhentikan pekerjaanku dan duduk di atas timbunan tulang. Ketika akhirnya gemerincing itu lenyap, aku mulai lagi dengan sendokku, dan menyelesaikan susunan kelima, keenam, ketujuh, tanpa berhenti. Tembok buatanku nyaris setinggi dadaku. Kembali aku berhenti dan dengan memegang obor di atas tembok buatanku, tampak sedikit sinar lemah menimpa tubuh di dalam. 


Serangkaian pekikan keras melengking tiba-tiba meradak dari tenggorokan sosok terantai itu, agaknya sangat mendesakku agar kembali. Sesaat aku ragu — aku gemetar. Dengan menghunus pedangku, aku mulai meraba-raba sekitar ceruk itu: tapi pikiran sejenak menenangkanku. Kuletakkan tanganku ke lapisan keras gua makam itu, dan merasa puas. Aku kembali menghampiri dinding. Aku sahuti teriakan — Orang yang memohon itu. Suaraku bergema kembali—karena kukeraskan—-melampaui keras dan lantangnya teriakan-teriakan itu. Begitu kusahuti, yang berteriak itu jadi terdiam. 


Sudah tengah malam dan tugasku pun sudah selesai. Telah kuselesaikan susunan kedelapan, kesembilan dan kesepuluh. Telah kuselesaikan bagian terakhir yakni yang kesebelas: hanya tinggal satu batu yang cocok untuk diplesterkan ke susunan itu. Aku bergulat mengangkatnya: kuletakkan sebagian di posisi yang sudah dipersiapkan. Tapi kini terdengar dari arah ceruk ketawa rendah yang mendirikan bulu romaku. Lalu diganti suara sedih yang sulit kukenali keluar dari mulut Fortunato yang mulia itu. Suara itu berujar: 


”Ha-ha-ha!, he-he! — Sungguh lelucon sangat bagus — Sungguh senda gurau luar biasa bagus. Bakal kita temukan banyak orang kaya di palazzo menertawakannya, he-he-he!, menertawakan anggur kita, he-he-he”'

"Anggur Amontillado!” Seruku. 
"Hehehe! He-he-he! Ya, anggur Amontillado. Tapi tidakkah terlambat? Tidakkah mereka, Nyonya Fortunato dan lain-lainnya, sedang menunggu kita di Palazzo? Ayolah kesana”. 
”Ya,” sahutku, "Ayo kesana”. 
"Demi kasih Tuhan, Montresor!” 
"Ya,” ujarku, ''Demi kasih Tuhan”. Tapi untuk ucapanku ini sia-sia kudengar suatu jawaban. 

Aku jadi tak sabar. Aku berteriak: ”Fortunato!” Tak ada jawaban. Kupanggil lagi: ”Fortunato!” 


Tetap tak ada jawaban. Kusodokkan satu obor ke celah yang masih tertinggal dan menjatuhkannya ke dalam. Jawabannya hanya suara kerincingan topi. Jantungku perih — gara-gara kelembaban gua malam itu. Bergegas aku mengakhiri pekerjaanku. Kujejalkan batu terakhir itu ke tempatnya, lalu kuplester. Ke tembok penyumbat yang baru itu, kutimbunkan kembali bentengan tulang-belulang. Selama setengah abad tak ada satu pun makhluk hidup mengganggu timbunan tulang ini. Semoga damailah para mendiang.



-Penerjemah: Rayani Sriwidodo
MARI BERBAGI:
Editor

TAMBAHKAN KOMENTAR

5700840368070671462